pen ndd aahhuulluuan...telah terbentuk enam forum masyarakat (formas) di enam kecamatan. telah ada...
TRANSCRIPT
11
PPEENNDDAAHHUULLUUAANN
11..11.. LLaattaarr BBeellaakkaanngg
Taman Nasional Sebangau (TNS) dengan luasan 568.700 ha, terletak di
antara sungai Sebangau dan sungai Katingan. Secara administratif, TNS
merupakan bagian dari wilayah Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan
dan Kabupaten Pulang Pisau. Kawasan ini merupakan salah satu hutan
rawa gambut yang masih tersisa di Kalimantan Tengah setelah gagalnya
proyek ‘Mega Rice Project’ yang dikenal dengan “Lahan Sejuta Hektar”
pada tahun 1995.
Sebelumnya menjadi kawasan taman nasional, kawasan ini merupakan
kawasan hutan produksi yang dikonsesikan untuk kegiatan Hak
Penguasaaan Hutan (HPH). Pada 2004, kawasan ini ditunjuk sebagai
kawasan taman nasional oleh Menteri Kehutanan dengan SK 423/Menhut-
II/2004 dan sejak saat itu pula ijin konsesi untuk kegiatan HPH tidak
diterbitkan lagi.
Sejak ijin konsesi tersebut tidak diterbitkan lagi, daerah ini menjadi
kawasan open acces untuk berbagai macam kegiatan baik legal maupun
ilegal. Kegiatan ilegal yang sangat dominan adalah dalam bentuk
pembalakan liar (illegal logging) dengan pelaku utama didominasi oleh
masyarakat pendatang juga oleh masyarakat lokal, kegiatan tersebut
berlangsung sejak tahun 1997 hingga tahun 2004. Dalam rentang waktu
tersebut masyarakat lokal banyak mengalami perubahan sosial, khususnya
yang terkait dengan pola pemenuhan ekonomi.
2 Laporan Survey KAP
Pag
e2
Pada tahun 2005, diterbitkan Inpres No. 4 tahun 2005 tentang
pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan
dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Adanya
penertiban Illegal Logging, membuat masyarakat kehilangan mata
pencaharian yang menjadi sandaran utama mereka pada saat itu.
Gambar 1. Peta Taman Nasional Sebangau, di Kalimantan Tengah, terdapat di
Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. (Sumber: BKSDA
Kalimantan Tengah, 2008)
3 Laporan Survey KAP
Pag
e3
Masyarakat secara terpaksa kembali pada mata pencaharian semula yang
dahulu pernah mereka tinggalkan yaitu sebagai petani dan penangkap
ikan. Hal itu sedikit menimbulkan gejolak, karena pada masa mereka sibuk
“usaha kayu” usaha-usaha tradisional yang dulunya pernah ditekuni
ditinggalkan bahkan tidak terpelihara secara baik, sehingga tidak dapat
menjadi andalan hidup lagi. Hal itu memunculkan polemik dan multitafsir
bahwa pelarangan kegiatan illegal logging terkait dengan ditunjuknya
kawasan Sebangau menjadi kawasan Taman Nasional.
Sebagai satu lembaga nirlaba (non-profit) yang berkomitmen untuk
melestarikan Sumber Daya Alam (SDA) dan pembangunan berkelanjutan
dengan mengedepankan prinsip kemitraan bersama dengan berbagai
stakeholder terkait, Yayasan WWF Indonesia Kalimantan Tengah (WWF)
juga peduli terhadap alam dan SDA yang terdapat di kawasan Taman
Nasional Sebangau.
WWF berupaya melestarikan keanekaragaman hayati dan mengurangi
dampak dari aktivitas manusia terhadap lingkungan dengan cara:
1. Mempromosikan etika/tata cara konservasi, kesadartahuan dan
tindakan nyata yang kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia
2. Membantu upaya multi pihak untuk pelestarian keanekaragaman
hayati dan proses ekologi
3. Mengadvokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang
mendukung upaya pelestarian alam
4. Mempromosikan pelestarian alam untuk kesejahteraan semua melalui
pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari
Sebagai kontribusi nyata maka diprogramkan satu kegiatan yang bernama
Sebangau Project dengan dua program utama yaitu Manajemen Kawasan
Konservasi dan Pengembangan Sosio Ekonomi.
Kegiatan program Manajemen Kawasan Konservasi antara lain:
Penegakan Hukum (pengendalian kebakaran hutan, mengatasi
pembalakan hutan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi)
Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan
4 Laporan Survey KAP
Pag
e4
Pengelolaan Ekosistem (tata kelola air/penutupan kanal, reforestasi,
dan monitoring keanekaragaman hayati)
Memfasilitasi pengelolaan berbasis kolaborasi multipihak
Kegiatan program Pengembangan Sosio Ekonomi antara lain:
Mengembangkan strategi pemanfaatan sumberdaya alam secara
berkelanjutan (misalnya pertanian, perikanan, produk hutan
nonkayu, industri rumah tangga dan wisata)
Peningkatan kapasitas stakeholder lokal
Pengembangan jaringan pemasaran
Integrasi perencanaan pembangunan pemerintah dalam
pengembangan sosio ekonomi)
Hasil yang telah dicapai oleh Sebangau Project antara lain:
Telah terbentuk enam Forum Masyarakat (Formas) di enam
kecamatan.
Telah ada potential buyer untuk hasil panen Lidah Buaya
Replikasi proyek Lidah Buaya oleh Dinas Perkebunan Pulang Pisau
Promosi potensi ekowisata Sebangau sedang dikembangkan oleh
operator wisata KTD
Secara umum, di masyarakat telah ada kecenderungan unutk
melakukan mata pencaharian yang lebih ramah lingkungan misal
perikanan, rotan, karet, nilam, pariwisata
Untuk mengelola kawasan TNS, Balai Taman Nasional Sebangau dan
WWF-Indonesia mendorong pengelolaan “manajemen kolaboratif”,
dengan strategi rangkap yaitu restorasi ekosistem dan pengembangan
sosio-ekonomi masyarakat. Restorasi ekosistem melibatkan penabatan,
pengelolaan kawasan lindung, perbaikan hutan, dan pengembangan
infrastruktur. Sedangkan program pengembangan sosio-ekonomi yaitu
mempromosikan ekonomi alternatif yang berkelanjutan dan
pemberdayaan masyarakat.
5 Laporan Survey KAP
Pag
e5
Kegiatan di wilayah sungai Katingan yang berhubungan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya penghasilan alternatif,
antara lain:
a. Rotan & Kerajinan Anyaman, yaitu dengan memfasilitasi Pemerintah
Kabupaten Katingan dan Pemerintah Kabupaten Cirebon dalam
kerjasama kegiatan perdagangan dan pengembangan industri rotan.
Salah satu harapan dari kerjasama ini adalah adanya peningkatan
keterampilan masyarakat. Juga telah dilakukan TOT (Training of
Trainers) Sistem Budidaya Rotan dan Penanganan Pasca Panen pada
tingkat Kabupaten dan Kecamatan. Juga diupayakan agar terjadi
pembentukan asosiasi petani rotan di Katingan; dan melaksanakan
pilot project budidaya rotan dan penanganan pasca panen di Katingan.
Melanjuti hal tersebut, WWF-Indonesia dengan Pusat Penelitian Wanita
–Universitas Palangkaraya dan Balai TN Sebangau melaksanakan
pelatihan ketrampilan dan pengetahuan menganyam rotan kepada
generasi muda, juga kaum wanita di wilayah Katingan, terutama di
Desa Baun Bango pada tahun 2008, sehingga dapat dikembangkan dan
mendatangkan peluang bagi alternatif usaha ekonomi rumah tangga.
b. Ekowisata. Untuk menginisiasi kegiatan ekowisata di Sebangau, maka
WWF-Indonesia menawarkan Konsep Pengembangan Ekowisata
Berbasis Masyarakat (Community Based Ecotourism Development)
artinya penggabungan antara konsep Community Based Tourism dan
Ecotourism, untuk mengangkat pengembangan ekonomi tanpa
melupakan konsep pembangunan berkelanjutan, dengan berakar pada
potensi lokal.
c. Perikanan: kegiatan yang dilakukan dalam rangka
peningkatan/pengembangan alternatif mata pencaharian yang ramah
lingkungan. Kegiatan ini merupakan kerjasama dengan pemerintah
Kabupaten Katingan yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan. Kegiatan ini
berupa fasilitasi pelaksanaan pelatihan budidaya perikanan yang
dipusatkan di Desa Baun Bango, Kecamatan Kamipang, pada bulan Mei
2005. Peserta pelatihan ini adalah perwakilan kelompok tani
(nelayan/perikanan) ataupun perwakilan desa yang bergerak di sektor
6 Laporan Survey KAP
Pag
e6
perikanan dari 4 kecamatan di Kabupaten Katingan yaitu Kecamatan
Kamipang, Tasik Payawan, Katingan Hilir dan Tewang Sangalang
Garing. Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah petani/nelayan
(perikanan) yang mengikuti pelatihan dapat memiliki pengetahuan
dasar yang memadai tentang sistem budidaya perikanan dan
pemeliharaannya. Pengetahuan dasar tersebut dapat memotivasi
bertumbuh dan berkembangnya jiwa kewirausahawan yang mandiri
dari masyarakat dalam mengembangkan sektor perikanan. Instansi
teknis Pemerintah Kabupaten Katingan sendiri telah berkomitmen
untuk membangun demonstration plot untuk budidaya perikanan di
daerah-daerah yang potensi perikanannya sangat besar termasuk di
kawasan Taman Nasional Sebangau.
d. Agroforestry. Merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan yang
mungkin dapat ditawarkan, untuk mengatasi masalah yang timbul
akibat adanya alih-guna lahan, dan sekaligus juga untuk mengatasi
masalah pangan. Sistem pengelolaan seperti ini merupakan salah satu
sistem penggunaan lahan, yang diyakini oleh banyak orang, dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Pada tahun
2008, terdapat 9 desa yang mengikuti pelatihan dan memiliki kebun
entres yang ditanami karet dan buah-buahan.
e. Kripik Buah. Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar mampu
mengolah beberapa jenis produksi pertanian khususnya buah-buahan,
menjadi bentuk lain seperti kerupuk /emping atau manisan. Pelatihan
pembuatan kripik buah telah dilakukan untuk menciptakan peluang
pemasaran produk berbahan baku buah-buahan di tahun 2008 ini.
Tujuan utama dari program-program itu adalah untuk memfasilitasi
masyarakat agar dapat mengkonservasi Sumber Daya Alam (SDA) yang
terdapat di lingkungan mereka, dan memanfaatkan SDA tersebut sebagai
sumber mata pencaharian dengan tanpa melakukan perusakan. Misalnya
dengan adanya kegiatan pemanfaatan hasil hutan non kayu (NTFP : Non
Timber Forest Production) seperti rotan, gaharu dll..
7 Laporan Survey KAP
Pag
e7
Setelah enam tahun melakukan berbagai aktivitas di desa-desa di kawasan
TNS , maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian dasar untuk menggali
pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap berbagai kegiatan
konservasi yang telah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan Survei KAP
(Knowledge, Attitude, Practice) yang bertujuan untuk mendeskripsikan
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat sebagai tanggapan atas
berbagai intervensi yang telah dilakukan terhadap mereka, misalnya:
pendidikan, proyek simulasi atau percontohan, dll.. Melalui penelitian ini
dapat diketahui tiga dimensi dari masyarakat yaitu:
• Knowledge yaitu pengetahuan yang dimiliki masyarakat sehubungan
dengan masalah konservasi
• Attitude yaitu sikap, perasaan atau sentimen-sentimen masyarakat
terhadap kegiatan konservasi
• Practice yaitu perilaku masyarakat yang mendemontrasikan
pengetahuan dan sikap mereka dalam bentuk tindakan-tindakan nyata
sehubungan dengan konservasi.
11..22.. TTUUJJUUAANN KKEEGGIIAATTAANN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif yaitu
bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu
fenomena atau gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian dilakukan. Karena itu, kegiatan ini dilaksanakan
dengan tujuan antara lain:
1 Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang hutan, sungai dan
upaya pelestarian lingkungan hidup.
2 Mendeskripsikan sikap masyarakat terhadap hutan, sungai dan upaya
pelestarian lingkungan hidup.
3 Mendeskripsikan perilaku masyarakat sehubungan dengan hutan,
sungai dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
8 Laporan Survey KAP
Pag
e8
11..33.. OOUUTTPPUUTT DDAARRII KKEEGGIIAATTAANN
Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh adanya beberapa output :
1. Data informatif yang berguna dan dapat dikomunikasikan dengan
mitra, para pemangku kepentingan dan khalayak umum.
2. Data deskriptif yang memaparkan tentang perubahan pengetahuan,
sikap perilaku masyarakat.
3. Data dasar atau informasi awal yang berguna untuk melakukan
perencanaan lanjutan (follow-up), pengawasan (monitoring) and
evaluasi (evaluation) atas aktivitas yang telah dan akan diakukan
9 Laporan Survey KAP
Pag
e9
22
MMEETTOODDOOLLOOGGII
2.1. Metode Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan
Tengah, di 8 (delapan) desa yang tersebar di 2 (dua) Kecamatan, dengan
perincian sbb.:
Tabel 1 Nama-nama desa tempat survei
No. Nama Desa dan Kecamatan Keterangan
A.
Kecamatan Kamipang
1. Asem Kumbang Tidak Ada Intervensi
2. Baun Bango Ada Intervensi
3. Tumbang Ronen Ada Intervensi
4. Jahanjang Ada Intervensi
5. Keruing Ada Intervensi
6. Perupuk Ada Intervensi
B.
Kecamatan Mendawai
7. Tumbang Bulan Tidak Ada Intervensi
8. Mekar Tani Ada Intervensi
Metode yang dipergunakan dalam penentuan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) yaitu ada 6 (enam) desa yang didasari pada
beberapa alasan :
a. Yayasan WWF-Indonesia sudah memiliki beberapa kegiatan yang
terinteraksi dengan masyarakat (Ada Intervensi).
b. Ketergantungan Masyarakat akan pemanfaatan SDA secara langsung
dengan kawasan Taman Nasional Sebangau
10 Laporan Survey KAP
Pag
e10
d. Merepresentasikan kultur sosial masyarakat, yaitu masyarakat yang
menetap secara permanen pada suatu tempat dan masyarakat yang
tinggal di suatu tempat dikarenakan adanya aktivitas ekonomi dalam
pemanfaatan SDA
Sebagai pembanding, maka dipilih 2 desa dengan kriteria: Yayasan WWF-
Indonesia tidak melakukan kegiatan yang terinteraksi dengan masyarakat
desa itu (Tidak Ada Intervensi).
Gambar 1 Peta desa-desa di sekitar Taman Nasional Sebangau yang terdapat di
sepanjang sungai Katingan
11 Laporan Survey KAP
Pag
e11
2.2. Penentuan Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 163 orang, yaitu 10 % dari
seluruh jumlah Kepala Keluarga (KK) yang terdapat pada tiap desa.
Pemilihan responden dilakukan sbb.:
a. Responden sudah dikondisikan (mendapat pemberitahuan
sebelumnya), dan nama-namanya ditentukan oleh Kepala Desa.
b. Kepala Rumah Tangga (KRT), bila KRT telah meninggal dunia atau tidak
ada ditempat, atau tidak bisa diwawancarai, maka Responden adalah
Anak Tertua Laki-laki atau Menantu Tertua Laki-Laki yang masih tinggal
di rumah itu.
c. Bukan PNS dan bukan Pedagang Besar (Tengkulak/Pengumpul),
dengan alasan mereka tidak tergantung penuh dan secara langsung
dengan pemanfaatan SDA.
Tabel 2 Daftar jumlah responden per desa
No. Nama Desa Jumlah Penduduk Jumlah Responden
KK Jiwa Lk Pr Total
1 Asem Kumbang 392 1.308 671 637 39
2 Baun Bango 230 845 396 449 23
3 Tumbang Runen 106 381 188 193 12
4 Jahanjang 172 632 334 298 19
5 Keruing 131 554 295 259 13
6 Parupuk 31 127 67 60 3
7. Tumbang Bulan 150 816 424 392 15
8. Mekar Tani 391 1.437 772 665 39
Total 1.603 6.100 3.147 2.953 163
2.3. Parameter Penelitian
Parameter pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat terhadap kawasan TNS sebelum dan sesudah adanya kegiatan
konservasi TNS dengan peubah yang diukur adalah:
12 Laporan Survey KAP
Pag
e12
a. Pengetahuan Pengetahuan dideskripsikan dengan melihat pendapat
responden dalam kuisioner. Pengetahuan masyarakat yang
dideskripsikan, digali dengann 6 kelompok pertanyaan dengan isu: 1)
fungsi hutan bagi masyarakat sekitar kawasan; 2) penebangan hutan; 3)
pembakaran hutan; 4) sungai dan penggunaan racun ikan serta alat
setrum ikan; 5) pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup; 6)
pendidikan lingkungan hidup. Tiap jawaban responden dikelompokkan
ke dalam 3 aspek yaitu : ekologi, sosial dan ekonomi.
b. Sikap. Penggalian deskripsi sikap dilakukan dengan mengajukan
rangkaian pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan sikap
masyarakat yaitu: 1) pertanyaan tentang fungsi hutan 2) pertanyaan
tentang sikap terhadap penebangan dan pembakaran hutan 3)
pertanyaan tentang sikap terhadap pengolahan lahan dengan
membakar 4) pertanyaan tentang sikap terhadap penggunaan racun
ikan; 5) pertanyaan tentang sikap terhadap pemakaian setrum ikan; 6)
pertanyan tentang sikap terhadap hukum adat untuk pengelolaan
sungai, hutan dan tanah.
c. Perilaku. Perubahan perilaku diukur dengan 2 cara yaitu dengan
observasi langsung terhadap perubahan perilaku yang terjadi di
lapangan dan dengan membandingkan dengan jawaban responden
yang diberikan dalam kuisioner. Perubahan perilaku dapat dianalisis
dengan mengamati ada atau tidak adanya kesepakatan atau aksi yang
dilakukan masyarakat dalam pengelolaan kawasan melalui berbagai
kegiatan.
2.4. Waktu dan Alur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari September – November 2010 yang dibagi
dalam 3 tahap penelitian yaitu :
• Tahapan perencanaan program dilakukan pada akhir September 2010
• Tahap pelaksanaan program dilakukan pada September 2010
• Tahap pelaporan program dilakukan pada November 2010
13 Laporan Survey KAP
Pag
e13
Dengan rincian sebagaiaman tabel di bawah ini:
Tabel 3 Jadwal Penelitian
No. Waktu Kegiatan
1. 28 Sept - Penyusunan kuesioner
2. Presentasi dan perbaikan kuesioner
3. Pemilihan dan penetapan sample responden
4. 25 Oktober 2010 Briefing para enumerator
5. Penyebaran kuesioner
6. Pengolahan dan analisi data
7. Penyusunan laporan
8. Presentasi Laporan
9. Perbaikan Laporan Akhir
2.5. Bentuk dan Tahapan Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu yang diperoleh
langsung dari responden di lapangan melalui kuesioner. Data
dikumpulkan melalui metode kuesioner yang diberikan kepada responden
berupa;
a. Angket terbuka yang berisikan beberapa pertanyaan tentang data
demografis, seperti jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga,
pekerjaan utama dan pendidikan terakhir.
b. Angket tertutup, untuk memperoleh data tentang dimensi-dimensi
variabel apa yang dipandang paling penting oleh responden.
2.6. Metode Analisis Data
Data yang terkumpul dari tiap tahapan dianalisis secara deskriptif yaitu
dengan menjelaskan dan menguraikan semua peubah yang diamati
14 Laporan Survey KAP
Pag
e14
selama penelitian. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sesuai
dengan fenomena yang ditemukan dan diuraikan dalam bentuk narasi
sebagai penjelasan dari semua perubahan yang terjadi setelah
pelaksanaan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini ditujukan untuk
mendeskripsikan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat sehubungan
dengan kegiatan konservasi. Analisis perubahan pengetahuan dianalisis
dengan membuat kategorisasi dan tabulasi data dari kepentingan ekologi,
sosial dan ekonomi.
Data dimasukkan pada sebuah format excel yang sederhana menurut
kelompoknya sehingga dihasilkan quisioner tally. Beberapa revisi dan
peng-entry-an kembali perlu dilakukan kemudian, karena ditemukan
beberapa inkonsistensi ketika dianalisa. Sebagaimana tujuan dari survey ini
adalah untuk mengetahui pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
program pelestarian Lingkungan Hidup, maka analisis data dilakukan
untuk mencari trend atau kecenderungan berdasarkan tampilan
prosentase. Perhitungan sederhana dilakukan dengan melihat frekuensi
distribusi. Uraian deskriptif dilakukan untuk menjelaskan keterkaitan antar
variabel.
15 Laporan Survey KAP
Pag
e15
33
PPRROOFFIILLEE RREESSPPOONNDDEENN
3.1. Jumlah dan Jenis Kelamin
Responden berjumlah 163 orang (n=163). Responden berjenis kelamin
laki-laki terdiri dari 158 orang (97%) dan responden yang berjenis
kelamin perempuan terdiri dari 5 orang (3%).
3.2. Usia
Berdasarkan kelompok umur, sekitar 75 % responden yang disurvei
merupakan kelompok usia produktif, sedangkan sisanya yakni 25% berada
pada kelompok usia tidak produktif yaitu di atas 52 tahun. Pada kelompok
usia produktif kecenderungannya berada pada kelompok usia 32-52
tahun. Sedangkan usia tidak produktif yaitu diatas 52 tahun memiliki
persentase yang lebih kecil.
Tabel 4 Sebaran Usia Responden
No. Rentang Usia Jumlah % 1. <32 23 14 %
2. 33-37 22 13 %
3. 38-42 27 17 %
4. 43-47 21 13 %
5. 48-52 19 12 %
6. 53-57 24 15 %
7. 58-62 17 10 %
8. >63 10 6%
TOTAL 163 100 %
16 Laporan Survey KAP
Pag
e16
3.3. Pendidikan
Pendidikan responden umumnya rendah yaitu SD. Di antara responden
bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal seperti anak-anak
mereka sekarang. Kehidupan tradisional, lokasi desa yang terpencil, dan
infrastruktur pendidikan yang kurang memadai kiranya menjadi beberapa
faktor yang menyebabkan responden kurang memiliki tingkat pendidikan
yang baik. Pendidikan sepertinya masih menjadi barang mewah. Tetapi
sekaligus, pendidikan menjadi program pembangunan yang kurang
diperhatikani. Sebagai barang mewah karena tidak semua penduduk
sempat mengenyam pendidikan formal, bahkan mungkin beberapa
diantaranya memandang pendidikan formal ini sebagai sesuatu yang
asing.
Pada tabel di bawah terlihat bahwa responden yang berpendidikan tidak
tamat SD dan SD (73 %) mencapai jumlah yang sangat besar dan yang
berpendidikan SMA sangat kecil (12%).
Tabel 5 Sebaran Pendidikan Responden
No. Pendidikan Jumlah % 1. Tidak Tamat SD 16 10%
2. SD/SR 102 63 %
3. SMP 25 15 %
4. SMA 20 12 %
Jumlah 163 100 %
3.4. Etnis
Secara etnisitas, sebagian besar responden (73%) adalah orang Dayak
yaitu sebanyak 118 orang. Satu desa yang menjadi tempat survei yaitu
desa Mekar Tani merupakan desa transmigrasi asal Jawa, karena itu etnis
Jawa menduduki urutan kedua, yaitu sebanyak 33 orang atau 20 % dari
jumlah keseluruhan responden. Suku Banjar sebanyak 8 orang atau 5%
dari jumlah keseluruhan responden. Sisanya masing-masing 2 orang atau
1% berasal dari suku Melayu dan Batak.
17 Laporan Survey KAP
Pag
e17
4. Gambar 2 Responden Berdasarkan Etnis
4.1. Pekerjaan Utama
Karena kondisi wilayah yang serba air (sungai, rawa, dan danau), sebagian
besar pekerjaan utama responden adalah nelayan atau mencari ikan di
sungai, rawa dan danau. Para transmigran Jawa umumnya bertani
padi/sayur, walaupun ada juga yang berprofesi sebagai petani karet.
Berdasarkan tabel di bawah ini tampak bahwa pekerjaan sebagai petani
rotan dan karet berada pada urutan terbawah
Tabel 6 Pekerjaan Responden
No. Pekerjaan Utama Jumlah %
1. Nelayan 109 67%
2. Petani Padi/Sayur 11 21%
3. Petani Karet 34 7 %
4 Petani Rotan 9 5 %
JUMLAH 163 100%
18 Laporan Survey KAP
Pag
e18
44
HHAASSIILL SSUURRVVEEII SSOOSSEEKK
Penduduk merupakan komponen penting dalam pengelolaan sumber
daya alam termasuk hutan dan sungai. Program yang ditujukan untuk
penyelamatan hutan dan sungai agar berkelanjutan perlu memperhatikan
unsur penduduk. Penduduk dapat berperan dalam pemeliharaan hutan
dan sungai tetapi sekaligus juga dapat menjadi agen perusak jika
pemanfaatan sumber daya dilakukan secara berlebihan dengan
menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, kondisi
penduduk baik kualitas maupun kuantitas perlu dipahami. Pada bagian ini
diuraikan kondisi rumah tangga responden dari sisi kuantitas yang
meliputi jumlah, komposisi menurut umur dan jenis kelamin, sedangkan
dari segi kualitas mencakup pendididkan dan ketrampilan serta pekerjaan.
4.1. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Jumlah anggota rumah tangga yang tercatat dalam survey ini mencapai
768 orang. Mereka memiliki keragaman hubungan dengan kepala rumah
tangganya. Hubungan terbanyak adalah anak atau menantu (49 %). Secara
tidak langsung jumlah ini juga menunjukkan banyaknya jumlah
keanggotaan di dalam rumah tangga dimana jumlah anak atau menantu
adalah yang terbesar di dalam rumah tangga. Selain anak atau menantu,
terdapat kepala rumah tangga (21 %) dan istri atau suami (22 %). Besarnya
anak dan menantu di dalam anggota rumah tangga yang di survei secara
tidak langsung juga menunjukkan bahwa jumlah anak di dalam rumah
tangga lebih dominan dibandingkan yang lain. Selain itu, jumlah menantu
yang besar di dalam rumah tangga secara tidak langsung juga
menunjukkan bahwa sistem yang dianut sesudah perkawinan adalah pihak
19 Laporan Survey KAP
Pag
e19
laki-laki masuk ke dalam rumah tangga perempuan. Dengan demikian,
rumah tangga yang disurvei mengakomodasi anggota rumah tangga baru
sesudah terjadinya perkawinan. Hal itu menyebabkan anggota rumah
tangga itu bertambah.
Selain itu, kondisi sampel tersebut mencerminkan keanggotaan rumah
tangga, dimana dalam satu rumah tangga bukan hanya terdiri dari orang
tua dan anak namun juga anggota rumah tangga lainnya seperti menantu
ataupun yang lainnya. Kondisi rumah tangga seperti ini mencerminkan
suatu keluarga luas di dalam satu rumah yang di survei. Artinya dalam satu
rumah dihuni tidak saja oleh keluarga inti yakni bapak, ibu dan anak,
namun juga dihuni oleh anggota keluarga yang lain seperti kakek, nenek,
menantu dan anggota yang lainnya. Sangat memungkinkan di dalam satu
rumah yang di survei terdapat lebih dari satu rumah tangga. Keluarga
induk yang tinggal dalam rumah induk yang memiliki keturunan yang
tetap tinggal di rumah itu hingga menikah atau berkeluarga dan tetap
menetap di rumah itu hanya saja dengan pengurusan dapur yang terpisah.
Satu atap dua dapur atau lebih sangat memungkinkan menjadi ciri rumah
tangga di dalam keluarga di desa yang disurvei
4.2. Tingkat Usia Anggota Rumah Tangga
Berdasarkan kelompok umur, sekitar 65 % anggota rumah tangga yang di
survey merupakan kelompok usia produktif, sedangkan sisanya yakni
sekitar 35% berada pada kelompok usia tidak produktif yakni 32 % di
bawah usia 15 tahun dan 3 % di atas 65 tahun.
Rasio ketergantungan (dependency rasio) sebesar 53 %, yang dihitung dari
jumlah penduduk tidak produktif yaitu penduduk dibawah tahun dan 65
tahun ke atas, dibagi dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun). Hal
ini berarti dari 100 penduduk usia produktif menanggung 53 penduduk
yang tidak produktif.
Komposisi penduduk menurut umur cenderung mengarah pada struktur
umur muda yang ditandai dengan persentase penduduk di bawah umur
20 Laporan Survey KAP
Pag
e20
15 tahun, yaitu berada pada kisaran 32 %. Komposisi ini menunjukkan
bahwa penduduk usia produktif relatif tinggi mengingat penduduk yang
berumur 65 tahun ke atas relatif rendah (2 %). Rasio ketergantungan
(dependency rasio) mencapai 53 % yang berarti setiap 2 penduduk usia
produkstif (15-64 tahun) menanggung beban 2 penduduk yang tidak
produktif.
Tabel 7 Distribusi Penduduk berdasarkan usia
Nama Desa < 15 15-39 40-55 56-64 65 <
Asem Kumbang 56 75 49 13 Baun Bango 35 35 16 9 3
Tumbang Ronen 17 30 14 1 1
Jahanjang 25 36 17 6 3
Keruing 25 35 15 2
Perupuk 5 4 1 4
Tumbang bulan 32 27 8 1
Mekar Tani 52 59 31 17 5
JUMLAH 247 301 151 48 17
32% 39% 20% 6% 2%
4.3. Tingkat Pendidikan Anggota Rumah Tangga
Salah satu indikator untuk menunjukkan kualitas sumberdaya manusia
adalah pendidikan dan ketrampilan. Penduduk yang mempunyai kualitas
baik adalah mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan ketrampilan yang
bervariasi. Dengan kualitas penduduk yang baik akan berpengaruh
terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pendidikan masyarakat yang disurvei umumnya rendah. Di antara orang-
orang tua bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal seperti
anak-anak mereka sekarang. Pada tabel di bawah terlihat bahwa penduduk
yang belum atau tidak tamat SD mencapai jumlah 33 %. Kondisi ini
menunjukkan dua hal yakni pertama, masih banyaknya anak-anak usia SD
atau banyaknya penduduk dewasa dan orang tua yang tidak tamat SD.
21 Laporan Survey KAP
Pag
e21
Gambar 3 Distribusi pendidikan dalam rumah tangga responden
Sebagian besar penduduk di kampung yang disurvei telah menikmati
sekolah, hanya sekitar 9 % yang belum atau tidak sekolah. Sebagian besar
dari mereka adalah anak-anak yang belum masuk sekolah. Penduduk yang
mempunyai pendidikan SMA tamat dan di atasnya mencapai jumlah 9 %,
sedangkan SLTP tamat sekitar 13 % . Penduduk yang belum/tidak tamat
SD dan SD tamat meliputi 33 %. Sebagian besar penduduk yang termasuk
dalam kelompok pendidikan ini adalah anak yang masih sekolah dan
sebagian lainnya adalah penduduk yang telah berumur relatif tua.
Data di atas juga memperlihatkan bahwa apabila kedudukan para agen
perubahan sosial tersebut berasal dari kelompok status sosial tinggi (tamat
SMA dan aparat desa) maka proses transfer ide-ide baru, pengetahuan
dan teknologi baru akan dengan mudah menjalar ke bawah, sebaliknya
apabila berasal dari status sosial rendah, maka proses transfer
pengetahuan dan teknologi baru sulit diterima, karena dengan kedudukan
status sosial rendah tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
kelompok status sosial yang lebih tinggi.
Tingkat rata-rata pendidikan yang rendah, hanya tamat SD, membuat
mereka tidak memiliki pengalaman berorganisasi dan keterampilan
managerial. Hal itu sangat berpengaruh terhadap keberadaan Forum
Masyarakat (Formas) yang dibentuk.
22 Laporan Survey KAP
Pag
e22
4.4. Kegiatan Utama Anggota Rumah Tangga
Sebagian besar penduduk yang disurvei mempunyai kegiatan bekerja,
yaitu sejumlah 43 %. Mereka yang benar-benar menganggur berjumlah
sekitar 9 %, sedangkan mereka yang menganggur tetapi mencari
pekerjaan sekitar 3 %. Mereka yang mencari pekerjaan tersebut biasanya
mempunyai pendidikan relatif tinggi (tamat SLTP dan SLTA). Pada
umumnya mereka ingin mendapatkan pekerjaan di sektor formal, tidak
hanya sebagai petani dan nelayan.
Kegiatan sebagai ibu rumah tangga kira-kira 19 %. Data ini menunjukkan
bahwa mayoritas ibu rumah tangga di kampung yang disurvei
mempunyai kegiatan di bidang pertanian dan perikanan yaitu terlibat
dalam kegiatan ekonomi berbasis pada sumber daya alam. Hal itu
mengindikasikan bahwa program-program yang ada harus menyertakan
perempuan agar perempuan dapat berperan dalam pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Gambar 4 Distribusi kegiatan utama anggota rumah tangga selama 6 bulan terakhir
23 Laporan Survey KAP
Pag
e23
4.5. Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan
Lapangan pekerjaan responden kurang bervariasi, pada umumnya masih
berbasis pada pekerjaan yang mengandalkan sumber daya alam dan tidak
menuntut pendidikan yang tinggi, yaitu di dominasi oleh sektor Perikanan
(74 %), Pertania n (19 %), Karet (4 %) dan Rotan (2 %). Lapangan
pekerjaan responden diluar sektor tersebut antara lain: tukang, buruh tani,
berdagang, manggemor, menyadap pantung, aparat desa, beternak,
montir, mencari puya/emas dan dukun beranak.
Terkonsentrasinya penduduk yang bekerja pada sektor perikanan dan
pertanian disebabkan oleh karena bidang pekerjaan di luar sektor nelayan
dan pertanian belum berkembang. Data ini mengindikasikan bahwa,
program yang dilakukan di masa mendatang haruslah membuka peluang
kerja diluar sektor nelayan dan pertanian. Hal yang demikian dapat terjadi
apabila penduduk memiliki ketrampilan yang bervariasi.
Gambar 5 Distribusi Pekerjaan Utama Anggota Rumah Tangga selama enam bullan terakhir
Data per desa memperlihatkan bahwa yang dominan menjadi petani padi
dan petani sayur adalah responden dari desa transmigrasi Mekar Tani.
24 Laporan Survey KAP
Pag
e24
Sedangkan nelayan, petani karet dan petani rotan berasal dari desa-desa
yang dominan dihuni oleh masyarakat Dayak. Dalam masyarakat Dayak
yang pekerjaan utamanya sebagai nelayan atau penangkap ikan, umumnya
pada situasi dan kondisi tertentu juga sebagai petani karet atau rotan.
Begitu juga sebaliknya, yang pekerjaan utamanya rotan atau karet, musim
tertentu dapat saja beralih menjadi penangkap ikan. Jadi dalam hal ini
sangat mungkin sekali responden dalam survei ini memiliki kerja rangkap
atau memiliki beragam-macam pekerjaan untuk dapat bertahan hidup.
Patut menjadi perhatian bahwa, perkebunan karet dan rotan yang
dilakukan masyarakat di sepanjang sungai Katingan pada umumnya
mengikuti pola peladang tradisional. Terlebih dahulu mereka membuka
hutan untuk dijadikan ladang, setelah itu ditanami karet atau rotan.
Data di atas mengindikasikan bahwa telah terjadi peralihan pola pikir dan
pola kerja masyarakat yaitu dari illegal logging ke pemanfaatan sumber
daya alam perikanan yang terdapat di sungai, danau dan rawa. Kebijakan
pemerintah telah mendorong mereka untuk beradaptasi di atas tahapan
kehidupan berburu dan meramu. Mereka kini tidak sekedar kegiatan
memburu, mengumpulkan, dan mengkonsumsi (from hand to mouth)
yaitu dengan menangkap ikan di sungai, rawa dan danau, tetapi sudah
pada tahap membudi-daya ikan dalam keramba. Mereka mengumpul
bibit dari alam dan memeliharanya untuk kemudian dijual sebagai sumber
pendapatan. Pada tahapan masyarakat yang demikian masyarakat telah
belajar dan tahu tentang proses produksi yang di dalamnya sarat dengan
ketekunan, ketelitian, kesabaran dan kedisiplinan. Karena budi daya ikan
dalam keramba siklus tata kerja yang menuntut ketekunan, ketelitian,
kesabaran dan kedisiplinan, maka terciptalah pola kerja baru dan pola
hidup baru.
Yang perlu dicermati adalah mereka belum tiba pada tingkat pengolahan
hasil, sehingga tidak ada yang menyebutkan pekerjaannya adalah penjual
ikan kering, pemilik pabrik kerupuk ikan, pengolah abon ikan atau nugget
ikan. Walaupun sudah ada upaya untuk mengintrodusir jenis pekerjaan ini
melalui pelatihan-pelatihan.
25 Laporan Survey KAP
Pag
e25
4.6. Pendapatan Rumah Tangga
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu kawasan adalah pendapatan. Besarnya
pendapatan per kapita dan rumah tangga dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan, lapangan pekerjaan dan jumah anggota rumah tangga yang
bekerja. Selain itu pendapatan rumah tangga juga dipengaruhi oleh
pekerjaan tambahan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga
serta tipologi desa masing-masing.
Survei memperlihatkan bahwa yang bekerja dalam rumah tangga pada
umumnya adalah kepala keluarga di bantu oleh istri bila tidak bekerja
mengurus rumah tangga.
Pendapatan rumah tangga yang dimaksudkan dalam laporan ini adalah
pendapatan seluruh anggota rumah tangga dari pekerjaan utama dan
tambahan. Tabel di bawah memperlihatkan rata-rata pendapatan rumah
tangga yang mempunyai pekerjaan sebagai nelayan maupun petani sayur,
petani padi, petani karet dan petani rotan.
No. Pendapatan Bersih Per Bulan KK %
1. < 500 26 16 %
2. 500 – 1.000 41 25 %
3. 1.000 - 1.500 35 21%
4. 1.500 - 2.000 15 9%
5. 2.000 - 2.500 10 6%
6. 2.500 - 3.000 11 7%
7. 3.000 - 3.500 9 6%
8. 3.500 - 4.000 4 2%
9. 4.000 - 4.500 8 5%
10. > 4.500 4 2%
163 100%
Penelusuran data per desa memperlihatkan bahwa pendapatan tertinggi
di desa Mekar Tani. Hal itu terjadi karena mereka rata-rata berhasil dalam
panen dan mempunyai pekerjaan sampingan yang menjanjikan yaitu
sebagai tukang bangunan, ternak sapi, buruh tani, berdagang, bengkel,
26 Laporan Survey KAP
Pag
e26
berkebun dan sayur-sayuran. Orang-orang lokal tampaknya lebih
mempercayai para transmigran Jawa yang terkenal ulet dan pekerja keras
untuk membuka lahan persawahan dan perkebunan mereka. Hal itu
membuka peluang kerja bagi para responden di desa Mekar Tani. Namun
kerja sampingan sebagai pedagang dan ternak sapi serta bertukang juga
menjadi sumber pemasukan yang cukup besar.
Pendapatan masyarakat di desa-desa yang pekerjaan utama
masyarakatnya adalah nelayan umumnya lebih rendah karena disebabkan:
Umumnya responden tidak mempunyai pekerjaan sampingan.
Perubahan iklim yaitu sepanjang tahun 2010 penghasilan mereka
menurun karena terjadi hujan sepanjang tahun, sehingga tidak ada
musim kemarau yang memungkinkan mereka menangkap ikan lebih
banyak daripada musim penghujan. Jadi pendapatan mereka tidak
stabil. Musim penghujan bagi para nelayan sungai identik dengan
musim paceklik.
Kepemilikan alat tangkap yang masih sederhana, bahkan dapat
dikatakan masih tradisionil berupa pancing, jala, rempa, dst.
Beberapa responden belum memiliki perahu mesin atau disebut
dengan alkon, seperti yang tampak pada tabel asset produktif keluarga.
Faktor eksernal yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan nelayan
adalah pemasaran dan permintaan ikan, harga jual, musim dan kebijakan.
Kondisi ini menggambarkan bahwa penduduk di desa yang berbasis
nelayan sangat rentan terhadap kemiskinan.
4.7. Pengeluaran
Survei membuat dua kategori pengeluaran yaitu pengeluaran rumah
tangga dan pengeluaran non rumah tangga.
27 Laporan Survey KAP
Pag
e27
a. Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran yang untuk keperluan
sehari-sehari yaitu mulai dari beras, gula, teh, kopi, bumbu dapur, sayur-
mayur, sabun, pasta gigi, minyak goreng, minyak tanah, hingga ke bensin
dan solar. Dari keperluan sehari-hari itu ada yang dibeli harian yaitu
beras, ikan, dan sayur-mayur. Namun ada juga yang dibeli mingguan,
misalnya gula, telur, bumbu dapur. Kemudian ada yang bulanan misalnya
garam, sabun, kopi, teh, minyak goreng, minyak tanah, dan pasta gigi. Jadi
ada pengeluaran harian,mingguan dan bulanan.
Kecuali di desa Mekar Tani, semua responden membeli beras dari
pedagang. Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum memiliki ketahanan
pangan.
b. Pengeluaran Non Rumah Tangga
Pengeluaran Non Rumah Tangga lebih banyak untuk acara keagamaan
daripada kegiatan yang lain:
No Kegiatan %
1. Upacara Keagamaan 55%
2. Upacara Adat 15 %
3. Upacara Perkawinan 10 %
4. Khitanan 5 %
5. Kematian 10 %
6. Kegiatan Lainnya 10 %
4.8. Asset Keluarga
Kondisi kesejahteraan rumah tangga dalam tulisan ini dilihat dari pemilikan
aset rumah tangga terhadap barang-barang produksi dan nonproduksi
serta kondisi pemukiman dan sanitasi. Rumah tangga yang mempunyai
asset produksi cukup banyak dan bervariasi dianggap lebih sejahtera
karena dengan asset yang dimiliki tersebut dapat digunakan untuk
28 Laporan Survey KAP
Pag
e28
berusaha dengan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Selain itu,
rumah tangga yang mempunyai asset nonproduksi yang relatif tinggi
dianggap lebih sejahtera karena rumah tangga tersebut berarti telah
mampu untuk melakukan pembelian barang-barang di luar keperluan
kebutuhan sehari-hari.
Tabel 8 Asset Produksi yang dimiliki responden perdesa secara khusus yang berprofesi sebagai nelayan
No Nama Desa Mesin Motor Kelotok Jukung Alkon
1 Asem Kumbang 0 4 23 14
2 Baun Bango 0 7 17 0
3 Tumbang Ronen 0 2 5 9
4 Jahanjang 0 12 20 2
5 Keruing 0 2 9 5
6 Perupuk 1 2 3 0
7 Tumbang Bulan 0 8 2 36
8 Mekar Tani 0 1 1 0
JUMLAH 1 38 80 66
Table 8 menunjukkan asset yang dimiliki oleh rumah tangga responden
yang bekerja sebagai nelayan. Kepemilikan aset produksi kenelayanan
relatif rendah dan masih sangat sederhana. Sarana pertanian yang
digunakan juga masih tradisional, seperti cangkul, sabit, parang dan
sejenisnya. Hanya satu responden yang memiliki traktor untuk membajak
sawah, tampaknya petani masih menggunakan tenaga kerja rumah tangga
untuk mengolah sawahnya. Bagi masyarakat desa yang masih bercorak
agraris, aset yang paling bernilai adalah tanah yang diatasnya dibangun
rumah, ditanami tanaman pangan, dan sebagainya. Setiap keluarga
memiliki rumah demikian pula setiap keluarga baru berusaha memiliki
rumah sehingga jumlah rumah ini terus berkembang memanfaatkan
lahan-lahan kosong milik keluarga.
29 Laporan Survey KAP
Pag
e29
Tabel 9 Asset Produktif lain yang dimiliki reponden per desa
No Nama Desa Ternak Keramba
Sapi Ayam Kambing Babi Ikan
1 Asem Kumbang 1 5 0 64
2 Baun Bango 0 0 0 0 19
3 Tumbang Ronen 0 0 0 0 31
4 Jahanjang 3 0 3 0 30
5 Keruing 0 0 19 0 29
6 Perupuk 0 0 0 0 7
7 Tumbang Bulan 0 0 2 0 2
8 Mekar Tani 18 47 8 0 0
JUMLAH 22 47 37 182
Hampir semua rumah tangga sampel telah mempunyai rumah sendiri (98
persen). Rumah tangga yang belum mempunyai rumah sendiri adalah
keluarga muda yang masih menumpang pada rumah tangga orang tua.
Selanjutnya lebih dari separuh rumah tangga telah mempunyai sarana
komunikasi berupa televisi dan parabola, sedangkan yang lainnya
memiliki VCD. Tingginya pemilikan barang-barang elektronik, khususnya
televisi merupakan faktor yang kondusif jika dimanfaatkan sebagai sarana
sosialisasi kegiatan konservasi atau penyebarluasan informasi lainnya.
Tabel 10 Asset Non Produksi yang dimiliki responden per desa
No
Nama Desa
Rumah
TV
VCD
Player
Parabola
Perhiasan
Spd
Motor
Hp
1 Asem Kumbang 27 33 18 31 62 6 45
2 Baun Bango 23 19 14 11 38 3 20
3 Tumbang Ronen 8 6 4 5 245 0 23
4 Jahanjang 17 13 4 8 22 0 17
5 Keruing 10 5 2 4 22 0 14
6 Perupuk 3 3 1 2 7 0 2
7 Tumbang Bulan 10 4 3 4 17 0 8
8 Mekar Tani 22 20 8 19 45 14 26
JUMLAH 120 103 54 84 458 23 155
30 Laporan Survey KAP
Pag
e30
55
HHAASSIILL SSUURRVVEEII BBAASSEELLIINNEE KKNNOOWWLLEEDDGGEE,, AATTTTIITTUUDDEE && PPRRAACCTTIICCEE
3.1 . Hutan dan Masyarakat Sekitar Hutan
a. Guna Hutan
Sebagian besar responden hidup tidak jauh dari hutan. Dapat dikatakan
bahwa mereka hidup di sekitar hutan. Survei menunjukkan bahwa ada
responden yang tidak tahu guna hutan dan ada yang mengatakan bahwa
hutan tidak berguna. Ketika responden ditanya, “Apakah hutan berguna
atau tidak?”, mayoritas yaitu 93 % menjawab berguna, 4 % menjawab
tidak berguna, dan sisanya; 3 % menjawab tidak tahu. Lihat Gambar 1.
Gambar 6 Tanggapan responden tentang hutan
Sehubungan dengan guna hutan, survei perdesa memperlihatkan bahwa
ada 3 desa yang diintervensi yang menjawab 100 % bahwa hutan berguna
Kemudian 1 desa yang tidak diintervensi yaitu desa Tumbang Bulan
31 Laporan Survey KAP
Pag
e31
menduduki urutan tertinggi dalam menyatakan hutan tidak berguna dan
terendah dalam menyatakan hutan berguna.
Gambar 7 Tanggapan responden tentang hutan per desa
Penelusuran terhadap distribusi 4 % responden yang mengatakan bahwa
hutan tidak berguna yaitu terdapat di desa Tumbang Bulan, Baun Bango,
Jahanjang dan Mekar Tani. Mereka mengatakan demikian karena menurut
mereka hutan tidak mendatangkan uang dan tidak bisa dimanfaatkan.
Sedangkan 3 % responden yang mengatakan tidak tahu, terdapat di desa
Baun Bango, Jahanjang, Tumbang Bulan dan Mekar Tani.
Data ini penting untuk dicermati dan bila diinterpretasi maka terdapat
beberapa kemungkinan sehingga muncul jawaban demikian:
Jawaban berasal dari kelompok etnis pendatang (Banjar, Melayu atau
Jawa) yang secara kultural tidak akrab lagi dengan hutan. Mereka biasa
hidup merantau dan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain atau
dari satu desa ke desa lain, jadi tidak merasa perlu dan berkepentingan
dengann hutan
Jawaban berasal dari kelompok Dayak yang secara kultural dekat dan
akrab dengan hutan, namun sebagai wujud resistensi atas kegiatan
konservasi mereka menjawab bahwa hutan tidak berguna atau tidak
tahu apa gunanya hutan.
32 Laporan Survey KAP
Pag
e32
Para responden yang menjawab bahwa hutan berguna, kemudian diajukan
pertanyaan tentang apa saja kegunaan hutan. Survei menunjukkan bahwa
kegunaan hutan menurut para responden adalah:
Tabel 11 Pengetahuan masyarakat tentang guna hutan No. Kegunaan %
1. Tempat tinggal dan sumber kehidupan bagi segala macam jenis hewan 100,00 %
2. Tempat mencari bahan bangunan rumah 96, 13 %
3. Tempat mencari bahan baku untuk membuat tali-temali atau arang
anyaman (rotan, dll.)
93, 55 %
4. Tempat mencari bahan baku obat tradisional 92, 90 %
5. Melindungi Keanekaragaman hayati 92, 90 %
6. Tempat mencari sayur dan bahan pangan lainnya 92, 26 %
7. Tempat berburu binatang 83, 87 %
8. Melindungi bumi dari pemanasan global 83,23 %
9. Tempat wisata 74, 19 %
10. Tempat mencari hasil hutan (damar, anggrek, madu, dll.) Untuk dijual 72, 90 %
11. Tempat mencari kayu untuk dijual 64, 52 %
Dari hasil survei tampak terdapat perubahan pengetahuan tentang fungsi
hutan yaitu tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan hidup sehari-hari
(fungsi ekonomis) tetapi juga fungsi ekologis yaitu sebagai tempat
tinggal dan sumber kehidupan bagi segala macam jenis hewan (100 %),
melindungi Keanekaragaman hayati (92, 90 %) dan melindungi bumi dari
pemanasan global (83, 23 %). Muncul fungsi ekonomis dan fungsi
sosial baru dari hutan yaitu sebagai tempat wisata (74, 94 %). Secara
tradisional, sebelumnya masyarakat Dayak tidak pernah tahu bahwa hutan
bisa menjadi tempat hiburan, tempat pesiar atau piknik.
Hal itu menggambarkan bahwa intervensi yang dilakukan telah merubah
sudut pandang atau pengetahuan (knowledge) masyarakat tentang hutan.
Pengetahuan masyarakat tentang hutan pada mulanya terpusat pada
sumber daya ekonomi, namun dengan intervensi yang dilakukan mampu
mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi lebih baik
yang ditunjukkan dengan peningkatan atau penambahan pengetahuan
tentang manfaat kawasan hutan dari aspek lain yaitu ekologi dan sosial.
33 Laporan Survey KAP
Pag
e33
Perubahan sikap (attitude) tampak pada jawaban tidak (35,48 %) atas
fungsi hutan sebagai tempat mencari kayu untuk dijual sehingga
mendatangkan duit. Masyarakat, yang diwakili oleh 35, 48 % responden,
telah mampu bersikap (tidak setuju) terhadap fungsi ekonomi hutan. Bagi
mereka hutan tidak lagi bersifat komersil yaitu tidak lagi sebagai tempat
mambatang atau mencari kayu untuk mendatangkan uang sebagaimana
yang telah mereka lakukan sebelum terjadinya perubahan kawasan
menjadi TNS. Namun mereka setuju kalau hutan sebagai sarana
pemenuhan hidup hidup masyarakat (fungsi sosial) yaitu: tempat mencari
bahan baku rumah, bahan baku untuk membuat tali-temali dan barang
anyaman, obat tradisional, sayur dan bahan pangan, berburu dan hasil
hutan lainnya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:
Tabel 12 Pengetahuan tradisional guna hutan menurut responden
Tempat mencari bahan bangunan rumah 96, 13 %
Tempat mencari bahan baku untuk membuat tali-temali atau
arang anyaman (rotan, dll.)
93, 55 %
Tempat mencari bahan baku obat tradisional 92, 90 %
Tempat mencari sayur dan bahan pangan lainnya 92, 26 %
Tempat berburu binatang 83, 87 %
Tempat mencari hasil hutan (damar, anggrek, madu, dll.)
Untuk dijual
72, 90 %
34 Laporan Survey KAP
Pag
e34
Sikap responden terhadap penggunaan hutan terlihat pada gambar 5.
Gambar 8 Sikap masyarakat terhadap penggunaan hutan
Dalam survei ini, pengetahuan responden tentang hutan tergambar dari
jawaban mereka tentang kondisi hutan yang ada di wilayah sekitar mereka
(pertanyaan No. 4) dan apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan
hutan (pertanyaan No. 6). Responden yang menjawab bahwa kondisi
hutan yang ada di wilayah sekitar mereka dalam keadaan rusak dominan
berasal dari desa Mekar Tani dan Asem, Asem Kumbang dan Baun Bango.
Gambar 9 Kondisi hutan menurut responden
35 Laporan Survey KAP
Pag
e35
b. Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan itu menurut responden dominan karena pertama karena
kebakaran hutan yang bisa terjadi secara alami dan tidak alami, kedua
karena pencarian emas atau puya, ketiga karena pembukaan lahan oleh
Perkebunan Besar Sawit (PBS). Keempat karena penebangan pohon (illegal
loging), dan terakhir karena pembukaan lahan karena masyarakat.
Gambar 10 Penyebab kerusakan hutan menurut responden
Dari data tersebut, tampak bahwa para responden sangat menyadari
bahwa pelaku atau sumber kerusakan bisa berasal dari mereka sendiri
maupun oleh orang lain (PBS) atau oleh alam (kebakaran hutan).
Sehubungan dengan kerusakan hutan maka survei juga mencari data
tentang sikap mereka terhadap konservasi (yang dibahasakan dengan
“apakah kondisi hutan saat ini perlu diperbaiki atau dilestarikan,
pertanyaan No.5), illegal loging (penebangan hutan, pertanyaan No. 7) dan
pembakaran lahan (pertanyaan No.8).
Dari semua responden (n = 163), terdapat 92 % yang menyatakan bahwa
kondisi hutan saat ini perlu diperbaiki atau dilestarikan, sedangkan 2 %
memberi jawaban tidak , dan 6 % memberi jawaban tidak tahu.
36 Laporan Survey KAP
Pag
e36
c. Penebangan Hutan
Sikap terhadap penebangan hutan secara liar atau illegal loging bervariasi
dan yang mencolok adalah desa Tumbang Bulan memberi persetujuan
yang tertinggi (35,7%) terhadap penebangan hutan dan tidak
berpendapat terhadap penebangan hutan (35,7%). Desa Asem Kumbang
juga menjadi fenomena unik karena sebagai desa yang tidak mendapat
intervensi justru menyatakan tidak setuju dengan penebangan hutan
(92,1% dengan n=39).
Sedangkan desa-desa lain relatif dapat diterima mengingat mereka masih
menebang hutan untuk keperluan bahan baku perumahan dan kayu bakar.
Desa Parupuk dapat diabaikan kendatipun 100% setuju, karena jumlah
responden di sana hanya tiga orang.
Gambar 11 Sikap terhadap Penebangan Hutan (illegal loging)
Penelusuran pada tiap desa memperlihatkan bahwa desa Asem Kumbang
menduduki urutan tertinggi dalam tidak setuju terhadap penebangan
hutan (92,1%). Fenomena ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa mata
pencaharian responden dari desa Asem Kumbang umumnya relatif tidak
tergantung banyak pada kegiatan illegal logging, yaitu 2 orang petani
37 Laporan Survey KAP
Pag
e37
karet, 2 orang petani rotan dan 35 orang nelayan sungai. Pada sisi lain,
kampung ini banyak menerima program pemerintah (P2DTK, PM2L, PNPM,
PUAP,KUR) yang sedikit banyak mengintervensi pengetahuan mereka, dan
membentuk sikap mereka terhadap praktik illegal loging.
Salah satu hal penting sebagai pembentuk sikap adalah pengetahuan
tentang Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang yang melarang
penebangan hutan secara liar. Untuk itu menggali hal itu maka diajukan
pertanyaan No. 9-11.
Survei menunjukkan bahwa 89 % dari responden mengetahui tentang
adanya Peraturan Pemerintah atau larangan tentang penebangan pohon
di hutan secara liar. Hanya 11 % yang mengatakan tidak tahu. Hal itu
menunjukkan bahwa sosialisasi tentang larangan llegal loging berhasil
dilakukan di daerah ini.
Keberhasilan itu juga tergambar dari sikap mereka terhadap Peraturan
Pemerintah atau larangan itu, yaitu 79 % setuju, 12 % tidak setuju, dan
sisanya 9 % tidak berpendapat.
Gambar 12 Sikap terhadap larangan penebangan hutan secara umum
Penelusuran terhadap responden yang tidak setuju dan tidak berpendapat
menunjukkan bahwa responden di desa Tumbang Bulan menduduki
urutan tertinggi yaitu 25 % dan 16,7 %. Hal ini tidak mengherankan
karena dalam fakta historis di desa ini telah terjadi praktik penebangan liar
sehingga membuat aparat kepolisian harus turun ke lapangan secara
langsung. Sedangkan desa Mekar Tani berada di posisi yang terendah
38 Laporan Survey KAP
Pag
e38
yaitu 2,9 % dan 11, 4 %. Fakta ini bisa dijelaskan karena sebagian besar
responden di adalah petani dan berasal dari suku Jawa. Responden dari
desa Tumbang Ronen juga menunjukkan sikap positif terhadap Peraturan
Pemerintah atau larangan terhadap penebangan hutan, yang tampak dari
8, 3 % yang menyatakan tidak setuju, sedangkan sisanya 90, 7 %
menyatakan setuju.
Gambar 13 Sikap terhadap penebangan hutan per desa
Bila pengamatan dialihkan ke desa Parupuk dengan n= 3, maka tampak
bahwa dari 3 orang responden ada 1 orang yang tidak setuju terhadap .
Bila metode ini kita terapkan ke desa yang lain, maka bisa dikatakan dari 4
orang responden ada 1 orang tidak setuju (desa Asem Kumbang,
Jahanjang, Baun Bango), atau bisa saja dari 4 orang reponden ada 2 orang
yang tidak setuju (Tumbang Bulan, dan Keruing). Dari data ini bisa
disimpulkan bahwa minimal 50 % dan maksimal 75 % dari responden
yang mempunyai sikap positif terhadap Peraturan Pemerintah atau
larangan terhadap penebangan hutan.
Sikap ini berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang sanksi atau
hukuman terhadap orang/kelompokyang melanggar Peraturan Pemerintah
39 Laporan Survey KAP
Pag
e39
atau larangan terhadap penebangan hutan. Temuan survei menunjukkan
bahwa 65 % dari reponden menyatakan ya mengetahui, dan 32 % tidak
mengetahui, sisanya 3 % tidak menjawab. Jawaban tidak mengetahui
tertinggi terdapat di desa Tumbang Bulan yaitu 70 %. Hal ini bisa menjadi
gambaran bahwa dari 4 orang responden ada 3 orang yang berpotensi
menjadi illegal logger. Hal sebaliknya dengan desa lain bahwa dari 4
responden ada 1 orang responden punya potensi (desa Keruing, Asem
Kumbang, Jahanjang, Tumbang Ronen, dan Baun Bango). Sedangkan
untuk desa Parupuk dengan n=3, hanya 1 orang yang berpontesi menjadi
illegal loger.
Gambar 14 Pengetahuan tentang sanksi/hukuman melakukan illegal loging
Desa Mekar Tani, punya penjelasan yang rasional kenapa terdapat 36 %
yang tidak tahu dan 8,3% tidak menjawab yaitu karena mayoritas
responden adalah petani transmigrasi yang telah mendapat jatah tanah
dari pemerintah dan berasal dari masyarakat Jawa. Namun harus
diwaspadai karena mereka punya potensi hampir 50 % untuk menjadi
illegal logger yaitu bila mereka gagal panen dengan sawah yang menjadi
andalan hidup mereka.
Potensi ini semakin jelas ketika pertanyaan survei diarahkan ke perilaku,
yaitu 48 % menyatakan ya pernah menebang pohon di hutan dalam
setahun terakhir, 52 % menyatakan tidak pernah (pertanyaan No. 12).
Penebangan itu dilakukan sebagian besar (90%) untuk digunakan sendiri
40 Laporan Survey KAP
Pag
e40
(bahan baku rumah, kayu bakar), untuk dijual sebagai nafkah hidup (9%),
dan 1 % untuk dipakai sendiri dan dijual.
Gambar 15 Pemakaian pohon kayu yang ditebang
Hampir semua desa menyatakan menebang kayu dan memakainya sendiri.
Ada beberapa responden yang tersebar di desa Baun Bango, Tumbang
Ronen, Asem Kumbang, Tumbang Bulan, dan Keruing yang menyatakan
menebang kayu untuk dijual. Hal itu berarti di desa itu ada aktivitas illegal
loging dalam skala kecil, yang memang tidak kentara. Namun ada desa
yang 100% respondennya menyatakan bahwa hanya untuk dipakai sendiri
(desa Jahanjang), hal itu menunjukkan bahwa intervensi terhadap
kesadartahuan masyarakat Jahanjang menghasilkan sikap dan perilaku
yang positif terhadap kegiatan konservasi.
d. Memungut Hasil Hutan Non Kayu
Beberapa pendapat mengatakan bahwa bagi masyarakat Dayak hutan
adalah “pasar” yang menyediakan kebutuhan hidup dan “apotik” yang
menyediakan obatan-obatan. Dalam survei ini, pendapat ini mendapat
pembenaran yaitu dengan jawaban yang menunjukkan 44 % dari
responden menyatakan ada melakukan kegiatan memungut hasil hutan
non kayu dalam satu tahun terakhir, sedangkan sisanya 56% menyatakan
41 Laporan Survey KAP
Pag
e41
tidak. Sebagian besar dari responden yang yang menjawab tidak berada di
desa Mekar Tani dan Tumbang Bulan.
Untuk masyarakat Mekar Tani dapat dimaklumi karena sebagian besar
responden adalah masyarakat petani transmigrasi dari Jawa. Namun untuk
desa Tumbang Bulan, perlu penjelasan khusus, yaitu sebagai bentuk
“resistensi”atau “manajemen kesan” agar mereka tidak terlalu dicitrakan
sebagai perusak hutan.
Gambar 16 Pemungutan hasil hutan dalam setahun terakhir
Hasil hutan non kayu , umumnya digunakan sendiri. Ada yang menjawab
dijual , hal itu ada kaitannya dengan pekerjaan responden sebagai petani
rotan, yang terkadang dilihat sebagai hasil hutan.
42 Laporan Survey KAP
Pag
e42
Gambar 17 Penggunaan Hasil Hutan Non Kayu
e. Pembakaran Hutan
Sehubungan dengan pembakaran lahan, dari semua responden (n=163)
didapat prosentasi bahwa 48 % setuju dengan pembakaran lahan dan 43
% tidak setuju serta 9 % tidak bependapat. Patut dicermati bahwa
mayoritas responden adalah masyarakat Dayak yang biasa membuka lahan
dengan cara bakar. Pada sisi lain, responden adalah masyarakat biasa
yang tidak mempunyai peralatan atau teknologi canggih yang
memungkinkan mereka untuk membuka lahan dengan cara tidak
membakar. Jadi, ketidakpatuhan terhadap aturan larangan membakar
yang terjadi di masyarakat dikarenakan tidak adanya pilihan serta
minimnya peralatan dan teknologi yang mereka dimiliki.
Kendatipun demikian, terdapat 43 % dari responden tidak setuju dengan
membuka dan mengolah lahan dengan cara bakar. Hal itu
menggambarkan bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan baru
tentang cara membuka lahan selain cara membakar dan mereka tahu risiko
yang dapat muncul dari cara lama yang mereka lakukan selama ini.
43 Laporan Survey KAP
Pag
e43
Gambar 18 Sikap terhadap pembukaan dan pengolahan lahan dengan membakar secara keseluruhan
Ketika dilakukan penelusuran, jawaban setuju atas pembukaan atau
pengelolaan lahan secara bakar ternyata terdapat di kalangan responden
desa Mekar Tani. Hal ini terjadi karena mereka adalah petani yang selain
bertanam padi juga palawija atau sayur-sayuran seperti terong, kacang
panjang, jagung,dll. Karena situasi ekonomi yang terbatas mereka tidak
mampu membeli pupuk untuk menyuburkan tanaman mereka. Salah satu
cara yang murah dan mudah adalah dengan melakukan pembakaran yang
mana abu yang dihasilkan menjadi pupuk bagi tanaman.
Gambar 19 Sikap terhadap pembukaan dan pengolahan lahan dengan membakar per desa
Walapun kebakaran hutan merupakan fenomena tahunan, tidak semua
responden mengetahui penyebab dari kebakaran hutan. Ada 27 %
menyatakan tidak tahu, sedang sisanya 73 % menyatakan tahu. Hal ini
menggambarkan bahwa ada responden yang melihat kebakaran hutan itu
sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja; tanpa sebab. Namun ada yang
44 Laporan Survey KAP
Pag
e44
sudah berpikir casualistik (sebab-akibat), bahwa kebakaran hutan terjadi
karena ada sebab-penyebabnya. Hal ini merekomendasikan bahwa salah
satu isi atau materi pendidikan lingkungan hidup adalah mengajarkan
bagaimana berpikir sebab-akibat.
Untuk melacak pengetahuan responden tentang cara mencegah
kebakaran hutan maka diajukan pertanyaan No. 21. Hasilnya adalah
dominan responden mengetahui bahwa cara mencegah kebakaran hutan
adalah pertama dengan tidak melakukan pembakaran lahan secara
sembarangan, yang kedua adalah dengan tidak membuang puntung rokok
sembarangan, yang ketiga adalah dengan membuat tabat (blocking
canal), yang keempat adalah dengan tidak menyalakan api di tempat yang
rawan kebakaran, yang kelima dengan memadamkan api secara sukarela,
yang keenam dengan cara membentuk patroli swadaya kampung, yang
ketujuh adalah dengan cara memanggil pawang hujan.
Dari data di atas tampak intervensi tentang mecegah kebakaran dengan
dengan membuat tabat (blocking canal) cukup berpengaruh di responden
sehingga menduduki posisi ketiga. Sedangkan konsep membentuk Regu
Pemadam Kebakaran (RPK) atau Patroli Swadaya Kampung (PSK) kurang
begitu diketahui sehingga berada diurutan keenam atau satu tingkat di
atas cara memanggil pawang hujan.
Gambar 20 Cara mencegah kebakaran menurut para responden
45 Laporan Survey KAP
Pag
e45
Untuk mengetahui sikap responden terhadap pembakaran hutan maka
diajukan pertanyaan tentang pendapat mereka tentang
larangan/peraturan pemerintah yang melarang adanya pembakaran hutan
(pertanyaan No. 17). Survei menunjukkan bahwa 83 % menyatakan setuju,
8 % setuju dan 9 % tidak berpendapat. Angka tidak setuju tertinggi
terdapat di desa Tumbang Bulan yaitu 27,3 %.
Gambar 21 Sikap responden terhadap pembakaran hutan per desa
Untuk mengetahui pengetahuan para responden terhadap sanksi yang
diterima oleh orang/kelompok orang yang melakukan pembakaran hutan
maka diajukan pertanyaan No. 18. Survei menujukkan bahwa ada 63 %
menyatatakan mengetahui, 25% menyatakan tidak mengetahui, dan
sisanya 12 % tidak menjawab. Penelusuran data perdesa menunjukkan
bahwa desa Tumbang Bulan berkontribusi tertinggi dalam memberi
jawaban tidak mengetahui yaitu 50 % dari 39 responden.
Gambar 22 Pengetahuan tentang sanksi atas pembakaran hutan perdesa
46 Laporan Survey KAP
Pag
e46
Untuk mengetahui perilaku maka diajukan pertanyaan No. 19 dan 20,
dengan pertanyaan apakah mereka mengetahui dalam setahun terakhir
ada orang yang membakar hutan dan apakah dalam kurun waktu itu
mereka ada melakukan pembakaran lahan/hutan. Survei memperlihatkan
bahwa 91 % mengatakan tidak tahu kalau dalam setahun terakhir ada
yang membakar hutan, 9 % lainnya mengatakan mengetahui. Kemudian
97 % responden menjawab bahwa selama setahun terakhir mereka tidak
ada membakar hutan misalnya untuk membuka kebun atau ladang.
Sisanya 3 % menjawab bahwa mereka ada membakar hutan misalnya
untuk membuka kebun atau ladang, responden sejumlah 3 % ini tersebar
di desa Keruing, Asem Kumbang, Jahanjang, dan Baun Bango. Namun
data ini harus dibaca secara berhati-hati karena memang dalam setahun
terakhir selama tahun 2010 telah terjadi musim penghujan sepanjang
tahun dan hampir-hampir tidak ada musim kemarau yang memungkinkan
orang untuk melakukan pembakaran dan pengolahan lahan dengan
membakar.
Gambar 23 Jawaban Responden tentang keterlibatan dalam membakar hutan dalamkurun waktu selama tahun 2010
3.2 . Sungai
a. Kondisi Sungai
47 Laporan Survey KAP
Pag
e47
Sungai merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di sepanjang
sungai Katingan. Namun karena perubahan iklim dan campur tangan
tangan manusia terjadi beberapa perubahan terhadap kondisi sungai yang
menurut responden perubahan utama adalah: pertama sering terjadi
banjir, yang kedua semakin sedikit ikan yang bisa ditangkap, dan ketiga
adalah tercemarnya air sungai akibat penambangan emas.
Gambar 24 Pengetahuan responden tentang kondisi sungai
Hal itu menunjukkan bahwa responden sadar dan tahu akan kondisi riil
yang sedang terjadi walaupun tidak tahu dengan jelas apa penyebab
kondisi itu terjadi.
b. Pemakaian Sianida/Racun/Potas dan Alat Setrum Ikan
b.1. Sianida/Racun/Potas.
Ketika ditanya masalah penggunaan racun untuk menangkap ikan, 93 %
menjawab Ya mengetahui bahwa ada larangan pemakaian
sianida/racun/potas untuk menangkap ikan. Sehubungan dengan sikap,
maka ditanya pendapat mereka tentang larangan itu. Jawaban yang
diberikan adalah 86 % menyatakan setuju ada pelarangan, sisanya 14 %
menyatakan tidak setuju. Sehubungan dengan sanksi atau hukuman
terhadap orang/kelompok yang melanggar peraturan atau larangan itu, 69
48 Laporan Survey KAP
Pag
e48
% menyatakan mengetahui, 30 % menyatakan tidak mengetahui serta 1 %
tidak memberi jawaban.
Dari 163 orang responden ternyata ada sekelompok kecil yang melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan sianida/racun/potas pada kurun
waktu setahun terakhir, yaitu ada 3 orang atau 6,3 % di desa Jahanjang (
dengan n=19), ada 2 orang atau 5,4 % di desa Asem Kumbang (dengan
n=39) dan terdapat 1 orang atau 4,3 % di desa Baun Bango (dengan
n=23)
b.2. Alat Setrum
Sehubungan dengan penggunaan alat setrum untuk menangkap ikan,
terdapat 89 % responden menjawab mengetahui adanya larangan
penggunaan alat setrum untuk menangkap ikan. Sisanya 11 %
menyatakan tidak tahu. Kemudian terhadap adanya larangan itu, 80 %
memberi jawaban setuju, dan terdapat 20 % yang menyatakan tidak
setuju. Mengenai sanksi atau hukuman kepada mereka yang melanggar
larangan, terdapat 59 % yang menyatakan mengetahui adanya sanksi atau
hukuman bila melanggar larangan, sisanya 41 % menyatakan tidak tahu
adanya sanksi atau hukuman.
Ketika ditanya mengenai praktik penangkapan ikan dengan menggunakan
alat setrum, terdapat 91 % responden yang menyatakan tidak
mengetahui ada orang lain yang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat setrum, sisanya 9 % memberi jawaban mengetahui.
Ketika ditanya apakah mereka melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat setrum, terdapat 3 % dari responden (5 orang) yang
menjawab ya. Penelusuran data menunjukkan bahwa distribusi responden
yang melakukan praktik itu tersebar di desa Jahanjang, Tumbang Ronen
dan Baun Bango.
b.3. Analisis
Dari data di atas tampak bahwa sebagian besar responden telah memiliki
pengetahuan dan sikap yang baik tentang adanya larangan pemakaian
sianida/racun/potas dan alat setrum untuk menangkap ikan. Bahkan
49 Laporan Survey KAP
Pag
e49
mayoritas responden mengetahui sanksi atau hukuman yang diterima bila
melanggar larangan itu. Hal itu menunjukkan bahwa upaya intervensi
sehubungan kelestarian keragaman hayati di wilayah sungai cukup
terserap dengan baik oleh responden. Data menunjukkan bahwa dari sisi
aspek penegakan hukum (aturan dan larangan dari pemerintah) cukup
berpengaruh dalam membatasi perilaku destruktif seperti penggunaan
sianida/racun/potas dan alat setrum
Sebagai peringatan awal, data positif hasil survei ini tidak memberi
jaminan apa-apa bahwa di masa depan tidak akan ada penangkapan ikan
dengan menggunakan sianida/racun/potas dan alat setrum ikan. Karena
yang membuat masalah biasanya “kelompok kecil” dan bukanlah
“kelompok besar”.
Kelompok kecil, yang kemudian menjadi kelompok penentang, biasanya
adalah kaum mapan secara ekonomi dan sosial dengan anggapan bahwa
perubahan dapat saja membuat kehidupan ekonomi dan status sosial
mereka tidak semakin baik tapi malah sebaliknya.
3.3 . Peraturan Adat
Selain memahami adanya hukum negara dan agama, masyarakat Dayak
juga mengenal adanya hukum adat yaitu hukum tradisional yang mereka
peroleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu dari
fungsi dari hukum adat itu adalah mengatur tentang pengelolaan sungai,
hutan dan tanah. Namun dari hasil survei menunjukkan ternyata mayoritas
responden (62 %) menjawab tidak ada, dan 12 % menjawab tidak tahu
kalau ada hukum adat yang demikian. Sisanya yaitu 26 % menjawab bahwa
ada hukum adat yang mengatur tentang pengelolaan sungai, hutan dan
tanah.
50 Laporan Survey KAP
Pag
e50
Gambar 25 Pengetahuan Responden tentang Hukum Adat secara keseluruhan
Gambar 26 Pengetahuan Responden tentang Hukum Adat per desa
Penelusuran atas data per desa menunjukkan bahwa distribusi responden
yang menjawab tidak ada hampir tersebar di semua desa, namun
prosentasi tertinggi terdapat di desa Tumbang Bulan dan Asem Kumbang,
Kemudian menyusul Jahanjang, Tumbang Ronen dan Keruing.
Ketika ditanya, “Apakah peraturan adat diperlukan untuk pengelolaan
sungai, hutan dan tanah (SDA), mayoritas responden yaitu 73 % menjawab
ya. Sisanya menjawab tidak (21%) dan tidak menjawab ada 6 %.
51 Laporan Survey KAP
Pag
e51
Gambar 27 Tanggapan Responden tentang perlunya Hukum Adat
Data di atas menggambarkan bahwa sebagian responden telah tercerabut
dari akar budaya Dayak, kemudian mereka tidak punya peraturan yang
berasal dari diri mereka sendiri untuk mengatur diri mereka sendiri.
Kalaupun 26 %responden menjawab ada, itu mungkin hanya sebatas “
ingatan” tidak dalam bentuk praktik. Pengetahuan responden tentang
pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang diwariskan secara turun-
temurun, ternyata tidak diikuti dengan aturan (hukum adat) yang
bertujuan mempertahanankan fungsi sumberdaya hutan dan sungai untuk
menjamin hutan dan sungai dapat terus-menerus atau secara
berkelanjutan mendukung kehidupan mereka. Jadi, dalam bentuk perilaku
masyarakat tidak mempunyai atau belum mampu memproduksi hukum
atau peraturan milik mereka sendiri yang bertujuan untuk mengatur diri
mereka sendiri. Mereka tidak punya patokan untuk mengatur, melarang
atau menghukum (memberi sanksi) yang disebut dengan hukum adat.
3.4 . Pelestarian dan Penyelamatan Lingkungan Hidup
a. Pengetahuan dan sikap tentang konservasi
Konservasi atau dalam survei ini dibahasakan sebagai “Pelestarian dan
Penyelamatan Lingkungan Hidup” ternyata diketahui oleh 71 % dari
respondeni, 29 % menyatakan tidak pernah mendengar istilah
“Pelestarian dan Penyelamatan Lingkungan Hidup”.
52 Laporan Survey KAP
Pag
e52
Semua responden dari desa Perupuk dan Tumbang Ronen menyatakan
pernah mendengar istilah ini. Sebagian kecil responden di desa Mekar
Tani, Keruing, Jahanjang dan Baun Bango menyatakan tidak pernah
mendengar istilah ini. Namun sebagian besar ( < 50 %) responden di desa
Asem Kumbang dan Tumbang Bulan menyatakan tidak pernah mendengar
istilah “Pelestarian dan Penyelamatan Lingkungan Hidup”.
Gambar 28 Informasi yang disampaikan responden tentang pernah atau tdak pernah mendengar istilah “Pelestarian dan Penyelamatan Lingkungan Hidup”
Data survei tersebut memperlihatkan bahwa upaya kampanye konservasi
lingkungan hidup relatif berhasil, walapun ada sebagian kecil yang tidak
tahu tentang istilah itu (29 %). Kemudian data survei juga
memperlihatkan terdapat perbedaan yang mencolok antara 6 desa yang
sudah diintervensi dan 2 desa yang belum diintervensi. Desa yang
diintervensi relatif lebih tahu daripada desa yang belum diintervensi.
Sumber informasi para responden untuk mengetahui atau mendengar
istilah “Pelestarian dan Penyelamatan Lingkungan Hidup” mulai dari urutan
tertinggi:
Kepala Desa (19,6 %)
Televisi (16,4 %)
Radio (12,1 %)
Poster (6,8 %)
Anggota Formas (6,6 %)
Saudara (6,2 %)
53 Laporan Survey KAP
Pag
e53
Tetangga (5,8 %)
Stiker (5,8 %)
Ketua RT (3,3 %)
Koran (1,8 %)
Brosur (1,6 %)
Data di atas juga memperlihatkan bagaimana pola interaksi sosial di antara
warga masyarakat yaitu bersifat dari pimpinan kepada pengikut (patron-
klien), bersifat tatap muka (face to face), dan menyampaikan informasi
dari mulut kemulut (lisan) akibatnya akurasi informasi sering menjadi
persoalan tersendiri. Namun peran teknologi informasi (TV dan radio) juga
patut diperhitungkan, karena menduduki urutan kedua dan ketiga.
Ketika ditanya mengenai tujuan pelestarian dan penyelamatan lingkungan
hidup, 52 % dari responden menyatakan untuk melindungi hutan, 19 %
menyatakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, 15 %
menjawab untuk melindungi binatang langka, 9 % menjawab tidak tahu,
dan 5 % menjawab tidak tahu. Jawaban yang lainnya menurut para
responden adalah melindungi sungai dari pencemaran. Gambar di bawah
ini memperlihatkan pengetahuan responden tentang tujuan pelestarian
dan penyelematan lingkungan hidup.
Gambar 30 pengetahuan responden tentang tujuan pelestarian dan
penyelematan lingkungan hidup.
54 Laporan Survey KAP
Pag
e54
Ketika ditanya “Apakah bapak/ibu terlibat dalam upaya pelestarian atau
penyelamatan lingkungan hidup?”, 59 % dari responden menjawab ya,
dan 41 % menyatakan tidak. Bagi yang menjawab tidak terlibat, ketika
ditanya “apakah berkeinginan untuk terlibat?” 97 % menjawab ya dan
hanya 3 % yang menjawab tidak.
Jika pengetahuan responden terhadap berbagai kegiatan pelestarian atau
penyelamatan lingkungan hidup cukup tinggi (71 %) nampaknya
keterlibatan responden pada kegiatan-kegiatan tersebut persentasenya
tidak setinggi persentase responden tentang pengetahuan tentang
kegiatan terkait. Walaupun responden tahu tentang kegiatan pelestarian
atau penyelamatan lingkungan hidup, namun keterlibatan mereka
terhadap kegiatan mereka sangat rendah.
Tabel berikut memperlihatkan bahwa keterlibatan responden pada
kegiatan-kegiatan pelestarian atau penyelamatan lingkungan hidup
persentasenya tidak setinggi persentase responden tentang pengetahuan
tentang kegiatan terkait.
Kegiatan Pelestarian/Penyelamatan Mengetahui Tdk Terlibat Tdk
Lingkungan Hidup Ya Tidak Jwb Ya Tidak Jwb
39%
55%
6%
9%
31%
60%
Kegiatan perlindungan/pengawasan hutan, sungai dan
danau 36%
60%
4%
6%
32%
62%
Pembentukan Forum Masyarakat sekitar Taman Nasional Sebangau 23% 69% 8% 4% 20% 76% Pelatihan Usaha Rumah Tangga (URT) 30% 63% 7% 11% 21% 68% Pendampingan Usaha Rumah Tangga (URT) 17% 72% 11% 8% 15% 77% Kegiatan sosialisasi tentang Desa Eko-Wisata 21% 71% 8% 5% 18% 77% Apakah tahu tentang adanya perencanaan Desa Eko-Wisata 23% 69% 8% 4% 19% 77% Apakah tahu tentang program pertanian organik 25% 66% 9% 6% 18% 76%
Salah satu tujuan dari program Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan
Hidup adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di samping
tetap menjaga kelestarian. Berbagai kegiatan dan usaha ekonomi telah
Peningkatan pengetahuan dan kesadartahuan akan pentingnya peletarian/penyelamatan lingkungan hidup (misalnya sosalisasi & kampanye melalui penyelamatan hutan, orangutan melalui pertemuan/rapat, pemutaran film, pemasangan poster, billboard, dll.
55 Laporan Survey KAP
Pag
e55
dilakukan agar perekonomian masyarakat meningkat. Ketika responden
ditanyakan tentang keadaan ekonomi rumah tangga sekarang
dibandingkan dengan sebelum adanya program
Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan Hidup, hanya 15 % yang
menjawab Lebih Baik, 22 % tidak ada melihat adanya perubahan, 7 %
menjawab lebih buruk dan suara terbanyak 56 % tidak memberi jawaban.
Gambar 31 Jawaban Responden tentang pengaruh upaya pelestarian/penyelamatan lingkungan hidup terhadap keadaan ekonomi keluarganya
Alasan memberi jawaban sama saja dan lebih buruk bervariasi mulai
tidak bisa menambah pendapatan ekonomi keluarga, tidak ada manfaat
langsung yang bisa diterima, hanya latihan tidak ada penerapan, belum
terlibat dalam kegiatan, hingga tidak memberi jawaban sama sekali.
Bila dilakukan pelacakan perdesa maka tampak bahwa responden yang
tidak memberi jawaban terkonsentrasi di desa Asem Kumbang dan Mekar
Tani. Untuk desa Asem Kumbang data dapat dijelaskan dengan alasan
desa ini tidak mengalami intervensi. Tetapi untuk desa Mekar Tani perlu
penjelasan khusus yaitu karena mereka memang sejak datang ke
Kalimatan kehidupan mereka difasilitasi oleh negara sehingga mereka
tidak mengalami banyak perubahan dengan adanya penertiban illegal
logging yang seringkali dilihat berkaitan erat dengan upaya
Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan Hidup. Mekar Tani berbeda dari
tujuh desa lainnya yang dapat “mengkambing-hitamkan” upaya
Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan Hidup sebagai salah satu sumber
menurunnya pendapatan mereka.
56 Laporan Survey KAP
Pag
e56
Tabel 13 Jawaban Responden pada tiap desa tentang pengaruh upaya pelestarian/penyelamatan lingkungan hidup terhadap keadaan ekonomi keluarganya
No. Lebih Baik Sama Saja Lebih Buruk Tidak Menjawab
1. Asem Kumbang 2 4 0 33
2. Baun Bango 3 4 8 8
3. Tumbang Ronen 7 0 0 5
4. Keruing 1 10 0 2
5. Jahajang 4 3 3 9
6. Perupuk 1 1 1 0
7. Tumbang Bulan 0 9 1 5
8. Mekar Tani 3 5 0 31
Total 21 36 13 93
Prosentase 15% 22% 7% 56%
Kendatipun demikian ketika ditanya apakah program
Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan Hidup perlu dilanjutkan atau tidak,
mayoritas responden (58 %) menjawab ya. Responden yang menjawab
tidak hanya 2 % dan tidak tahu juga 2 %, sedangkan yang tidak
menjawab berjumlah 38 %.
66
KKEESSIIMMPPUULLAANN DDAANN RREEKKOOMMEENNDDAASSII
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari Survei Sosial Ekonomi dan Survei KAP yang dilakukan
terhadap 8 desa yang terdapat di sekitar wilayah Taman Nasional
Sebangau, secara khusus di daerah aliran sungai Katingan adalah sebagai
berikut:
57 Laporan Survey KAP
Pag
e57
Survei Sosial Ekonomi
1. Kebijakan pemerintah tentang penertiban illegal logging, cukup
berdampak pada kehidupan masyarakat. Masyarakat merubah pola
pikir dan usaha mereka yang dulunya bergantung pada kegiatan illegal
logging . Ketika survei dilakukan masyarakat sudah mulai melakukan
usaha non illegal logging antara lain mencari ikan, membuat keramba
ikan, berkebun rotan, dan berkebun karet.
2. Pola adaptasi untuk dapat bertahan hidup yang dikembangkan oleh
masyarakat yang berada di tepi sungai Katingan adalah dengan
memanfaatkan situasi alami berupa sungai, danau dan rawa untuk
mencari ikan atau nelayan, yang diselingi dengan pekerjaan sebagai
petani rotan, atau petani karet.
3. Pola adaptasi untuk dapat bertahan hidup yang dikembangkan oleh
masyarakat di desa transmigrasi adalah dengan melakukan penanaman
padi dan sayur, yang diselingi dengan pekerjaan sebagai peternak,
tukang dan buruh tani.
4. Kondisi ekonomi penduduk yang bermata-pencaharian sebagai
nelayan sudah beranjak dari kondisi subsisten. Mereka tidak lagi
sekadar menangkap ikan untuk keperluan sendiri, tetapi untuk
membudi-dayakan dan memasarkannya ke tempat lain. Hal belum
dilakukan adalah pengembangan sistem pengolahan produksi ikan
sehingga menjadi komoditas (barang dagangan dalam bentuk baru)
dan juga perluasan rantai pemasarannya
Survei KAP
1. Masyarakat di sekitar wilayah Taman Nasional Sebangau, secara khusus
di daerah aliran sungai Katingan, memiliki pengetahuan, sikap dan
perilaku tentang fungsi hutan, baik dari aspek ekonomi, sosial dan
ekologis.
2. Intervensi terhadap enam desa telah merubah sudut pandang atau
pengetahuan (knowledge) masyarakat tentang hutan. Pengetahuan
masyarakat tentang hutan pada mulanya terpusat pada sumber daya
ekonomi, namun dengan intervensi yang dilakukan mampu
58 Laporan Survey KAP
Pag
e58
mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi lebih baik
yang ditunjukkan dengan peningkatan atau penambahan pengetahuan
tentang manfaat kawasan hutan dari aspek lain yaitu ekologi dan sosial.
3. Intervensi juga mengakibatkan perubahan sikap (attitude) dimana
masyarakat telah mampu bersikap (tidak setuju) atas fungsi hutan
sebagai tempat mencari kayu untuk dijual sehingga mendatangkan
duit. Bagi mereka hutan tidak lagi bersifat komersil yaitu tidak lagi
sebagai tempat mambatang atau mencari kayu untuk mendatangkan
uang sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Namun
mereka setuju kalau hutan sebagai sarana pemenuhan hidup hidup
masyarakat (fungsi sosial) yaitu: tempat mencari bahan baku rumah,
bahan baku untuk membuat tali-temali dan barang anyaman, obat
tradisional, sayur dan bahan pangan, berburu dan hasil hutan lainnya.
4. Intervensi mengakibatkan perubahan pengetahuan masyarakat tentang
cara pencegahan kebakaran hutan.
5. Desa yang diintervensi memberi respon positif terhadap kebijakan
pemerintah tentang pelarangan penebangan hutan, pelarangan
penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan alat setrum.
Sedangkan desa yang tidak diintervensi cenderung negatif.
6. Tidak ada hukum adat yang diberlakukan untuk mengatur pengelolaan
sungai, hutan dan tanah (SDA). Jadi dalam bentuk perilaku masyarakat
tidak mempunyai atau belum mampu memproduksi hukum atau
peraturan milik mereka sendiri yang bertujuan untuk mengatur diri
mereka sendiri. Mereka tidak punya patokan untuk mengatur,
melarang atau menghukum (memberi sanksi) yang disebut dengan
hukum adat.
7. Pengetahuan responden tentang kegiatan konservasi ternyata tidak
berbanding lurus dengan keterlibatan dalam kegiatan konservasi.
8. Karena terbatas daya, dana dan waktu, program peningkatan ekonomi
belum maksimal dilakukan. Hal itu tampak hanya 15 % yang
menjawab bahwa kehidupan ekonomi keluarganya Lebih Baik,
sedangkan 22 % tidak ada melihat adanya perubahan, 7 % menjawab
lebih buruk dan suara terbanyak 56 % tidak memberi jawaban.
9. Kendatipun demikian, mayoritas responden bersikap postif terhadap
kegiatan Pelestarian/Penyelamatan Lingkungan Hidup, terdapat 58 %
59 Laporan Survey KAP
Pag
e59
menyatakan kegiatan ini perlu dilanjutkan. Hanya 2 % yang menjawab
tidak dan tidak tahu juga 2 %, sedangkan yang tidak menjawab
berjumlah 38 %.
6.2. Rekomendasi
1. Harus ada program khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan
merubah sikap responden, sehingga dalam penelitian selajutnya terjadi
penurunan atas jawaban tidak tahu dan tidak menjawab. Umumnya
perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku dapat dilihat dari
menurunnya kelompok masyarakat yang tidak tahu dan atau tidak
berpendapat menjadi mampu menjawab.
2. Menurunkan atau memutus tingginya tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan hutan yaitu dengan cara meningkatkan
ketrampilan mereka sehingga terjadi diversifikasi pekerjaan.
3. Membuat kegiatan yang inovatif, yang hasilnya bisa langsung
dirasakan oleh masyarakat atau meningkatkan pendapatan masyarakat.
4. Karena masyarakat masih aktif melakukan pemanfaatan atas hasil
hutan non kayu, maka perlu mengadakan kampanye tentang
pengambilan hasil hutan non kayu yang tidak berlebihan.
Pemanfaatan hasil hutan non kayu tanpa memperhitungkan suksesi
atau kesinambungan jenis tanaman tersebut, akan membuat
keberadaannya menuju kepunahan.
5. Kampanye atau penyediaan informasi yang cukup mengenai dampak
langsung kerusakan hutan dan sungai terhadap masyarakat yang
memiliki ketergantungan tinggi pada hutan dan sungai.
6. Meningkatkan nilai guna hutan bagi masyarakat misalnya dengan
melakukan kajian potensi kawasan ini menyimpan banyak
keanekaragaman hayati yang sebagian besar belum dikaji manfaat dan
kegunaannya dalam bidang ilmu terapan.
7. Mendorong diberlakukannya hukum adat sehingga masyarakat
terbiasa bekerja berkelompok dan saling memonitoring. Hukum adat
itu misalnya untuk mengistrihatkan sungai dan danau dalam jangka
waktu tertentu, sehingga ada kesempatan bagi ikan untuk berkembang
biak.