penyelesaian sengketa konsumen pada transaksi e …

41
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM LINGKUP BUSINESS TO CONSUMER (B2C) MELALUI ONLINE DISPUTE RESOLUTION Penulis :Muhammad Rizaldi Pembimbing :Edmon Makarim UNIVERSITAS INDONESIA Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM

LINGKUP BUSINESS TO CONSUMER (B2C) MELALUI ONLINE DISPUTE RESOLUTION

Penulis :Muhammad Rizaldi

Pembimbing :Edmon Makarim

UNIVERSITAS INDONESIA

Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum

Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi

Page 2: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

ABSTRAK

Nama : Muhammad Rizaldi

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul : “ Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Transaksi E-Commerce Dalam Lingkup

Business To Consumer (B2C) Melalui Online Dispute Resolution.”

Skripsi ini membahas mengenai penyelenggaraan transaksi e-commerce dalam lingkup Business to

Consumer dan penyelesaian sengketanya melalui metode Online Dispute Resolution. Perkembangan

teknologi membuat penyelenggaraan transaksi perdagangan semakin modern. Dengan menggunakan

internet, setiap orang dapat bertransaksi secara bebas dan melewati batas-batas geografis. Namun

demikian, pemanfaatan teknologi dalam transaksi e-commerce tetap memiliki resiko sengketa. Oleh

karena itu, perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat mengakomodir kepentingan para

pihak dalam transaksi e-commerce. Kedudukan konsumen dalam transaksi e-commerce juga menjadi

sangat penting karena konsumen memiliki kedudukanyang lemah dalam bertransaksi dengan pelaku

usaha. Dengan demikian, penyelenggaraan transaksi e-commerce dan penyelesaian sengketanya juga

harus mempertimbangkan upaya perlindungan terhadap konsumen. Penelitian ini akan membahas

mengenai ketentuan hukum di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Perlindungan

Konsumen, dan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berkaitan dengan

penyelenggaraan transaksi e-commerce dalam lingkup B2C. selain itu peran BPSK dalam

penyelesaian sengketa konsumen juga dibahas dalam hal penyelesaian sengeketa transaksi e-

commerce dalam lingkup B2C. Terakhir, penelitian ini akan membahas model ODR yang diterapkan

di China oleh China International Economic and Trade Arbitration Commision (CIETAC) berdasarkan

CIETAC Online Arbitration Rules.

Kata Kunci:

B2C E-commerce, Online Dispute Resolution, Sengketa Konsumen

Page 3: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

ABSTRACT

Name : Muhammad Rizaldi

Study Program : Law

Title : “ Consumer Dispute Resolution on Business To Consumer (B2C) E-

Commerce Transaction Through Online Dispute Resolution “

This thesis discussed application of B2C e-commerce transaction and its dispute resolution through

online dispute resolution mechanism. The development of information technology around the world

have made trading transaction more modern than ever. E-commerce now is a global phenomenon that

makes peoples use internet to make a deal. Using internet, nowadays, peoples can communicate freely

and make a cross border transaction. However, e-commerce transaction have risk of dispute.

Therefore, there should be a dispute resolution mechanism which accommodate every party in e-

commerce transaction. Consumer also have a significant role in developing e-commerce. Consumer is

always been in a weak position when dealing with business in e-commerce transaction. Consequently,

the performance of e-commerce transaction must also cover the consumer protection. This research

describe the legal provision concerning B2C e-commerce in ICT aspect, consumer protection aspect,

and arbitration and altervative dispute resolution aspect. It also describe the roles of BPSK as the

consumer dispute resolution body in settling B2C e-commerce dispute. And in the last part, this

research will also discussed about the relevant model of ODR which is applied in China by China

International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC) through CIETAC Online

Arbitration Rules.

Keywords:

B2C E-commerce, Consumer Disputes, Online Dispute Resolution.

Page 4: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban mannusi. Salah satu fenomena yang

menggambarkan keadaan tersebut adalah fenomena electronic commerce (e-commerce). Fenomena

perdagangan secara online menjadi suatu hal yang terjadi secara global hampir di seluruh wilayah di

dunia. Di beberapa negara, pemanfaatan internet sebagai suatu media dalam melakukan transaksi

memberikan manfaat yang sangat signifikan terhadap perkembangan ekonomi negara tersebut.

Pemanfaatan teknologi dan informasi dalam suatu transaksi menimbulkan lahirnya

pemahaman atau prinsip baru dalam penyelenggaraan transaksi yang menimbulkan hubungan hukum.

Penggunaan metode konvensional dalam penyelenggaraan suatu transaksi mulai digeser atau memiliki

alternatif dengan adanya metode modern yang memanfaatkan teknologi infomasi. Pemanfaatan

internet saat ini pada dasarnya sudah menjadi suatu hal yang lumrah untuk berkomunikasi. Di

Indonesia, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII), pada akhir tahun 2007 pelanggan internet di Indonesia mencapai mencapai 25 juta orang.

Dibanding dengan tahun 2006, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia naik 25 persen, dari

sebelumnya 20 juta di akhir 2006.1 Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPP)

Kemenkominfo bahkan menyatakan bahwa berdasarkan data Desember 2011, dari 245 juta penduduk

Indonesia, pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang atau tumbuh 30,9% dari tahun 2011

da Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai pengguna internet terbanyak di Asia.2

Dalam lingkup perdagangan, pemanfaatan tersebut juga dilakukan dengan semakin maraknya

perdagangan yang dilakukan secara online atau elektronik tanpa para pihak harus bertemu muka.

Organisasi, institusi pendidikan, pemerintah dan individu pada prakteknya tidak terlepas dari

penggunaan jaringan internet untuk menjual produk dan berbagi informasi ataupun melakukan

aktivitas lainnya. Gejala seperi ini merupakan suatu pasar yang baik bagi para pelaku usaha untuk

menjalankan usahanya secara online di dunia maya. Banyak transaksi-transaksi bisnis yang terjadi

setiap harinya secara online. Sebagai contoh, lokasi lelang online eBay mempunyai beberapa juta

materi yang akan dijual pada tiap orang dan lebih dari satu juta transaksi berlangsung setiap

minggunya.3

Di Indonesia, Ketentuan mengenai transaksi e-commerce dapat ditemukan pada Undang –

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi4

dan Transaksi Elektronik5 Lembaran Negara

1 APJJI 2008, “Statistik APJJI”, http://www.apjji.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses tanggal 31

Maret 2012.

2 Reza Wahyudi, “Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta”,

http://tekno.kompas.com/read/xml/2012/11/01/1110452/Pengguna.Internet.di.Indonesia.Capai.55.Juta, di akses

tanggal 1 April 2012

3 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution dan

Pemberlakuannya di Indonesia. Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 2, Juni 2008. Hlm 5. 4 Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic

Page 5: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4843 selanjutnya disebut Undang-Undang ITE atau UU ITE. Dengan diberlakukannya Undang-

Undang ITE, Indonesia mulai memasuki rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau

hukum telematika. Istilah hukum siber atau hukum telematika merupakan gambaran kegiatan yang

dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun

global (internet) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi berbasis sistem komputer.6

Perkembangan hukum telematika tidak sampai disitu, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan

peraturan pelaksana dari UU ITE tersebut. Pada tanggal 12 Oktober 2012 lalu, Pemerintah

menetapkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan

Transaksi Elektronik (PP PSTE). PP PSTE merupakan amanat dari UU ITE yang mendelegasikan

beberapa ketentuan untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah. Beberapa ketentuan tersebut antara lain

adalah pengaturan mengenai Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10

ayat (2), Tanda Tagan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2), penyelenggara

sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6), Penyelenggara Sistem Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3), penyelenggara agen elektronik sebagaimana dimaksud

dalam pasal 22 ayat (2), dan pengelola nama domain sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (4).

Selanjutnya, dalam hal transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen pada penyelenggaraan

e-commerce, maka penyelenggaraan transaksi tersebut terikat dengan ketentuan perlindungan

konsumen. Hal ini didasari atas kondisi dimana satu pihak selalu memiliki kedudukan yang lebih

diuntungkan. Konsumen dalam hal ini menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian

standar yang merugikan konsumen.7 Lebih khusus lagi, dalam transaksi perdagangan secara online,

konsumen sering kali dihadapkan dengan perilaku pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Hal ini

semakin mudah dilakukan oleh pelaku usaha karena para pihak tidak saling bertemu secara langsung

pada saat terjadi kesepakatan

Oleh karena itu, seperti halnya dalam perdagangan konvensional, transaksi perdagangan

secara online atau e-commerce antara pelaku usaha dan konsumen harus juga diberikan perlindungan

hukum terhadap konsumen. Perlu ada upaya perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan transaksi

e-commerce baik sebelum terjadi sengketa maupun setelah terjadi sengketa.

Dalam hal terjadi sengketa, maka harus ada kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian

sengketa yang dapat ditempuh. Di satu sisi, sistem peradilan kita masih memiliki beberapa

pemasalahan dalam penyelesaian suatu sengketa. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif kerap

kali dihadapkan dengan isu pembaruan peradilan yang terus dituntut oleh masyarakat, khususnya para

praktisi hukum. Beberapa isu yang menjadi sorotan utama masyarakat antara lain adalah konsistensi

putusan, keterbukaan informasi, mafia peradilan, dan penumpukan perkara. Hal ini tentunya sangat

berdampak bagi iklim bisnis dan investasi di Indonesia. Permasalahan yang dialami oleh sistem

peradilan Indonesia tentunya sangat mempengaruhi keputusan investor dan pelaku perdagangan di

mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang

telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 5 Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,

jaringan komputer, dan / atau media elektronik lainnya. 6 Lihat Penjelasan Umum Paragraf 1 Undang-Undang ITE

7 Lihat penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

Page 6: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Indonesia. Salah satu yang menjadi permasalahan yang menjadi perhatian utama adalah kepastian

mengenai penyelesaian sengketa.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada prakteknya, penyelesaian sengketa melalui

pengadilan memiliki kekurangan tersendiri dalam hal efisiensi. Penyelesaian sengketa melalui

pengadilan selalu identik dengan proses yang memakan banyak tenaga dan biaya. Oleh karena itu,

perlu adanya alternatif lain dalam sistem penyelesaian sengketa. Salah satunya adalah dengan

mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dikenal dengan istilah Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS). APS merupakan suatu alternatif dalam upaya penyelesaian sengketa di

luar pengadilan. Istilah APS ini merupakan terjemahan dari Alternative Disputes Resolution (ADR).

Jika dikaitkan dengan transaksi e-commerce, kebutuhan akan penyelesaian sengketa yang

cepat dan mudah merupakan suatu keuntungan yang dapat memberikan kepercayaan bagi para pihak

dalam melakukan transaksi e-commerce. Seperti halnya dalam penyelenggaraan transaksi e-commerce

yang memiliki karakteristik dalam hal kemudahan dan kecepatannya, maka harapannya apabila terjadi

sengketa transaksi e-commerce hal tersebut dapat pula diakomodasi dalam proses penyelesaian

sengketa. Dengan adanya akses yang adil, mudah, dan cepat melalui mekanisme alternatif

penyelesaian sengketa (APS), maka hal ini dapat menjadi penunjang dalam penyelenggaraan transaksi

e-commerce, khususnya dalam memberikan kepercayaan dan perlindungan bagi konsumen dalam

penyelenggaraan transaksi e-commerce.

Keberadaan transaksi e-commerce yang memungkinkan adanya perdagangan yang dilakukan

secara online telah mengilhami dilakukannya penyelesaian sengketa secara online pula. Di tengah

kebingungan atas sistem hukum yang tidak mudah mengikuti perkembangan dan cepatnya kemajuan

zaman, teknologi telah melahirkan gagasan tentang penyelesaian sengketa secara online.8 Yang

dimaksud dengan “gagasan” dalam pembahasan ini adalah mengenai mekanisme penyelesaian

sengketa secara online atau dikenal dengan Online Dispute Resolution (ODR). Cara penyelesaian

sengketa ini sangat menarik karena dilakukan secara online sehingga memudahkan para pihak untuk

menyelesaikan sengketa dimanapun mereka berada tanpa terhalang waktu dan tempat.

Salah satu negara yang sudah mengenal praktek penyelesaian sengketa e-commerce melalui

ODR secara baik adalah China. Di China, sudah ada lembaga arbitrase yang menangani sengketa

seputar permasalahan dalam dunia maya. Salah satu lembaga yang dikenal dan dijadikan salah satu

model acuan oleh UNCITRAL adalah China International Economic And Trade Arbitration

Commision (CIETAC).

CIETAC merupakan salah satu institusi arbitrase yang terbesar dan permanen di dunia.

CIETAC secara independen dan imparsial menyelesaiakan sengketa ekonomi dan perdagangan

melalui arbitrase. Selain sektor-sektor penting dalam perdagangan, CIETAC menyediakan jasa

penyelesaian sengketa domain name dan terlibat dalam penelitian terhadap penyelesaian sengketa

online untuk sengketa e-comerce. Untuk memenuhi kebutuhan atas penyelesaian sengketa yang

berkaitan dengan e-commerce, ekonomi dan perdagangan secara cepat, CIETAC menyediakan

“Online Arbitration Rules” sejak bulan Mei 2009. Oleh karena itu, penulis juga hendak membahas

mengenai prosedur arbitrase online yang diselenggarakan oleh CIETAC.

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, skripsi berjudul “ PENYELESAIAN

SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE DALAM LINGKUP

8 Paustinus Siburian. Arbitrase Online: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara

Elektronik. (Jakarta: Penerbit Djambatan. 2004) hlm. 9

Page 7: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

BUSINESS TO CONSUMER (B2C) MELALUI ONLINE DISPUTE RESOLUTION ” ini dibuat. Skripsi

ini akan meliputi pembahasan mengenai ketentuan hukum di Indonesia mengenai penyelenggaraan e-

commerce dalam lingkup B2C serta penyelesaian sengketanya. Pembahasan ini akan difokuskan pada

transaksi yang melibatkan konsumen karena jenis transaksi ini merupakan jenis yang paling populer di

masyarakat dan karena itu paling membutuhkan pelindungan hukum agar dapat memberikan

kepercayaan bagi para pihak baik pelaku usaha dan konsumen dalam menyelenggarakan transaksi e-

commerce. Selain itu pembahasan juga akan dilakukan terhadap tiga bidang yang meliputi bidang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Perlindungan Konsumen, dan Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Hal ini didasari pada relevansi pembahasan penyelenggaraan e-commerce dan

penyelesaian sengketa konsumen pada transaksi e-commerce.

Selain itu, pembahasan skripsi ini juga akan meliputi mengenai kemungkinan penerapan

Online Dispute Resolution dalam penyelesaian sengketa konsumen pada transaksi e-commerce. Hal

ini dilakukan dengan melakukan pembahasan terhadap negara yang telah menyelenggarakan ODR

pada penyelesaian sengketa e-commerce yaitu China melalui lembaga arbitrase CIETAC. Dengan

melakukan pembahasan terhadap penerapan ODR di China, harapannya hal tersebut dapat menjadi

acuan atau rekomendasi dalam hal penerapan ODR untuk penyelesaian sengketa konsumen pada

transaksi e-commerce di Indonesia.

Pokok Permasalahan

Banyaknya pengguna fasilitas internet tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa antara

pengguna jasa Internet, di mana sengketa itu terjadi dalam lalu-lintas komunikasi elektronik secara

online. Pengguna jasa internet adalah salah satu pihak dalam aktivitas perdagangan online atau e-

comerce. Mereka memanfaatkan jasa internet sebagai media kontak bisnis, kontrak dan melakukan

transaksi yang lebih murah, efektif dan efisien dibandingkan dengan model bisnis secara

konvensional. Tetapi model bisnis ini tidak sama dengan bisnis konvensional karena komunikasi yang

terjadi melalui sinyal – sinyal elektronik. Timbulnya sengketa elektronik yang terjadi secara online di

Internet, diharapkan mampu diselesaikan secara online juga. Berdasarkan hal tersebut muncul gagasan

yaitu bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Internet melalui mekanisme

penyelesaian sengketa yang juga melalui Internet. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan

sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah, yaitu:

1. Bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen pada transaksi e-commerce dalam lingkup

B2C setelah diberlakukannya Undang-Undang ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik di Indonesia?

2. Bagaimanakah peluang penerapan Online Dispute Resolution dalam Penyelesaian Sengketa

Konsumen pada transaksi e-commerce dalam lingkup B2C di BPSK sebagai lembaga

penyelesaian sengketa konsumen ?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan sebagaimana

dirumuskan diatas adalah untuk :

1. Menjelaskan mengenai perlindungan terhadap konsumen pada transaksi e-commerce dalam

lingkup B2C setelah diberlakukannya Undang-Undang ITE dan PP No. 82 Tahun 2012

Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik di Indonesia.

Page 8: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

2. Menjelaskan peluang penerapan Online Dispute Resolution dalam Penyelesaian Sengketa

Konsumen pada transaksi e-commerce dalam lingkup B2C di BPSK sebagai lembaga

penyelesaian sengketa konsumen.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan

yang bersifat yuridis normatif. Yuridis normatif artinya penelitian yang dilakukan mengacu pada

peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma atau juga kebiasaan yang

berlaku di masyarakat. Penelitian hukum normatif, atau sering disebut juga penelitian hukum

doktrinal.9

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu data sekunder terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan badan hukum tersier.

1. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

perjanjian/kontrak, Transaksi Elektronik, arbitrase dan peraturan lainnya yang terkait. Bahan hukum

primer yang penulis gunakan, antara lain, New York Convention On The Recognition Of Foreign

Arbitral Awards 1958, UNCITRAL Model Law On 1985, China International Economic and Trade

Arbitration Comission (CIETAC) Online Arbitration Rules , Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Pelindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem

dan Transaksi Elektronik, juga peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan arbitrase ,

perlindungan konsumen dan e-commerce.

2. Bahan Hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan perjanjian/kontrak, Transaksi

Elektronik, dan arbitrase. Literatur yang digunakan antara lain, buku, jurnal ilmiah baik nasional dan

internasional serta makalah, hasil penelitian, skripsi dan thesis.

3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang sumber hukum primer dan

sumber hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan website resmi dari internet.

Penulis berusaha untuk menggali lebih dalam mengenai aspek hukum arbitrase dalam bidang

bisnis di Indonesia dengan menganalisis pengaturan arbitrase dan pengaturan mengenai transaksi atau

perikatan secara elektronik atau online melalui internet. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan

mampu mengungkap dan memberi penjelasan mengenai pengaturan atau keberlakuan dari arbitrase

online menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia serta peraturan pelaksana yang

mengikutinya, serta memberikan gambaran mengenai keuntungan dan kendala dengan mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Dalam membahas teori-teori dan permasalahan mengenai aspek hukum arbitrase dalam bidang

bisnis di Indonesia, penulis menggunakan sumber-sumber seperti peraturan perundang-undangan.

Selain sumber dari peraturan perundang-undangan, penulis juga menggunakan sumber-sumber data

yang berasal dari buku-buku ilmu hukum yang memuat teori-teori dan pandangan, pendapat para

ahli/dalam dokumentasi resmi dari pemerintah yang memuat peraturan perundang-undangan, jurnal

9 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005) hal 30.

Page 9: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah arbitrase maupun transaksi atau perikatan

secara elektronik.

Perlindungan Terhadap Konsumen Pada Transaksi E-Commerce Dalam Lingkup B2C Setelah

Diberlakukannya Undang-Undang ITE Dan PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Sistem dan Transaksi Elektronik Di Indonesia

Transaksi Elektronik

Secara umum, e-commerce berarti penyelenggaraan perdagangan dengan menggunakan sarana

elektronik. Lebih lanjut, Electronic commerce dapat diartikan sebagai kegiatan komersil yang

dilakukan melalui pertukaran informasi yang dibuat, disimpan, atau dikomunikasikan melalui media

elektronik, optikal, atau analog, termasuk EDI (Electronic Data Interchange), E-mail, dan

sebagainya.10

Selanjutnya, berdasarkan UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to

Enactment 1996 dinyatakan bahwa:

The term “commercial” should be given a wide interpretation so as to cover matters arising

from all relationship of a commercial nature wether contractual or not. Relationships of a

commercial nature include, but are not limited to the following transactions: any trade

transaction for the supply or exchange of gods and services; distribution agreement;

commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting;

engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitiation agreement or

concession; joint venture and other forms of industrial or business cooperation; carriage of

goods or passengers by air, sea,rail or road.

Istilah komersial seharusnya diberikan interpretasi secara luas sehingga dapat melingkupi

semua permasalahan yang timbul menyangkut hubungan komersial baik secara kontraktual

atau tidak. Hubungan komersial termasuk, tapi tidak terbatas pada transaksi berikut ini:

segala transaksi perdagangan untuk penawaran atau pertukaran barang dan jasa; perjanjian

distribusi; representasi komersial atau keagenan; perdagangan perantara; sewa-menyewa;

pembangunan; konsultasi; keinsinyuran; sertifikasi; investasi; pembiayaan; perbankan;

asuransi; eksploitasi perjanjian atau konsesi; joint venture dan bentuk-bentuk lain dari

kerjasama industrial atau bisnis; pengangkuan barang atau orang melalui jalur udara, laut,

atau kereta.

Sedangkan, pada dasarnya sistem hukum Indonesia saat ini sudah mengakomodir padanan

istilah e-commerce. Undang-undang yang mengatur mengenai pengertian istilah e-commerce adalah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU

ITE menggunakan istilah transaksi eletronik. Pengertian Transaksi Eletronik diatur dalam pasal 1 butir

2 yang mengatur sebagai berikut: “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan

dengan menggunakan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.”

10

Lihat di Hill, Richard and Ian Walden, The Draft UNCITRAL Model Law for Electronic commerce :

Issues and solutions ( teaching materials ) March 1996.

Page 10: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Dalam praktek banyak orang yang mendefinisikan electronic commerce secara berbeda-beda.

Namun demikian, pada dasarnya electronic commerce memiliki karakteristik dasar, yaitu:11

1. Adanya penawaran melalui internet;

2. Transaksi antara 2 belah pihak;

3. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi

4. Menggunakan media yang berasal dari pemafaatan dari Teknologi Informasi. Internet

merupakan media utama dalam proses atau mekanisme tersebut.

Dari karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa transaksi elektronik atau electronic

commerce merupakan suatu transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan

media internet dimana seluruh/sebagian prosesnya seperti, pemesanan barang, pembayaran transaksi

sampai dengan pengiriman barang, dikomunikasikan melalui internet.

PP PSTE juga mengatur mengenai Transaksi Elektronik. Sebagaimana pembagian ruang

lingkup dalam Penyelenggaran Sistem Elektronik, Ruang lingkup penyelenggaraan transaksi

elektronik juga meliputi penyelenggaraan transaksi elektronik pelayanan publik dan penyelenggaraan

transaksi elektronik dalam dalam lingkup non publik atau privat. Perbedaan lingkup tersebut berlaku

pula dalam ketentuan yang mengaturnya, walaupun pada dasarnya PP PSTE mengatur hal-hal umum

yang berlaku bagi setiap lingkup penyeleggaraan transaksi elektronik.

Pembedaan dalam ruang lingkup tersebut dapat dibedakan menjadi seperti berikut.

Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik meliputi:

a. Penyelenggaraan transaksi elektronik oleh instansi atau oleh pihak lain yang

menyelenggarakan pelayanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE.

b. Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik lainnya sebagaimana diatur dalam

ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan, penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi elektronik:

a. Antar Pelaku Usaha;

b. Antar pelaku usaha dengan konsumen;

c. Antar pribadi

d. Antar instansi

e. Antar instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Artinya, transaksi e-commerce dalam lingkup Business To Consumer (B2C) termasuk dalam

penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat yaitu antar pelaku usaha dan konsumen.

Sertifikasi Keandalan

11

Dian Nugraha. “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resoution) Dalam

Electronic Commerce”. http://resources.unpad.ac.id/unpad-

content/uploads/publikasi_dosen/1D%20MPSA%20e.%20commerce.pdf , diunduh 22 Februrati 2012

Page 11: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Konsumen dalam melakukan suatu transaksi memerlukan kepastian mengenai dengan siapa

dia berkomunikasi dan kepastian mengenai objek transaksi. Lebih lanjut, Schelleken dan Van der

Wees mengungkapkan bahwa bukan perbedaan dalam mata uang yang mempengaruhi dalam

perdagangan online, melainkan tingkat harga, tingkat pelayanan, dan jenis produk.12

Selain itu,

konsumer online juga terkadang mempertimbangkan mengenai bagaimana penyelesaian sengketa jika

dikemudian hari ada konflik yang harus diselesaikan.13

Hal ini menggambarkan bahwa dengan

ketentuan yang diatur dalam UU ITE pada dasarnya masih berpotensi menimbulkan kerugian pada

konsumen jika hanya mengacu pada lingkup perlindungan yang hanya ditujukan pada pencantuman

informasi yang lengkap dan benar. Konsumen pada dasarnya memerlukan perlindungan yang lebih

dalam upaya menempatkannya pada kedudukan yang setara dengan produsen.

Salah satu upaya untuk menutupi kekurangan dalam perlindungan bagi konsumen adalah

pemberian trustmark oleh pelaku usaha dalam websitenya yang dapat dilihat oleh konsumen. Melalui

trustmark tersebut konsumen dapat megetahui bahwa pelaku usaha tersebut merupakan penyelenggara

transaksi elektronik yang dapat dipercaya dan mendapat sertifikasi dari lembaga setifikasi yang

berwenang, indpenden, dan profesional. Konsumen juga hendaknya mendapat perlindungan dari

pemberi trustmark yang menjamin apabila ada yang salah dalam proses pemberian trustmark, maka

yang bersangkutan dapat dituntut.

Definisi lembaga sertifikasi keandalan yang diberikan oleh UU ITE adalah lembaga

independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh pemerintah

dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.

Dalam hal ini, pasal 10 ayat (1) UU ITE menentukan bahwa setiap pelaku usaha yang

menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.

Selanjutnya, dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa sertifikasi keandalan dimaksudkan sebagai

bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak berusaha setelah

melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan sertifikasi keandalan

ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha

tersebut.

PP PSTE juga menegaskan tujuan dari sertifikasi keandalan sebagai kegiatan yang bertujuan

untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik. Sertifikat keandalan merupakan jaminan

bahwa pelaku usaha telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh lembaga sertifikasi keandalan.

Namun demikian, PP PSTE tidak mengatur mengenai akibat hukum dari kepemilikan sertifikat

elektronik atau pertanggungjawaban lembaga sertifikasi elektronik dalam hal terjadi kesalahan dalam

pemberian sertifikat elektronik.

Selanjutnya, sertifikat keandalan yang diberikan oleh lembaga sertifikasi keandalan dibuat

berdasarkan kategori tertentu. Ketentuan mengenai kategori ini memberikan gambaran mengenai jenis

perlindungan atau jaminan yang diberikan oleh masing-masing kategori sertifikat keandalan. Dalam

hal ini ada 5 (lima) kategori sertifikat keandalan, antara lain:14

12

Maurice Schellekens dan Leo van der Wees, “ADR and ODR in Electronic Commerce”, dalam J.E.J

Prins, et al., Trust in Electronic Commerce, Kluwer Law International, Netherland, 2002, hal. 300.

13 Ibid., hal. 272.

14 Lihat pasal 68 juncto penjelasan pasal 68 PP PSTE

Page 12: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

a. Pengamanan terhadap identitas;

Pengamanan terhadap identitas (identity seal) merupakan sertifikat keandalan yang

jaminan keandalannya sebatas pengamanan bahwa identitas pelaku usaha adalah benar.

Validasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi keandalan hanya terhadap identitas

pelaku usaha yang paling sedikit memuat nama subjek hukum, alamat atau keduduka,

nomor telepon, alamat email, izin usaha, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

b. Pengamanan terhadap pertukaran data;

Pengamanan terhadap pertukaran data (security seal) merupakan sertifikat keandalan yang

jaminan keandalannya memberikan kepastian bahwa proses penyampaian atau pertukaran

data melalui website pelaku usaha dilindungi keamanannya dengan menggunakan

teknologi pengamanan proses pertukaran data (contoh protokol SSL/secure socket layer).

c. Pengamanan terhadap kerawanan;

Pengamanan terhadap kerawanan (vulnerability seal) merupakan sertifikat keandalan yang

jaminan keandalannya memberikan kepastian bahwa terdapat sistem manajemen

keamanan informasi yang diterapkan oleh pelaku usaha dengan mengacu pada standar

pengamanan sistem elektronik tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

d. Pemeringkatan konsumen; dan

Pemeringkatan konsumen (consume rating seal) merupakan sertifikat keandalan yang

jaminan keandalannya memberikan peringkat tertentu bahwa berdasarkan penilaian

subjektif kepuasan konsumen terhadap layanan transaksi elektronik yang diselenggarakan

pelaku usaha telah memberikan kepuasan konsumen

e. Pengamanan terhadap kerahasiaan data pribadi.

Pengamanan terhadap kerahasiaan data pribadi (privacy seal) merupakan sertifikat

keandalan yang jaminan keandalannya adalah memberikan kepastian bahwa data pribadi

konsumen dilindungi kerahasaiannya sebagaimana mestinya.

Certification Authority (CA)

Untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan pesan, data, atau informasi dalam suatu transaksi

elektronik maka diperlukan beberapa enkripsi guna membuat pesan, data, atau informasi agar tidak

dapat dibaca atau dimengerti oleh sembarang orang, kecuali untuk penerima yang berhak. Selain itu,

dalam konteks perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, maka pelaku usaha perlu juga

menunjukkan bukti keandalan dari sistem elektronik yang dimilikinya dalam melakukan trasaksi e-

commerce. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan bukti kelayakan bahwa pelaku usaha layak

berusaha dan bertransaksi menggunakan sistem elektronik yang dimilikinya. Jika disimpulkan, maka

sistem pengamanan terhadap transaksi elektronik harus dapat memberikan perlindungan terhadap hal-

hal berikut:

- Mengenkripsi atau mengkode pesan, data, atau informasi selama transaksi berlangsung.

Ini berarti dapat mengubah informasi ke dalam kode yang hanya dapat dibaca jika orang

lain memiliki kuncinya

- Melindungi pesan, data, atau informasi selama transaksi berlangsung dari pengubahan,

penambahan, atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

- Memverifikasi para pihak yang memang berkepentingan dalam transaksi tersebut dan

melindungi dari pihak yang tidak bertanggung jawab atas usaha untuk memperoleh

informasi yang dirahasiakan.

- Dalam konteks perlindungan konsumen, memberikan bukti kelayakan pelaku usaha dalam

melakukan usaha perdagangan dalam sistem elektronik. Hal ini dapat dilakukan dengan

Page 13: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

menunjukkan bukti kelayakan usaha yang dijalaninya dalam menggunakan sistem

elektronik.

Dalam hal ini, UU ITE mengatur mengenai Penyelenggara Sertifikat Elektronik sebagai suatu

upaya memberikan keamanan dalam komunikasi secara elektronik. Dalam UUITE, kedua lembaga

tersebut disebutkan dalam pasal 1 angka 10. Penyelenggara Sertifikat Elektronik adalah badan hukum

yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat

Elektronik. Dalam hal ini, yang dimaksud sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat

elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum

para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.15

Lembaga sertifikasi atau penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan badan hukum yang

berfungsi sebagai pihak yang dipercaya , yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.

Fungsi lembaga ini mirip dengan notaris dan sangat vital apabila dikaitkan dengan pembuktian

otentisitas sebuah dokumen. Setelah pengguna membuat pasangan kunci digital lewat perangkat lunak

yang dimiliki, pengguna menghubungi lembaga sertifikasi yang akan memverifikasi kunci publik yang

telah dibuat bersama dengan identitas pengguna. Lembaga sertifikasi kemudian akan mengeluarkan

sertifikat yang menyebutkan identitas si pendaftar dan bahwa tanda tangan digital yang didaftarkan

adalah milik si pendaftar sesuai dengan identitas yang didaftarkannya. Dalam sertifikat tersebut juga

disertakan lampiran kunci publik si pendaftar yang dapat menjadi kekuatan pembuktian bila terjadi

masalah dengan lembaga sertifikasi.

Setiap pihak tidak diwajibkan untuk mendaftarkan tanda tangan digitalnya, meskipun hal ini

sangat disarankan. Ketentuan undang-undang di negara yang telah memberlakukan tanda tangan

digital tidak membuat tanda tangan yang belum diverifikasi oleh lembaga sertifikasi yang berwenang

menjadi batal. Akan tetapi, bagaimanapun juga kepentingan untuk mendaftarkan tanda tangan digital

cukup besar, terutama berkaitan dengan beban pembuktian di depan pegadilan. Dari sudut ini dapat

dikatakan pendaftaran tanda tangan digital lebih merupakan perlindungan terhadap oang yang

menerima dokumen elektronik.

Kewajiban Pelaku Usaha

UUPK secara jelas merinci mengenai kewajiban pelaku usaha dalam rangka perlindungan

konsumen. Berikut ini adalah hak dan kewajiban konsumen sebagaimana diatur pasal 7 UUPK:

Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

15

Lihat pasal 1 angka 9 UUITE

Page 14: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau

jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. Memberi kopensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas ganti kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan baang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain mengatur mengenai kewajiban, hukum perlindungan konsumen Indonesia juga

mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal

8-17 UUPK. Selain itu, kita juga dapat menemukan ketentuan serupa di undang-undang lainnya

Contohnya, perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual

yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undan Paten, Undang-Undang Merek. Begitu

juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan dan Pengelololaan Lingkungan Hidup.

Dalam hal penyelenggaraan transaksi elektronik, pelaku usaha juga memiliki kewajiban.

Kegiatan perdagangan secara elektronik atau perdagangan secara online membuat konsumen dapat

kehilangan beberapa haknya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian konsumen akibat

penyelenggaraan transaksi elektronik oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha memiliki kewajiban

khusus dalam transaksi elektronik. Kewajiban utama pelaku usaha dalam transaksi elektronik diatur

dalam pasal 9 UU ITE. Berikut bunyi pasal tersebut:

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan

informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk

yang ditawarkan.

Penjelasan mengenai yang dimaksud dengan informasi yang lengkap dan benar dapat kita lihat

pada penjelasan pasal 9 tersebut.

Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:

a. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetentsinya, baik

sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;

b. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta

menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan

barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat dan deskripsi barang dan

jasa.

Ketentuan tersebut masih bersifat umum dan hanya menyangkut kewajiban pelaku usaha

dalam hal pencantuman informasi yang lengkap dan benar. Ketentuan yang lebih rinci dapat kita

temukan pada pasal 49 PP PSTE. Berikut adalah bunyi pasal tersebut:

1) Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan

informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan

produk yang ditawarkan.

2) Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau

iklan,

Page 15: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

3) Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan

barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat

tersembunyi.

4) Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.

5) Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang

yang dikirim tanpa dasar kontrak.

Dengan demikian, pada dasarnya ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha pada transaksi

e-commerce sudah diatur dalam UUPK , UU ITE, dan PP PSTE. Akan tetapi, ketentuan tersebut lebih

mengutamakan jaminan hukum atas segala peristiwa hukum yang dilakukan dengan menggunakan

komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Artinya, perlindungan konsumen

tersebut belum mencakup secara penuh apa yang menjadi hak konsumen sebagaimana diatur dalam

UUPK. Dalam hal ini penulis menilai belum ada ketentuan yang mengatur mengenai kejelasan

mengenai keluhan konsumen terhadap produk yang diterima atau kejelasan mengenai penyelesaian

sengketa konsumen dalam transaksi e-commerce.

Ketidakjelasan mengenai penyelesaian sengketa konsumen dalam transaksi e-commerce dapat

berpotensi terhadap munculnya sengketa yang tidak tertangani dengan baik di masyarakat. Apabila

konsumen tidak mengetahui secara jelas bagaimana penanganan terhadap konflik yang dialaminya

pada saat bertransaksi online, maka hal tersebut dapat membuatnya mengurungkan diri untuk

melakukan transaksi tersebut. 16

Lebih jauh lagi, pelaku usaha dalam posisi yang sama juga dapat

menjadi ragu-ragu untuk melakukan usahanya secara online karena tidak ada kepastian hukum

terhadap hal tersebut.

Hal tersebut tentu saja tidak kita inginkan karena dapat menghambat laju pekembangan

perdagangan yang diselenggarakan secara online. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan lebih jauh

dalam memprediksikan akibat hukum dari penyelenggaraan transaksi e-commerce. Harus ada

kejelasan mengenai bagaimana seharusnya permasalahan tersebut diselesaikandan metode apa yang

dapat digunakan. Dalam hal ini alan wiener mengungkapkan bahwa regulasi dalam penggunaan sistem

ADR/ODR pada transaksi e-commerce dapat menjadi jalan keluar dari kerumitan penyelesaian

sengketa yang ada atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan.17

Peluang Penerapan Online Dispute Resolution Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada

Transaksi E-Commerce Dalam Lingkup B2C Di BPSK Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa

Konsumen

Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Indonesia

Dalam pasal 45 ayat (2) UUPK dinyatakan bahwa:

16

Maurice Schellekens dan Leo van der Wees, “ADR and ODR in Electronic Commerce”, dalam J.E.J

Prins, et al., Trust in Electronic Commerce, Kluwer Law International, Netherland, 2002, hal.302

17 Alan Wiener, Regulations and Standards for Online Dispute Resolution: A Primer for Policymakers

and Stakeholders, http://www.alanwiener.mediate.com/alanwiener/Wiener-ODRStandards-Primer2a.pdf, diakses

pada 1 Desember 2012.

Page 16: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”

Jadi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK terdapat dua pilihan

penyelesaian sengketa, yaitu:

1) Penyelesaian di luar Pengadilan, melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha

a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri

b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, dalam hal ini BPSK,

dengan menggunakan mekanisme konsiliasi, mediasi, atau arbitrase

2) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) UUPK, tidak

menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa

yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan, dalam penjelasan pasal tersebut

dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh

kedua belah piak yang bersengketa. Dari penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa

UUPK menghendaki agar penyelesaian damai merupakan upaya hukum yang justru terlebih dahulu

diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan

sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan

Dalam melalukan upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, Pemerintah

membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), untuk

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian

sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah.18

Cepat karena UUPK

menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja BPSK wajib memberikan putusannya.19

Mudah

karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak

pada biaya perkara yang terjangkau. Hal ini tentunya sangat berguna dalam penyelesaian sengketa

transaksi e-commerce antara pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena itu, dalam hal penyelenggaraan

transaksi e-commerce antara pelaku usaha dan konsumen, apabila terjadi sengketa akan lebih tepat

diselesaikan melalui penyelesaian di luar pengadilan yaitu melalui BPSK.

BPSK

Diluar peradilan umum, UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen

yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan yaitu Badan

Penyelesaian Sengketa(BPSK). BPSK adalah pengadilan khusus konsumen yang sangat diharapkan

dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana, dan murah.20

18

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta

Kendala Implementasiya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 99.

19 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun

1999, TLN No. 3821, ps. 55.

20 Celina tri siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hal. 126.

Page 17: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Proses berperkara di BPSK dapat dikategorikan sebagai proses yang sederhana. Proses yang

sederhana maksudnya adalah pemeriksaan atau penyelesaian sengketa dilakukan hanya pada sengketa

konsumen saja. Jadi, dalam setiap sengketa konsumen, salah satu pihak yang wajib adalah pihak

konsumen dalam sengketa tersebut. Tanpa adanya konsumen atau yang mewakilinya sebagai salah

satu pihak, maka sengketa itu bukan sengketa konsumen.21

Definisi sengketa konsumen dapat ditemukan pada pasal 1 angka 8 Kepmenperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001. Sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen

yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat

mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Definisi ini memberikan batasan terhadap para

pihak yang dapat menyelesaikan sengketanya di BPSK dan jenis gugatan yang dapat dijadikan dasar

dalam menyelesaikan sengketa di BPSK. Dalam hal para pihak, berarti hanya pelaku usaha dan

konsumen yang dapat menyelesaikan sengketa di BPSK. Sedangkan, jenis gugatan konsumen yang

dapat diperiksa oleh BPSK adalah gugatan ganti rugi baik atas kerusakan, pencemaran,dan/atau akibat

pengkonsumsian/pemanfaatan barang dan/atau jasa.

Dalam hal transaksi elektronik, maka gugatan ganti rugi tersebut dapat dilakukan apabila

pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UUPK dan PP PSTE sebagai

penyelenggara transaksi elektronik. Kewajiban pelaku usaha dalam transaksi elektronik diatur dalam

pasal 49 PP PSTE yaitu:

1) Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan

informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk

yang ditawarkan.

2) Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau

iklan,

3) Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan

barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat

tersembunyi.

4) Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.

5) Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang

yang dikirim tanpa dasar kontrak.

Artinya, konsumen berhak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku usaha yang tidak

memenuhi kewajiban tersebut sehingga timbul kerugian dari pihak konsumen. Selain itu, pelaku usaha

juga terikat dengan ketentuan yang disepakati dalam kontrak antara pelaku usaha dan konsumen.

Selain itu, pelaku usaha juga betanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang

ditimbulkan oleh iklan tersebut. Dengan demikian, apabila pelaku usaha tidak menepati janjinya

sebagaimana disepakati dalam kontrak pada suatu transaksi atau produk yang diterima konsumen tidak

sesuai dengan iklan dari pelaku usaha, maka konsumen dapat melapor ke BPSK untuk meminta

pertanggungjawaban dari pelaku usaha.

Selanjutnya, dilihat dari sanksi administrasi berupa penetapan ganti kerugian paling banyak

sebesar Rp 200.000.000,- yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha.22

Hal ini menunjukkan bahwa

sebenarnya BPSK tersebut dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan

21

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta

Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal.75.

22 Lihat Pasal 60 ayat (2) UUPK

Page 18: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

jumlah nilai yang kecil. Bagi penyelesaian sengketa untuk kasus yang sederhana dan berskala kecil,

pengadilan bukanlah pilihan yang efektif. Di samping biaya perkara yang harus dikeluarkan cukup

besar, proses penyelesaian sengketa memakai hukum acara yang formal dan memerlukan waktu yang

lama. Penyelesaian perkara di pengadilan justru seringkali tidak memberikan keadilan atau kepuasan

bagi pihak yang bersengketa.23

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada dasarnya merupakan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan. BPSK diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa konsumen

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Metode tersebut pada dasarnya merupakan

metode Alternatif Penyelesaian Sengketa yang juga diatur dalam Undang-Undang Arbitrase.

Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase, Undang-undang Arbitrase mengatur

bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh

pihak yang bersengketa. Selanjutnya, mengenai ruang lingkup perdagangan dapat ditemukan pada

penjelasan pasal 66 huruf b Undang-Undang Arbitrase, yaitu kegiatan-kegiatan antara lain di bidang :

- Perniagaan;

- Perbankan;

- Keuangan;

- Penanaman modal;

- Industri;

- Hak kekayaan intelekual.

Sedangkan, pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase mengatur bahwa sengketa yang tidak

dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-

Undang Arbitrase, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat

dilakukan perdamaian

Adanya ketentuan tersebut menunjukan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan

melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam hal penyelesaian sengketa di BPSK, maka

sengketa yang dapat diselesaikan hanya sengketa konsumen saja. Selanjutnya pelu juga ditinjau

mengenai sengketa apa saja yang tidak dapat diselesaikan oleh BPSK. Hal ini diatur pada ketentuan

pasal 17 huruf b Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yaitu bahwa Ketua BPSK menolak

permohonan penyelesaian sengketa konsumen apabila permohonan gugatan bukan kewenangan

BPSK.

Sengketa yang dapat dianggap bukan kewenangan BPSK adalah segala sengketa yang secara

jelas diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan dari suatu badan lain

untuk melakukan penyelesaian sengketa terhadap perkara tersebut. Selain itu, jika kita tinjau

berdasarkan undang-undang arbitrase, maka jenis sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase di BPSK adalah sengeta yang tidak dapat dilakukan perdamaian. Sengketa yang tidak dapat

dilakukan perdamaian pada dasarnya bukanlah suatu perkara perdata melainkan perkara pidana murni

dimana tidak ada lagi unsur keperdataan di dalamnya. Dalam hal ini, perkara tersebut tidak dapat lagi

23

Susanti Adi Nugoho, op.cit., hal. 85

Page 19: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

diadakan perdamaian dan sudah menjadi kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap

perkara tersebut.

Pasal 17 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa Ketua BPSK

menolak permohonan penyelesaian sengketa konumen apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 atau permohonan

gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.

Ketentuan pasal 17 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman operasional BPSK yang

dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan yaitu menjadi:24

- Setiap permohonan secara tertulis tidak dapat diterima, apabila tidak disertai bukti-bukti

secara benar sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 Kepmenperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001.

- Setiap permohonan pengaduan secara lisan tidak dapat diterima bilamana tidak mengisi

dan menyerahkan formulir pengaduan dan tidak disertai bukti-bukti yang benar

sebagaimana disebutkan pada angka 1 diatas. Formulir dibuat dalam rangkap 4.

- Pengaduan yang bukan merupakan kewenangan BPSK tidak dapat diterima meskipun

penggugatnya konsumen akhir adalah:

- Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil maupun militer

(contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat, penyalahgunaan kekuasaan dan

lain-lain).

- Barang atau jasa yang dikonsumsi secara hukum dilarang untuk diproduksi atau

diperdagangkan (contohnya dalam masalah narkoba, barang purbakala, jasa

kenikmatan yang dilarang dan lain-lain)

- Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha

- Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak dapat diterima oleh

BPSK

- Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen melalui BPSK

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK tidak berjenjang. Para pihak dibebaskan untuk

memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka inginkan. Setelah para pihak menyetujui cara apa

yang akan digunakan, maka para pihak wajib mengikutinya.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK pada dasarnya bertujuan untuk

menetapkan besarnya ganti rugi dan/atau menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang

kembali kerugian yang diderita konsumen. Pihak konsumen yang merasa dirugikan oleh perilaku

pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada UUPK dapat menyelesaikan sengketanya di BPSK

sehingga konsumen tersebut bisa mendapatkan ganti rugi yang setimpal. Sedangkan pelaku usaha akan

sanksi atau kewajiban yang dapat membuatnya tidak akan lagi mengulangi perbuatan yang merugikan

konsumen. Jika dalam penyelesaian sengketa di BPSK ditemukan pelanggaran ketentuan pidana, maka

BPSK bertugas untuk melaporkan hal tersebut kepada penyidik umum. Hal ini sesuai dengan

ketentuan pasal 45 jo pasal 52 huruf d UUPK. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam UUPK. Oleh karena itu, BPSK tetap

berwenang memeriksa sengketa yang diancam oleh ketentuan pidana, akan tetapi BPSK hanya

berwenang sepanjang melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran tersebut. Hal ini

24

Susanti Adi Nugroho, op.cit., hal. 153-154

Page 20: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

diperkuat dengan ketentua pasal 56 ayat (5) UUPK yang mengatur bahwa Putusan BPSK merupakan

bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Kontrak Elektronik

Menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pengertian perjanjian adalah

sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian ini menunjukan bahwa perjanjian

merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Perjanjian dalam hal ini diartikan sebagai peristiwa

hukum yang melahirkan perikatan antar para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya.

Sedangkan, yang dimaksud dengan perjanjian dalam ruang lingkup perdagangan elektronik (e-

commerce) diartikan adalah perjanjian yang dibuat secara elektronik pula. Transaksi e-commerce yang

dilakukan melalui media internet memiliki karakteristik khusus dimana kontrak yang mengikat antara

para pihak dibuat secara elektronik atau paperless dan dibuat melalui media internet (online).

Kharateristik yang demikian membuat transaksi secara elektronik yang sekarang ini ramai dibicarakan,

disebut pula sebagai “online contract”.

Istilah online contract sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan

secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan

komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas

jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh

keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).25

Istilah lain dapat ditemukan pada UU ITE yang mengatur mengenai Kontrak Elektronik.

Kontrak Elektronik menururt pasal 1 angka 17 adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem

elektronik. Dalam prakteknya, Transaksi Elektronik tidak terlepas dari Kontrak Elektronik sebagai

dasar hubungan hukum antara para pihak baik pembeli, penjual, atau pihak ketiga. Dalam praktek, ada

beberapa bentuk Kontrak Elektronik yang selama ini berkembang, yaitu:26

1. Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui email. Penawaran dan penerimaan dapat

dipertukarkan melalui email atau dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya,

dokumen tertulis, fax dan lain-lain;

2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa online lain, yaitu suatu web site

menawarkan penjualan barang/jasa dan konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi dan

mengirimkan suatu formulir yang terpampang pada layar monitor;

3. Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct online transfer dari informasi dan jasa, web site

digunakan sebagai medium of communication dan sekaligus medium of exchange;

4. Kontrak yang berisi electronic data interchange (EDI), suatu pertukaran informasi bisnis

secara elektronik dalam computer processable format melalui komputer milik para mitra dagang

(trading partners);

25

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004). Hal 223

26 Mieke Komar Kontaatmadja, Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan Elektronik, artikel dalam

Cyberlaw suatu pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hal2.

Page 21: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

5. Suatu cara berkontrak dalam internet dapat bersifat perjanjian lisensi click-wrap dan shrink-

wrap. Software yang diunduh dari internet lazimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap. Lisensi

tersebut muncul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan dipasang (install) dan

calon pembeli ditanya apakah ia bersedia menerima persyaratan lisensi tersebut sebelum

menggunakan program tersebut. Pengguna dapat memilih “I accept” atau “I don’t accept”. Apabila

pembeli menyetujui persyaratan lisensi, software tersebut dapat dipasang (install).

Pengaturan lebih lanjut mengenai kontrak elektronik dapat ditemukan pada Peraturan

Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Pasal 47 PP PSTE mengatur bahwa transaksi elektonik dapat dilakukan berdasarkan kontrak

elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para

pihak. kontrak elektronik dianggap sah apabila:

a) terdapat kesepakatan para pihak;

b) dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai denan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

c) terdapat hal tertentu; dan

d) objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kesusilaan, dan ketertiban umum.

Ketentuan tersebut menggambarkan bahwa kontrak elektronik merupakan kontrak yang setara

dengan kontrak pada umumnya yang dibuat di atas kertas. Dengan demikian, persyaratan sahnya suatu

kontrak elektronik dapat disamakan dengan ketentuan mengenai syarat sah kontrak yang diatur dalam

pasal 1320 KUHPerdata. Jika dibandingkan, maka kita dapat melihat keduanya merupakan ketentuan

yang sama.

Selanjutnya, pasal 48 PP PSTE mengatur bahwa kontrak elektronik dan bentuk kontraktual

lainnya yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. Kontrak

Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan mengenai klasula baku

sebagaimana diatur dalam UUPK dan untuk isi dari kontrak elektronik, PP PSTE mengatur bahwa

Kontrak Elektronik paling sedikit memuat:

a) data identitas para pihak;

b) objek dan spesifikasi;

c) persyaratan transaksi elektronik;

d) harga dan biaya;

e) prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;

f) ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat

mengembalikan barran dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat

tersembunyi; dan

g) pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.

Ketentuan mengenai syarat minimum dalam kontrak elektronik tersebut pada dasarnya

memiliki unsur perlindungan konsumen di dalamnya. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan terhadap

klausula-klausula tersebut, khususnya pada transaksi elektronik yang melibatkan konsumen, karena

konsumen harus dapat dipastikan mengerti dan memahami apa yang diatur dalam kontrak tersebut.

Dengan demikian, kepentingan konsumen dapat terlindungi dari perbuatan yang dapat merugikan

konsumen.

Page 22: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Hal yang menarik adalah kewajiban untuk mencantumkan klausula penyelesaian transaksi

elektronik. Hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak karena terdapat pilihan untuk

memilih forum mana yang akan digunakan untuk penyelesaian di antara mereka. Sebagaimana

perkembangan di komunitas internasional, Penyelesaian sengeketa pada transaksi e-commerce mulai

dikembangkan melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan internet atau

yang dikenal dengan istilah Online Dispute Resolution (ODR). Penyelesaian sengketa melalui ODR

memberikan peluang akan penyelesaian sengketa yang efisien, cepat, dan lebih murah karena para

pihak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pertemuan, pengiriman surat, dan penggandaan

dokumen.27

Hal ini dapat dilakukan melalui perjanjian penyelesaian sengketa yang berupa klausula

pilihan hukum penyelesaian sengketa. Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan,

maka perlu dibuat klausula tersebut atau dalam Undang-Undang Arbitrase disebut juga dengan

klausula arbitrase. Artinya, pelaksanaan ODR dapat diselenggarakan apabila para pihak bersepakat

untuk menggunakan ODR melalui perjanjian/klausula arbitrase.

BPSK Sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik Pelayanan Publik

Dalam konteks penyelesaian sengketa e-commerce, peran BPSK sangat penting untuk segera

memberikan perlindungan bagi para pelaku perdagangan. Hal ini tentunya dilakukan sesuai dengan

tugas BPSK yaitu melalui penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi,

mediasi, atau arbitrase. Oleh karena itu, agar dapat melakukan tugas tersebut secara efektif pada

penyelesaian sengketa e-commerce, BPSK juga harus dapat menyesuaikan dengan karakteristik dari

penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang ada saat ini. Penyelenggaraan sistem dan

transaksi elektronik saat ini diatur dalam Undang-Undang ITE dan PP PSTE. Artinya, BPSK sudah

seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan tesebut.

Perbedaan antara penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelayanan publik dengan

penyelenggaraan sistem elektronik untuk non publik dapat ditemukan pada beberapa ketentuan di PP

PSTE. Secara khusus, penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib untuk

menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah indonesia, wajib memperoleh

sertifikasi kelaikan sistem elektronik dari menteri, dan wajib terdaftar pada kementrian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Selain itu,

penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelayanan publik juga wajib menggunakan perangkat lunak

yang terdaftar pada kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi

dan informatika, terjamin keamanan dan keandalan operasi sebagaimana mestinya, dan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan. Jika disimpulkan, terhadap penyelenggaraan sistem elektronik untuk

pelayanan publik, PP PSTE menuntut untuk menerapkan tata kelola yang baik dan akuntabel. Standar

yang sama pada dasarnya berlaku juga bagi penyelenggara sistem elektronik untuk non pelayanan

publik. Hanya saja, dalam pengaturannya tidak diatur secara kaku dengan membuka kemungkinan

bagi penyelenggara non pelayanan publik untuk mengembangkan tata kelola yang baik dan akuntabel.

Penyesuaian BPSK sebagai penyelenggaraa sistem elektronik dapat mengacu pada PP PSTE.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh BPSK dalam menyelenggarakan pelayanannya melalui

sistem elektronik sebagaimana diatur dalam PP PSTE. Berikut adalah beberapa hal yang harus

dilakukan BPSK dalam penyelenggaraan sistem elektronik sesuai PP PSTE:

1) Pendaftaran

27

Ibid.

Page 23: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Sebagai penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik, maka suatu lembaga

wajib melakukan pendaftaran yang diajukan kepada menteri.

2) Perangkat keras

Perangkat keras yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik harus:

Memenuhi aspek interkonektivitas dan kompatibilitas dengan sistem yang

digunakan

Memperoleh sertifikat kelaikan dari menteri

Mempunyai layanan dukungan teknis, pemeliharaan, dan purnajual dari

penjual atau penyedia

Memiliki referensi pendukung dari pengguna lainnya bahwa perangkat keras

tersebut berfungsi sesuai dengan spesifikasinya

Memiliki jaminan ketersediaan suku cadang paling sedikit 3 tahun

Memiliki jaminan kejelasan tentang kondisi kebaruan; dan

Memiliki jaminan bebas dari cacat produk.

3) Perangkat lunak

Perangkat lunak yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan

publik wajib:

Terdaftar pada kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang komunikasi dan informatika

Terjamin keamanan operasi sebagaimana mestinya

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

4) Tenaga ahli

Keperluan untuk menyelenggarakan sistem elektronik tentunya harus diikuti dengan

adanya sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya. Dalam hal ini

penyelenggara sistem elektronik dapat menggunakan tenaga ahli. Tenaga ahli merupakan

orang yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan

oleh penyelenggara sistem elektronik. Dalam hal penyelenggaraan sistem elektronik

bersifat strategis, maka penyelenggara sistem elektronik wajib menggunakan tenaga ahli

indonesia.

5) Tata kelola

Penyelenggara sistem elektronik wajib menjamin:

Tersedianya perjanjian tingkat layanan

Tersedianya perjanjian keamanan informasi terhadap jasa layanan teknologi

informasi yang digunakan; dan

Kamanan informasi dan sara komnikasi internal yang digunakan

6) Pengamanan

Penyelenggara sistem elektronik wajib untuk menjamin keamanan dari sistem

elektroniknya dari segi keamanan rekam jejak, komponen, prosedur dan sarana, serta

kerahasiaan informasi dan dokumen elektronik. Untuk itu penyelenggara sistem elektronik

wajib melakukan edukasi kepada pengguna layanannya mengenai hak, kewajiban, dan

tanggung jawab seluruh pihak terkait.

7) Sertifikasi kelaikan sistem elektronik

Untuk penyelenggara sistem elektronik pelayanan publik, maka diwajibkan untuk

mendapatkan sertifikat kelaikan sistem elektronik. Sertifikat tersebut diberikan jika telah

memenuhi standar dan/atau persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri. Sertifikasi

dilakukan dengan uji kesesuaian terhadap seluruh atau sebagian komponen sistem

elektronik bergantung pada kebutuhan.

Page 24: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Ketentuan tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh BPSK dalam hal BPSK

hendak melakukan penyelenggaraan sistem elektronik sebagai upaya penyelesaian sengketa konsumen

pada transaksi e-commerce antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK harus melakukan reformasi agar

dapat melindungi kepentingan seluruh pihak terkait dan dapat menyelenggarakan penyelesaian

sengketa konsumen yang efektif.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui ODR

Berikut ini adalah prosedur arbitase online pada umumnya. Dalam menjalankan arbirase

online maka secara umum tahapan-tahapan berikut ini akan ditempuh:28

a. Permulaan

Setelah ketidaksepakatan diantara para pihak yang diatur dalam Perjanjian Arbitrase tidak

dapat diselesaikan, maka pihak yang mengajukan klaim mengajukan perkaranya ke arbitrase,

lembaga atau arbitrase ad hoc. Pengiriman perkara oleh pemohon dapat dilakukan melalui

email atau jika lembaga arbitrase sudah menyiapkan dalam situsnya formulir online atau

website online yang dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka perkara

dapat didaftarkan secara online. Dalam hal permohonan dilakukan melalui email maka

lembaga arbitrase atau arbiter harus memastikan bahwa pemohon adalah orang/pihak yang

berhak.

Lembaga arbitrase/arbiter selanjutnya memberitahukan hal itu kepada termohon melalui

alamat email yang disediakan pemohon. Dalam komunikasi ini, baik pemohon maupun

termohon dapat meminta atau menolak untuk mengadakan arbitrase online. Jika para pihak

setuju dan menurut lembaga arbitrase baik pemohon maupun termohon mempunyai kapasitas

untuk menjalani prosedur arbitrase online maka prosedur online dapat dijalankan. Jika

sebaliknya, lembaga arbitrase menilai kurangnya kapasitas untuk melakukan arbitrase online

maka dapat dilakukan arbitrase secara tradisional

b. Pernyataan dan Dokumen Tertulis

Pada tahapan ini para pihak harus mengajukan pernyataan dan dokumen tertulis yang diajukan

kepada arbiter dan pihak lawan dalam rangka menjamin prinsip kontradiksi. Dalam suasana e-

commerce, para pihak dapat mengajukan bukti elektronik yang dimilikinya dan bukti fisik

untuk mendukung argumen-argumennya.

Dokumen-dokumen elektronik juga dapat disediakan dalam situsnya sendiri dan memberikan

kesempatan untuk pencarian baik melalui www maupun penyediaan file dalam bentuk ftp.

c. Persidangan/Pemeriksaan

Proses arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika diperlukan pemeriksaan lisan akan dilakukan.

Dengan demikian pemeriksaan dokumen merupakan hal yang utama sedangkan persidangan

lisan dilakukan jika diperlukan.

Secara teknis, pemeriksaan lisan secara elektronik dapat dilakukan. Namun biaya untuk

menyelenggarakan persidangan secara elektronik sangat mahal.

28

Ibid, Siburian, hal 192-193

Page 25: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Ketiadaan persidangan elektronik memang akan menimbulkan kesulitan. Namun, dalam

suasana elektronik tanpa adanya persidangan, hal ini dapat dilakukan melalui pertukaran email

atau melalui penggunaan IRC (Internet Relay Chat)

d. Permusyawarahan Online

Pada bagian akhir dari proses arbitrase, jika arbitrase dilakukan oleh majelis lebih dari seorang

maka akan dilakukan permusyawarahan oleh para arbiter. Jika para arbiter berada di wilayah

geografis yang berjauhan maka permusyawarahan akan dilakukan dengan menggunakan

fasilitas tertentu seperti IRC atau video conference. Hal ini perlu ditentukan suatu waktu

tertentu untuk melakukan permusyawarahan.

e. Pengiriman Putusan

Pada proses berarbitrase yang dilakukan secara online, pembacaan putusan tidak dilakukan.

Setelah putusan diambil, kepada para pihak dilakukan pemberitahuan secara online akan

adanya putusan dan putusan dikirimkan dengan memanfaatkan sarana elektronik. Menurut

Paustinus Siburian, jika prosedur online diakukan, maka IRC dapat dipersamakan dengan

pengucapan putusan. Jika IRC dilakukan maka cukup jika dilakukan dengan pemberitahuan

mengenai adanya putusan melalui email. Majelis arbitrase dapat mengirimkan putusan melalui

email atau menempatkannya pada situs yang digunakan untuk kasus yang bersangkutan.

Untuk membahas prosedur dalam penyelenggaraan ODR ini, penulis juga akan membahas

model penyelesaian sengketa yang telah diterapkan di china dalam menyelesaikan sengketa e-

commerce. Penyelesaian sengketa melalui ODR tersebut diselenngarakan oleh China International

Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC) berdasarkan regulasi mandiri yang dibuatnya

yaitu CIETAC Online Arbitration Rules (CIETAC OAR).

Cietac ODR Center adalah badan khusus yang dibentuk CIETAC untuk melayani

penyelesaian sengketa secara online, mengembangkan website yang dijadikan sebagai media

penyelesaian sengketa secara online.

Jenis sengketa yang ditangani

CIETAC OAR berlaku pada penyelesaian sengketa e-commerce dan dapat digunakan selain

dari pada penyelesaian sengketa ekonomi dan perdagangan berdasarkan perjanjian para pihak.( Article

2)

Model klausa arbitrase yang disarankan

“Any dispute arising from or in connection with this Contract shall be submitted to the China

International Economic and Trade Arbitration Commission for arbitration, which shall be conducted in

accordance with the Commission's Online Arbitration Rules in effect at the time of applying for

arbitration. The arbitral award is final and binding upon both parties.”

Metode penyelesaian sengketa yang digunakan

Metode penyelesaian sengketa yang digunakan pada arbitrase online di CIETAC adalah

arbitrase dan mediasi online. Akan tetapi, sesuai dengan karakteristik peraturan arbitrase di CIETAC

pada umumnya, penyelenggaraan arbitrase dikombinasikan dengan metode konsiliasi baik berdasarkan

persetujuan para pihak. Arbiter CIETAC dapat menghentikan upaya konsiliasi apabila para pihak

Page 26: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

memintanya atau apabila arbiter menilai bahwa usaha konsiliasi akan percuma. Apanila konsiliasi

gagal, maka arbiter harus melanjutkan proses arbitrase

Penggunaan/pemanfaatan TI dalam penyelesaian sengketa

Permohonan dan pengiriman dokumen secara elektronik melalui email, EDI, faksimili, dan

segala bentuk komunikasi elektronik lainnya. (Article 10)

CIETAC OAR Article 10

All documents, notices and written materials related to the arbitration shall be sent by the

Secretariat of CIETAC to the parties and/or their authorized representatives by email, EDI,

facsimile or any other similar means. Based on the procedure particulars of a case, the

Secretariat of CIETAC or the arbitral tribunal may also decide to send the documents to the

parties, primarily or secondarily, by regular mail, express mail or any other means deemed

appropriate.

Article 11

Any document submitted or transmitted under these Rules shall conform to the following

requirements:

(a) Any document sent by the Secretariat of CIETAC on behalf of CIETAC or the arbitral

tribunal may be copied to the other party at the same time;

(b) Neither party or anyone acting on its behalf may have any unilateral communication with

any member of the arbitral tribunal. All communications between a party and the arbitral

tribunal shall be conducted through the Secretariat of CIETAC;

(c) It shall be the responsibility of the sender of a document to retain records of the fact and

circumstances of the sending, which shall be made available for inspection by the related

parties and for reporting purposes;

(d) In the event that a party sending a document is notified of the non-delivery of the document

or believes it has not delivered the document successfully, the party shall promptly notify the

Secretariat of CIETAC of the circumstances of the notification. Further proceedings

concerning the communication and any response shall be directed by the Secretariat of

CIETAC;

(e) Any party that changes its specified means of communications, addresses or any other

contact details shall promptly notify the Secretariat of CIETAC.

Perjanjian arbitrase harus memiliki verifikasi dan otentikasi berupa bukti tertulis perjanjian dan

tanda tangan para pihak.

CIETAC OAR mendefinisikan bentuk tertulis dalam suatu dokumen atau perjanjian secara

luas dantidak terbatas hanya pada bentuk tertulis secara konvensional, melainkan termasuk juga

bentuk tertulis yang dibuat secara elektronik. (Article 1 point.6)

Article 1 point.6

"Written Form" refers to information-carrying forms, such as contracts, correspondence and

data messages (including telegrams, telexes, faxes, electronic data interchange and emails),

which can tangibly exhibit their contents and may be accessed at any time for subsequent

reference.

Page 27: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Keamanan berkomunikasi

Pasal 15 CIETAC OAR mengtur bahwa CIETAC akan mengupayakan penyimpanan data

komunikasi secara aman dan terenkripsi.

Proses Arbitase Online berdasarkan CIETAC Online Arbitration Rules

1. Proses administrasi

1) Permohonan arbitrase

- Menyerahkan surat permohonan arbitrase ke sekretariat CIETAC

- Menyertakan bukti-bukti yang

- Melakukan pembayaran

Biaya arbitrase dihitung berdasakan jumlah gugatan yang diajukan pemohon. Biaya

arbitrase dimulai dari RMB4,000. Biaya paling mahal untuk kasus domestik dan kasus

internasional adalah RMB606,500 plus 0.4% of the amount in dispute above

RMB100,000, dan RMB864,000 plus 0.4% of the amount in dispute above RMB100,000.

Untuk arbitrase internasional dikenai biaya permulaan RMB10,000

2) Notifikasi arbitrase

- Dalam waktu 5 hari sejak penerimaan permohonan arbitrase, para pihak akan diberikan

notifikasi arbitrase

- Notifikasi arbitrase memberikan informasi mengenai alamat internet dari website dimana

para pihak dapat berkonsultasi, , the CIETAC Arbitration Rules and the CIETAC Panel of

Arbitrators.

3) Majelis Arbiter

- Jika arbiter terdiri dari 1 orang, maka dalam waktu 6 hari setelah penerimaan nota

arbitrase oleh pihak terakhir, pemohon dan termohon harus secara bersama menunjuk

arbiter tunggal atau memercayakan pada ketua pimpinan CIETAC untuk menunjuk arbiter

tesebut.

- Jika arbiter terdiri dari 1 orang, maka dalam waktu 6 hari setelah penerimaan nota

arbitrase , pemohon dan termohon harus masing-masing menunjuk arbiter atau

memercayakan pada ketua pimpinan CIETAC untuk menunjuk arbiter tesebut. Dan dalam

waktu 6 hari setelah penerimaan nota arbitrase oleh pihak terakhir, pemohon dan

termohon harus secara bersama menunjuk arbiter ketiga atau memercayakan pada ketua

pimpinan CIETAC untuk menunjuk arbiter tesebut. Arbiter ketiga tersebut merupakan

ketua majelis arbiter.

4) Nota pembelaan dan gugatan balik

- Termohon harus menyerahkan nota pembelaan dan bukti-buktinya dalam waktu 30 hari

setelah penerimaan notifikasi arbitrase.

5) Nota Pembelaan Atas Gugatan Balik

- Pemohon harus menyerahkan nota pembelaannya atas gugatan balik dari termohon dalam

waktu 20 hari sejak penerimaan gugatan balik dari termohon.

2. Proses persidangan

1) Pemeriksaan sengketa

Dalam hal bukti yang digunakan para pihak dibuat, ditransmisikan, dan disimpan

secara elektronik, maka bukti tersebut harus memenuhi kriteria tertentu yang menentukan

Page 28: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

kekuatan pembuktiannya. Kriteria tersebut meliputi metode pembuatan, penyimpanan,

otentikasi bukti, dan kemampuan mempertahankan keutuhan bukti. Selain itu, bukti

elektronik yang menggunakan tanda tangan elektronik memiliki kekuatan yang sama

dengan dokumen yang ditandatangani secara konvensional.

Article 29 electronic evidence

The evidence submitted by the parties may be electronic evidence that is generated,

sent, received or stored by electronic, optical, magnetic or other similar means.

The following factors shall be taken into consideration when the authenticity of

electronic evidence is examined:

(a) The reliability of the methods used to generate, store or transmit the data

message;

(b) The reliability of the methods used to maintain the integrity of the contents of the

data message;

(c) The reliability of the methods used to identify the sender of the data message;

(d) Other relevant factors.

Electronic evidence with a reliable electronic signature shall have the same

admissibility and weight as evidence with a handwritten signature or affixed seal.

Jika tidak diperjanjikan lain, maka arbiter memutus sengketa berdasarkan dokumen atau alat

bukti tertulis saja tanpa pemeriksaan oral. Jika, pemeriksaan diperlukan, maka metode utama yang

digunakan adalah video conference dan/atau media komunikasi elektronik lainnya. Hal tersebut juga

berlaku dalam mediasi online.

Jika pemeriksaan oral diselenggarakan, maka bukti harus dihadirkan pada saat pemeriksaan.

Bukti tersebut merupakan bukti yang telah dipertukarkan antaa para pihak dan tidak ada keberatan atas

bukti tersebut sebelum pemeriksaan oral dilakukan. Hal

Putusan arbitrase online

Putusan dibuat dalam bentuk tertulis dan memuat tanggal dibuatnya putusan,tempat putusan

dibuat, serta ditandatangani oleh arbiter dan menggunakan label resmi dari CIETAC. (Article 39)

Perbedaan main, summary, dan expedited procedure

Penyelenggaraan arbitrase online pada CIETAC dibedakan menjadi 3 prosedur yang dapat di

pilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Perbedaan antara ketiga

prosedur tersebut terdapat pada jangka waktu yang diperlukan dan jenis sengketa yang dapat diperiksa.

Berikut adalah perbedaan masing-masing prosedur:

Jangka waktu Jenis sengketa

Main 30 days from receipt of the

notice of arbitration to submit its

Defence (and Counterclaim, if

any), the Claimant has 20 days

after that to submit its Reply, and

the tribunal should make its

award within 4 months of its

constitution.

Main procedure for all

dispute

Page 29: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Summary 15 days, 10 days and 2 months

respectively

disputes with a value of

more than RMB 100,000

but less than RMB

1,000,000

Expedited 10 days, 5 days and 15 days

respectively

disputes with a value of

RMB 100,000 or less

Pelaksanaan dan Eksekusi Putusan

Yang dapat dilakukan oleh BPSK untuk mewujudkan tujuan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan tersebut adalah dengan menjatuhkan sanksi administratif dan hukuman tambahan kepada

pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan

dengan penjatuhan sanksi administratif, hal tersebut merupakan salah satu tugas BPSK yang diatur

dalam pasal 52 sub m jo. Pasal 60 UUPK. Sedangkan, hukuman tambahan bagi pelaku usaha diatur

dalam pasal 63 UUPK.

Menurut ketentuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) UUPK, sanksi administatif yang

dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap/dalam rangka:29

1) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada para konsumen,

dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis,

maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh

konsumen;

2) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku

usaha periklanan;

3) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas, jaminan, purna jual, baik dalam

bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang

telah ditetapkan sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan

barang dan/atau jasa.

Selanjutnya, pasal 63 UUPK memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar

sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan bedasarkan ketentuan pasal 62 UUPK. Sanksi-sanksi

pidana tambahan yang dapat dijatuhkan dapat berupa:

1) Perampasan barang tertentu;

2) Pengumuman keputusan hakim;

3) Pembayaran ganti rugi;

4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

6) Pencabutan izin usaha.

Dalam usaha mencegah terulangnya kembali kerugian konsumen, pelaku usaha dapat

dikenakan hukuman tambahan. Hal tersebut dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang memiliki

sertifikat keandalan yang terbukti melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan dalam

bidang perlindungan konsumen dan transaksi elektronik. Hal ini semata-mata bertujuan untuk

29

Pelanggaran terhadap pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25, dan pasal 26 UUPK

Page 30: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

konsumen akibat dari perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ketentuan tersebut.

Dalam hal ini, BPSK merupakan lembaga yang berperan penting dalam pemberian sanksi

tersebut. BPSK dapat berperan dalam memberikan rekomendasi sanksi tambahan berupa pencabutan

sertifikat keandalan yang dimiliki pelaku usaha manakala ada pelaku usaha yang terbukti melakukan

pelanggaran peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha tersebut tidak lagi dinyatakan terdaftar

sebagai pelaku usaha yang lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. Dengan

demikian, BPSK dapat mencegah agar pelaku usaha tidak melakukan perbuatan yang melanggar

peraturan perundang-undangan yang dapat merugikan konsumen.

Dalam pemberian sanksi pencabutan sertifikat keandalan, BPSK tidak dapat bertindak sendiri.

Hal ini mengingat keterbatasan wewenang yang dimiliki BPSK. Dalam prakteknya, putusan

penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK hanya dapat berupa mengabulkan gugatan,

mengabulkan gugatan sebagian, atau menolak gugatan. Artinya, BPSK hanya berwenang memutus

sengketa dalam hal keperdataannya saja. Begitu juga dengan kewenangan pemberian sanksi

administratif oleh BPSK yang dibatasi oleh UUPK. BPSK hanya berwenang menjatuhkan sanksi

administratif kepada pelaku usaha berupa penetapan ganti rugi sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus

juta rupiah). Oleh karena itu, BPSK harus berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan

dalam menjatuhkan sanksi tambahan terhadap pelaku usaha, misalnya Kementerian Kominfo,

Lembaga Sertifikasi Keandalan, Penyelenggara Setifikat Digital (CA), atau Penyidik.

Apabila dalam suatu transaksi e-commerce antara pelaku usaha dan konsumen terbukti ada

pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 62 UUPK, maka selain pemberian

sanksi pidana pokok, pelaku usaha dapat pula diberikan sanksi tambahan berupa pencabutan sertifikat

keandalan yang dimilikinya. Upaya pencabutan tersebut sudah harus dilakukan sejak penyelesaian

sengketa di BPSK.

BPSK dapat segera melakukan koordinasi dengan lembaga/instansi terkait apabila dalam

sengketa konsumen yang ditanganinya ada dugaan pelanggaran ketentuan pidana. Sehingga,

kepentingan konsumen lainnya yang tidak terlibat sengketa dapat tetap dijaga dan dilindungi. Hal ini

karena penyelesaian sengketa di BPSK mengutamakan perdamaian melalui musyawarah mufakat di

antara para pihak. Sehingga, ada kemungkinan pelaku usaha, yang pada prakteknya tidak memiliki

kelayakan dalam melakukan transaksi elektronik, tidak dijatuhi sanksi oleh lembaga/instansi yang

berwenang.

Pada prakteknya, BPSK sering kali menemukan kasus sengketa konsumen yang berulang kali

dilakukan oleh pelaku usaha yang sama. Artinya, perlu ada tindakan lanjutan setelah sengketa

konsumen diselesaikan di BPSK. Dengan demikian, pelaku usaha yang terus menerus mengulangi

perbuatannya yang merugikan konsumen dapat ditindaklanjuti secara pidana maupun secara

administratif oleh lembaga/instansi yang berwenang.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian atau pemaparan dan kajian yang telah dilakukan, maka sampailah

penelitian ini pada kesimpulan sebagai berikut:

Page 31: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

1. Perlindungan terhadap konsumen pada transaksi e-commerce dalam lingkup B2C setelah

diberlakukannya Undang-Undang ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Sistem dan Transaksi Elektronik di Indonesia pada dasarnya meliputi hal-hal berikut:

- Pengaturan tentang penyelenggaraan transaksi elektronik

Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dibagi menjadi dua lingkup yaitu penyelenggaraan

transaksi elektronik dalam lingkup publik dan privat. Penyelenggaraan transaksi elektronik

dalam lingkup publik meliputi:

a. Penyelenggaraan transaksi elektronik oleh instansi atau oleh pihak lain yang

menyelenggarakan pelayanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE.

b. Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik lainnya sebagaimana

diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan, penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi

elektronik:

a. Antar Pelaku Usaha;

b. Antar pelaku usaha dengan konsumen;

c. Antar pribadi

d. Antar instansi

e. Antar instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Artinya, transaksi e-commerce dalam lingkup Business To Consumer (B2C) termasuk dalam

penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat yaitu antar pelaku usaha dan

konsumen. Akan tetapi, Pembedaan dalam lingkup penyelenggaan transaksi elektronik ini

sedikit menimbulkan kerancuan dalam pembedaan antara penyelenggaraan transaksi

elektronik dalam lingkup publik dan lingkup privat.

- Pengaturan sertifikasi keandalan terhadap pelaku usaha

Tujuan dari setifikasi keandalan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk melindungi

konsumen dalam transaksi elektronik. Sertifikat keandalan merupakan jaminan bahwa pelaku

usaha telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh lembaga sertifikasi keandalan. pasal 10

ayat (1) UU ITE menentukan bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi

elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan. Hal yang berbeda

diberlakukan terhadap penyelenggara transaksi elektronik untuk kepentingan pelayanan

publik, penyelenggara yang demikian diwajibkan untuk disertifikasi oleh lembaga sertifikasi

keandalan indonesia yang sudah terdaftar.30

Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 10 UU ITE dijelaskan bahwa sertifikasi

keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan

secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang

berwenang. Bukti telah dilakukan sertifikasi keandalan ditunjukkan dengan adanya logo

sertifikasi berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha tersebut. Dengan

demikian, konsumen dapat memiliki pilihan atau rujukan atas penyelenggara transaksi

elektronik yang handal dalam melakukan transaksi e-commerce.

30

Lihat pasal 41 ayat (1) dan (2) PP PSTE

Page 32: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

- Pengaturan sistem keamanan transaksi elektronik

Permasalahan keamanan dan kerahasiaan merupakan aspek yang penting dari suatu

pesan, data, atau informasi tersebut dikirim dan diterima oleh pihak atau orang yang

berkepentingan, apakah pesan, data, atau informasi tersebut masih asli atau otetik. Pesan, data

atau informasi akan tidak berguna lagi apabila di tengah jalan informasi itu disadap atau

dibajak oleh orang yang tidak berhak atau berkepentingan.

Untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan pesan, data, atau informasi dalam suatu

transaksi elektronik maka diperlukan beberapa enkripsi guna membuat pesan, data, atau

informasi agar tidak dapat dibaca atau dimengerti oleh sembarang orang, kecuali untuk

penerima yang berhak. Selain itu, dalam konteks perlindungan konsumen dalam transaksi e-

commerce, maka pelaku usaha perlu juga menunjukkan bukti keandalan dari sistem elektronik

yang dimilikinya dalam melakukan trasaksi e-commerce. Hal ini dapat dilakukan dengan

menunjukkan bukti kelayakan bahwa pelaku usaha layak berusaha dan bertransaksi

menggunakan sistem elektronik yang dimilikinya. Jika disimpulkan, maka sistem pengamanan

terhadap transaksi elektronik harus dapat memberikan perlindungan terhadap hal-hal berikut:

- Mengenkripsi atau mengkode pesan, data, atau informasi selama transaksi berlangsung.

Ini berarti dapat mengubah informasi ke dalam kode yang hanya dapat dibaca jika orang

lain memiliki kuncinya

- Melindungi pesan, data, atau informasi selama transaksi berlangsung dari pengubahan,

penambahan, atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

- Memverifikasi para pihak yang memang berkepentingan dalam transaksi tersebut dan

melindungi dari pihak yang tidak bertanggung jawab atas usaha untuk memperoleh

informasi yang dirahasiakan.

- Dalam konteks perlindungan konsumen, memberikan bukti kelayakan pelaku usaha dalam

melakukan usaha perdagangan dalam sistem elektronik. Hal ini dapat dilakukan dengan

menunjukkan bukti kelayakan usaha yang dijalaninya dalam menggunakan sistem

elektronik.

Hal tersebut dilakukan melalui mekanisme tanda tangan digital, sertifikat digital, e-

ktp, dan lembaga setifikasi keandalan. Dalam hal otentikasi dan verifikasi, maka para pihak

dapat menggunakan metode tanda tangan dan sertifikat digital. Sedangkan untuk upaya

preventif dengan memberikan bukti kelayakan pelaku usaha dapat dilakukan dengan

sertifikasi keandalan.

- Pengaturan kewajiban pelaku usaha dalam perlindungan konsumen pada transaksi e-

commerce.

Kewajiban pelaku usaha dalam rangka perlindungan konsumen pada umumnya diatur

dalam uupk. Namun demikian, kewajiban tersebut dapat pula diatur secara khusus

dalam penyelenggaraan perdagangan yang melibatkan konsumen pada bidang

tertentu. Dalam hal transaksi e-commerce dalam lingkup B2C, hal tersebut dapat

ditemukan dalam UU ITE dan PP PSTE. Secara khusus, berikut adalah kewajiban

pelaku usaha pada transaksi e-commerce dalam lingkup B2C:

1) Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen, dan produk yang ditawarkan.

Page 33: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

2) Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak

atau iklan,

3) Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk

mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau

terdapat cacat tersembunyi.

4) Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah

dikirim.

5) Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar

barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.

2. BPSK memiliki peluang untuk dapat menerapkan ODR dalam penyelesaian sengketa transaksi

e-commerce dalam lingkup B2C. hal tersebut dapat ditinjau berdasarkan pembahasan meliputi

beberapa hal yaitu kompetensi BPSK, keberlakuan Kontrak Elektronik atau Perjanjian Online,

Pengaturan mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Pelayanan publik, Proses

penyelesaian sengketa melalui ODR berdasarkan model Arbitrase Online di China, serta

pelaksanaan dan eksekusi putusan.

- Kompetensi BPSK menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa e-commerce dapat

diselesaikan di BPSK selama menyangkut konsumen sebagai salah satu pihaknya. Akan

tetapi, ada pengecualian dalam kewenangan BPSK. Pengaduan kepada BPSK tidak dapat

diterima meskipun penggugatnya konsumen akhir apabila:

- Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil maupun militer

(contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat, penyalahgunaan kekuasaan dan

lain-lain).

- Barang atau jasa yang dikonsumsi secara hukum dilarang untuk diproduksi atau

diperdagangkan (contohnya dalam masalah narkoba, barang purbakala, jasa

kenikmatan yang dilarang dan lain-lain)

- Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha

- Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak dapat diterima

oleh BPSK

- Keberlakuan penyelenggaran ODR harus dilandasi dengan adanya perjanjian

penyelesaian sengketa. Dalam hal e-commerce, para pihak dapat melakukan kesepakatan

melalui kontrak elektronik. Hal yang serupa dapat diterapkan pada perjanjian

penyelesaian sengketa secara online. Kemungkinan penyelenggaraan ODR dapat

ditemukan pada pengaturan pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa hanya saja penyelesaian secara elektronik tersebut harus disertai dengan catatan

penerimaan oleh para pihak. Selain itu, dalam hal perjanjian arbitrase online maka

perjanjian tersebut juga harus memenuhi ketentuan syarat perjanjian arbitrase yaitu harus

tertulis dan ditandatangani. Hal tersebut merupakan prinsip verifikasi dan otentikasi

dalam perjanjian arbitrase. Dalam hal ini UU ITE sudah mengatur mengenai keberlakuan

dokumen elektronik dan kontrak elektronik, dengan demikian setiap perjanjian tidak

dapat dibatalkan hanya berdasarkan bentuknya yang tidak tertulis melainkan elektronik.

- BPSK sebagai Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam Lingkup Pelayanan Publik

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pelayanan Publik dan Undang-Undang ITE,

BPSK dapat dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu,

BPSK seharusnya menyesuaikan dengan ketentuan mengenai penyelenggara sistem

elektronik dalam lingkup pelayanan publik yang saat ini diatur berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi

Elektronik. Jika BPSK hendak untuk memberikan perlindungan tehadap penyelesaian

sengketa konsumen di Indonesia, maka BPSK sudah seharusnya mengikuti ketentuan

Page 34: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

tersebut agar dapat menyelenggarakan penyelesaian sengketa secara online (Online

Dispute Resolution).

Selanjutnya, Sebagai penyelenggara sistem elektronik dalam lingkup pelayanan publik,

maka BPSK perlu menyesuaikan diri dengan beberapa ketentuan mengenai kelayakan

penyelenggara sistem elektronik yang meliputi ketentuan pendaftaran, perangkat keras,

perangkat lunak, tenaga ahli, tata kelola, pengamanan, dan sertifikasi kelaikan sistem

elektronik.

- Proses penyelesaian sengketa melalui ODR dapat ditinjau berdasarkan model acuan yang

digunakan oleh negara yang sudah menerapkan ODR itu sendiri. Dalam hal ini, China

merupakan negara yang sudah memiliki perangkat penyelenggaran ODR tersebut dalam

penyelesaian sengketa transaksi e-commerce, yaitu melalui China International

Economoc and Trade Arbitration Association (CIETAC). Prosesnya terbagi menjadi 3

jenis yang dibedakan berdasarkan jangka waktu dan jenis sengketa yang ditangani.

Semakin kecil sengketa yang ditangani, maka proses penyelesaian sengketa juga semakin

cepat, sehingga dapat menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa karena cepat dan

mudah. Dalam hal ini, hal tersebut dapat dijadikan rujukan bagi BPSK sebagai guidelines

dalam menyelenggarakan penyelesaian sengketa konsumen pada transaksi B2C e-

commerce.

- Eksekusi dan pelaksanaan putusan

Dalam rangka memberikan efek terhadap penyelesaian sengketa melalui BPSK pada

penyelesaian sengketa konsumen transaksi e-commerce, BPSK dapat melakukan dua hal

yaitu pemberian sanksi administratif dan pencabutan sertifikat keandalan. Hal ini sesuai

dengan tujuan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yaitu untuk

menetapkan ganti rugi dan/atau menjamin tidak terulang kembali kerugian yang diderita

konsumen. Artinya, terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap

hak-hak konsumen dan tidak melaksanakan kewajiban pelaku usaha, maka BPSK dapat

menjatuhkan sanksi administratif berupa gantu rugi yang maksimal besarnya sejumlah Rp

200.000.000,-. Pelaku usaha yang telah merugikan konsumen akan diperintahkan untuk

menghentikan perbuatannya tersebut. Apabila pelaku usaha tidak patuh, maka BPSK

dapat berkoordinasi dengan lembaga sertifikat keandalan, kementerian kominfo, dan

penyidik untuk mencabut sertifikat keandalan pelaku usaha tersebut. Terlebih, apabila

ditemukan pelanggaran pidana maka penyidik dapat memprosesnya secara pidana.

4.2 Saran

Dari beberapa kesimpulan di atas maka pada bagian akhir penulisan ini, penulis

mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu ada perlindungan hukum yang lebih terhadap konsumen dalam penyelenggaraan transaksi e-

commerce. Hal ini mengingat masih minimnya perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen

dalam melakukan transaksi e-commerce. Berikut ini adalah hak-hak konsumen yang seharusnya

dilindungi dalam transaksi e-commerce:

1) Perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha

a. Dimana dalam hal ini pelaku usaha berkewajiban mencantumkan identitas

dalam website, tidak hanya nomor telepon atau alamat email, tetapi juga

identitas jelas lainnya seperti alamat pelaku usaha. Diharapkan dengan

pencantuman identitas ini dapat menjamin kepastian hukum bagi konsumen

yang bertransaksi

Page 35: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

b. Adanya lembaga penjamin keabsahan toko online. Ketiadaan lembaga

penjamin membuat konsumen berpotensi untuk melakukan transaksi dengan

toko fiktif. Oleh karena itu, perlu ada pihak ketiga yaitu lembaga khusus yang

berperan dalam memberikan jaminan bahwa toko online yang dijamin oleh

lembaga tersebut merupakan toko yang aman dan dapat dipercaya oleh para

penggunanya. Kriteria aman dan dapat dipercaya dalam hal ini berarti

memenuhi standar keamanan transaksi elektronik dimana pelaku usaha

menjamin bahwa informasi yang dipertukarkan hanya bisa dibaca oleh

penerima yang berhak dan tidak dipahami oleh orang yang tidak berhak,

identitas para pihak dapat diketahui atau dijamin keotentikannya, pihak yang

terkait tidak dapat menyangkal telah melakukan transaksi. Dengan demikian,

lembaga ini dapat menjamin keabsahan suatu toko online dalam beroperasi

dengan menerbitkan sertifikat digital.

2) Perlindungan hukum dari sisi konsumen

Adanya jaminan perlindungan kerahasiaan data-data pribadi konsumen, karena data-data

pribadi tersebut jika tidak dijaga kerahasiaannya oleh pelaku usaha dapat diperjualbelikan

untuk kepentingan promosi

3) Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi produk

Dalam menawarkan produknya, pelaku usaha diwajibkan untuk:

a. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang

ditawarkan sehingga konsumen tidak disesatkan terutama informasi yang

sifatnya mendasar (kualitas produk, jenis produk, ukuran, dll) di samping

informasi-informasi lain yang relevan seperti keunggulan produk. Hal ini

sangat penting untuk membantu konsumen dalam mengambil keputusan

untuk membeli atau tidak.

b. Informasi produk mengenai produk harus diberikan melalui bahasa yang

mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Dalam hal ini,

mengingat e-commerce merupakan perdagangan yang dapat melintasi batas-

batas negara dan pelaku usaha dapat berasal darimana saja, maka untuk

penggunaan bahasa disesuaikan dengan negara asal pelaku usaha tersebut.

Jadi dalam hal ini, konsumen dihimbau untuk bertransaksi dengan pelaku

usaha yang bahasanya dapat dimengerti oleh dirinya.

c. Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau nyaman

untuk dikonsumsi atau dipergunakan

d. Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan sesuai dengan apa yang

dipromosikan oleh pelaku usaha.

4) Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi transaksi

Tidak semua konsumen paham akan cara bertransaksi melalui media internet sehingga

dalam hal ini pelaku usaha perlu memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai

mekanisme transaksi serta hal-hal lain berkenaan dengan transaksi seperti:

a. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi,

dalam hal ini konsumen diharuskan memenuhi persyaratan yang harus

dipenuhi seperti mengisi data pribadi dan alamat lengkap pada form yang ada

pada website pelaku usaha. Hal ini dilakukan untuk data administrasi dan

untuk mengetahui kredibilitas konsumen

b. Kesempatan bagi konsumen untuk mengkasji ulang transaksi yang akan

dilakukannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan yang dibuat

Page 36: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

oleh konsumen. Artinya, konsumen diberikan kesempatan untuk membatalkan

transaksi apabila transaksi tersebut terdapat kesalahan.

c. Kejelasan harga produk. Misal, harga dari produk yang ditawarkan, apakah

sudah termasuk ongkos kirim atau belum.

d. Informasi mengenai kemunkinan bagi konsumen untuk mengembalikan

barang yang sudah dibeli beserta mekanismenya. Hal ini sangat penting

dimengerti oleh konsumen karena tidak semua barang yang menjadi

pesanannya itu diterima dengan sempurna, ada kemungkinan rusak pada saat

pengiriman ataupun barang tersebut cacat produksi. Dengan demikian,

konsumen dapat mengembalikan produk tersebut sesuai dengan mekanisme

yang telah ditentukan.

e. Jangka waktu pengajuan klain yang wajar. Dalam hal ini pengajuan klaim

diharapkan jangka waktu tidak terlalu singkat karena jika terlalu singkat akan

merugikan konsumen itu sendiri.

f. Pelaku usaha harus menyediakan suatu rekaman transaksi yang setiap saat

dapat diperoleh atau diakses konsumen yang didalamnya berkaitan dengan

transaksi yang telah atau sedang dilakukan oleh konsumen.

g. Mekanisme pengiriman produk. Mekanisme pengiriman perlu diketahui

dengan jelas oleh konsumen. Hal ini disebabkan karena konsumen akan

memilih dengan cara apa barang yang dipesannya akan dikirim. Mekanisme

penyelesaian sengketa yang disepakati bersama antara pelaku usaha dan

konsumen. Hal ini sangat penting karena tidak selamanya suatu transaksi

berjalan lancar. Adakalanya sengketa antara pelaku usaha dan konsumen tidak

dapat dihindarkan. Oleh karena itu, perlu diatur secara jelas dalam

kesepakatan tertulis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang akan

ditempuh apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Apakah

melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa

melalui pengadilan.

2. BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen perlu memperkuat diri sendiri melalui

program kerja yang disusun setiap tahunnya. Program kerja tersebut bertujuan untuk melakukan

penguatan kelembagaan. Salah satu hal yang dapat ditempuh oleh BPSK adalah dengan membuat

Memorandum of Understanding (MoU) dengan instansi-instansi terkait dalam upaya

penyelesaian sengketa konsumen. Pihak-pihak tesebut antara lain adalah kepolisian, asosiasi

pengusaha, dan mahkamah agung. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan, pemerintah

seharusnya memberikan fasilitas pengembangan kapasitas diri bagi anggota BPSK. Hal ini dapat

ditempuh dengan memberikan seminat atau workshop kepada anggota-anggota BPSK yang

tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, harapannya BPSK dapat berperan secara optimal

dan efektif dalam melakukan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

Page 37: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Bachetta. Mark. Et all. WTO Special Studies 2: Electronic Commerce And The Role Of WTO. Geneva:

WTO Publications. 1998

Febrian, Jack. Kamus Komputer & Teknologi Informasi, Bandung: Penerbit Informatika 2007.

Hill, Richard and Ian Walden. The Draft UNCITRAL Model Law for Electronic commerce : Issues and

solutions ( teaching materials ) March 1996.

Kamus Lengkap Dunia Komputer, Semarang: Wahana Komputer, 2005

Kontaatmadja, Mieke Komar. Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan Elektronik, Jakarta: ELIPS

Project, 2002.

Kristiyanti, Celina tri siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Sinar Grafika, 2008.

Makarim, Edmon . Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: Raja Graffindo

Persada, 2005.

Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004

Mamudji, Sri. Et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005

Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Cet.2, Jakarta: Diadit Media, 2002

Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta

Kendala Implementasiya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Purbo, Onno W. dan Aang Arif Wahyudi. Mengenal E-Commerce, Jakarta : PT. Elex Media

Komputindo, , 2001.

Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktik Penegakan

Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Siburian, Paustinus. Arbitrase Online: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara

Elektronik. Jakarta: Penerbit Djambatan. 2004

Sumartono, Gatot P. Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006

Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008

Taylor, Mark. Uses of Encryption: Digital Signatures, USA: Sweet & Maxwell Limited and

Contributors, 1999

Whiteley, David. E-commerce: Strategy, Technologies, and Applications. London: The McGraw-Hill

Companies, 2000

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2001

Page 38: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Widjaya, Gunawan. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis: Arbitrase Vs Pengadilan Persoalan Kompetensi

Absolut Yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), hlm 37-41

ARTIKEL

Ahalt, Arthur M. Monthy. “What You Should Know About Online Dispute Resolution”,

http://files.ali-aba.org/thumbs/datastorage/lacidoirep/articles/PLIT0903_Ahalt_thumb.pdf,

diakses pada 1 Desember 2012.

Barkatullah, Abdul Halim, “Penerapan Arbitrase Online Dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi E-

Commerce”, (Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17, Juli 2010)

Hornle, Julia. “Cross Border Internet Dispute Resolution”, (Artikel, 2009), http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/V10/539/85/PDF/V1053985.pdf?OpenElement, diakses pada 1

Desember 2012.

Prins, J.E.J. Et al., “Trust in Electronic Commerce”, (Kluwer Law International, Netherland, 2002)

Schellekens, Maurice dan Leo van der Wees, “ADR and ODR in Electronic Commerce”, (Kluwer

Law International, Netherland, 2002)

Sinaga, Aman. “Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya

Perlindungan Konsumen” (Makalah, 2004).

Sutiyoso, Bambang, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution dan

Pemberlakuannya di Indonesia” (Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 2, Juni 2008

INTERNET

, “ Thirty Years of Reform and Opening Up “,

www.Chinaculture.org/cnstatic/openingupe.doc, diakses pada 1 Desember 2012.

, “Digital Certificate”, http://www.total.or.id/info.php?kk=Digital %20Certificate,

diakses pada 1 Desember 2012.

, “Public-Key Cryptosystems (Asymetric Ciphers)”,

http://www.ssh.com/support/cryptograpy/algorithms/asymetric.html, diakses pada 1 Desember

2012.

, “What are Digital Certificates?”, http://wisegeek.com/what-are-digital-

certificates.html, diakses pada 1 Desember 2012.

, http://www.e-ktp.com/2011/06/hello-world/, diakses pada 1 Desember 2012

, http://www.foruminternet.org/documents/lois/lire.pthml?id=21, diakses pada 1

Desember 2012.

Page 39: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

, http://www.mpo.cz/zprava 23739.html diakses pada 1 Desember 2012

, http://www.oecd.org/internet/consumerpolicy/2091663.pdf, diakses pada 1 Desember

2012.

, http://www.opera.com/support/search/view/191

, http://www.tech-faq.com/certificatw-authority-sthml, diakses pada 1 Desember 2012.

Andiono, et al, “Tinjauan Kritis atar CA (Certificate/certification Authority RUU ITE dalam

perspektif akademis”, http://www.mti.ugm.ac.id

APJJI 2008, “Statistik APJJI”, http://www.apjji.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses tanggal 31

Maret 2012.

Arsic, Jasna, “International Commercial Arbitration on the Internet-Has the Future Come Too Early?”,

Journal of International Arbitration, 1997 (http://www.kluwerarbitration.com)

Caprizoli, Ernest A, Sheb L True, dan Thomas K Pritchett. “Electronic Commerce: A Conceptual

Framework” http://www.sbaer.uca.edu/research/swma/2000/06.pdf, diunduh pada 12 Februari

2012

Dimas, Muhammad. “Rancangan Metode Enkripsi Untuk Pengamanan Data Pada E-KTP”,

http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Kriptografi/2009-

2010/Makalah1/Makalah1_IF3058_2010_058.pdf , diakses pada 1 Desember 2012

http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/electronic_commerce/2005Convention.html, diakses

pada 1 Desember 2012

Junke, Xu. “Development of ODR in China”,

http://law.pace.edu/lawschool/files/iicl/ODR/Xu_Junke.pdf, diakses pada 1 Desember 2012

Munir,Rinaldi.“Kriptografi”http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Kriptografi/2009-

2010/Makalah1/Makalah1_IF3058_2010_058.pdf , diakses pada 1 Desember 2012.

Nugraha, Dian. “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resoution) Dalam

Electronic Commerce”, http://resources.unpad.ac.id/unpad-

content/uploads/publikasi_dosen/1D%20MPSA%20e.%20commerce.pdf , diunduh 22 Februrati

2012

Rizky, “ Wakai Buku Yang Memotret Sistem Mediasi Negeri Sakura ” http:// www. hukum

online.com/berita/baca/hol20268/wakai-buku-yang-memotret-sistem-mediasi-negeri-sakura.,

diakses pada 2 Februari 2011

Saly, Jean Neltje. “Keabsahan Alat Bukti Elektroni dalam Suatu Perjanjian dalam Penyelesaian

Sengketa Melalui Arbitrase Online”, http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-teknologi/661-

keabsahan-alat-bukti-elektronik-dlm-suatu-perjanjian-dlm-penyelesaian-sengketa-melalui-

arbitrase-onl.html, diakses pada 9 Juli 2012.

Page 40: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

Setiawan, Aries. “YLBHI: Ada 2 PR untuk Ketua MA yang Baru”.

(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/286435-ylbhi--ada-2-pr-untuk-ketua-ma-yang-baru),

diakses pada 1 FebruarI 2011

UNCITRAL, http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/electcom/06-57452_Ebook.pdf, diakses pada 1

Desember 2012

UNCITRAL,http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/electronic_commerce/1996Model.html,

diakses pada 1 Desember 2012

Wibowo, Arianto Mukti. “Tanda Tangan Digital & Sertifikat Digital: Apa Itu?”,

http://www.geocities.com/resource/sertifik/tanya/html, diakses pada 1 Desember 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), LN No. 42

Tahun 1999, TLN No. 3821.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE), L.N. No 58 tahun 2008, T.L.N. No. 4843.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU

PP). L.N. No 112 tahun 2009, T.L.N. No. 5038

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), L.N. No 138 tahun 1999, T.L.N. No. 3872.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 15, LN No. 30 Tahun

2002, TLN No. 4191.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta

Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,

Kota Malang, Dan Kota Makassar

Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2012 Tentang. Pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

United Nations Convention on the Use of Electronic Communication in International Contacts 2005

Page 41: PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA TRANSAKSI E …

United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) 1980

United Nation Commission on International Trade Law Model Law on Electronic Commerce 1996

United Nation Commission on International Trade Law Model Law on International Commercial

Arbitration 1985

Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention)

1958

Organisations for Economic Co-Operation and Development Guidelines for Consumer Protection in

the Context of Electronic Commerce 1999

China International Economic and Trade Arbitration Commission Online Arbitration Rules