pemodelan gizi buruk pada balita di kota surabaya …

12
1 PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA DENGAN SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL (SAR) 1 Qurrota A’yunin, dan 2 Dr. Brodjol Sutijo S.U, M.Si 1,2 Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya e-mail : 1 [email protected] , 2 [email protected] ABSTRAK Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi. Oleh sebab itu gizi buruk menjadi perhatian khusus oleh pemerintah kota Surabaya untuk ditangani. Regresi spasial adalah salah satu metode yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon dengan variabel prediktor dengan memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial. Oleh sebab itu pada penelitian saat ini akan digunakan Spatial Autoregressive Model (SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah berpengaruh terhadap gizi buruk di Surabaya. Hasil pemodelan gizi buruk balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kota Surabaya melalui SAR menunjukkan selain dependensi lag yang signifikan, juga pada variabel variabel RT yang memiliki akses air bersih (X 5 ), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X 9 ). Model SAR menghasilkan R 2 sebesar 55,26% dan AIC sebesar 77,8996 yang lebih baik dibandingkan regresi metode Ordinary Least Square (OLS) dengan R 2 sebesar 39,57% dan AIC sebesar 83,2002. Kata kunci : Gizi Buruk Balita , Moran’s I, Spatial Autoreggressive Model (SAR) 1. Pendahuluan Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman (Republika, 2009). Upaya pencegahan yang dilakukan di antaranya dengan selalu meningkatkan sosialisasi, kunjungan langsung ke para penderita gizi buruk, pelatihan petugas lapangan, pengarahan mengenai pentingnya ASI eksklusif pada ibu yang memiliki bayi, serta koordinasi lintas sektor terkait pemenuhan pangan dan gizi (Antara News, 2011), Namun sampai saat ini penanganan yang diberikan, hanya mampu mengurangi sedikit kasus gizi buruk pada balita. Banyak faktor- faktor yang dianggap mempengaruhi gizi buruk. Namun penyebab dasar terjadinya gizi buruk ada dua hal yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit bawaan yang mengakibatkan mudah terinfeksi penyakit DBD, HIV/ AIDS, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan diduga menjadi penyebab utama terjadinya gizi buruk. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan (Republika, 2009). Selain kemiskinan, faktor lingkungan dan budaya turut andil dalam kasus gizi buruk. Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi. Kenaikan angka gizi buruk di daerah lain di Jawa Timur mencapai 2% sedangkan di Surabaya tahun 2010 mencapai 1,06%. Namun Dinas Kesehatan berupaya menekan angka tersebut sesuai dengan target harapan yakni 0%. (Surabayakita, 2010). Untuk mengetahui secara tepat program- program apa saja yang harus dilakukan pemerintah, maka perlu diketahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap gizi buruk. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan UNICEF

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

1

PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA

DENGAN SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL (SAR)

1Qurrota A’yunin, dan

2Dr. Brodjol Sutijo S.U, M.Si

1,2

Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

e-mail : [email protected] ,

[email protected]

ABSTRAK

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di

bawah standar. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Surabaya adalah salah

satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi. Oleh sebab itu gizi buruk menjadi perhatian

khusus oleh pemerintah kota Surabaya untuk ditangani. Regresi spasial adalah salah satu metode yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon dengan variabel prediktor dengan

memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial. Oleh sebab itu pada penelitian saat ini akan

digunakan Spatial Autoregressive Model (SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili

permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah berpengaruh terhadap gizi buruk di

Surabaya. Hasil pemodelan gizi buruk balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kota Surabaya

melalui SAR menunjukkan selain dependensi lag yang signifikan, juga pada variabel variabel RT yang

memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9). Model SAR

menghasilkan R2 sebesar 55,26% dan AIC sebesar 77,8996 yang lebih baik dibandingkan regresi metode

Ordinary Least Square (OLS) dengan R2 sebesar 39,57% dan AIC sebesar 83,2002.

Kata kunci : Gizi Buruk Balita , Moran’s I, Spatial Autoreggressive Model (SAR)

1. Pendahuluan Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya

di bawah standar rata-rata. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai

saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk

dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya

adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk

merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan

zaman (Republika, 2009). Upaya pencegahan yang dilakukan di antaranya dengan selalu

meningkatkan sosialisasi, kunjungan langsung ke para penderita gizi buruk, pelatihan petugas

lapangan, pengarahan mengenai pentingnya ASI eksklusif pada ibu yang memiliki bayi, serta

koordinasi lintas sektor terkait pemenuhan pangan dan gizi (Antara News, 2011), Namun

sampai saat ini penanganan yang diberikan, hanya mampu mengurangi sedikit kasus gizi buruk

pada balita.

Banyak faktor- faktor yang dianggap mempengaruhi gizi buruk. Namun penyebab dasar

terjadinya gizi buruk ada dua hal yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Sebab

langsung adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit bawaan

yang mengakibatkan mudah terinfeksi penyakit DBD, HIV/ AIDS, dan lain-lain. Sedangkan

kemiskinan diduga menjadi penyebab utama terjadinya gizi buruk. Kurangnya asupan gizi bisa

disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak

memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan

(Republika, 2009). Selain kemiskinan, faktor lingkungan dan budaya turut andil dalam kasus

gizi buruk.

Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi.

Kenaikan angka gizi buruk di daerah lain di Jawa Timur mencapai 2% sedangkan di Surabaya

tahun 2010 mencapai 1,06%. Namun Dinas Kesehatan berupaya menekan angka tersebut sesuai

dengan target harapan yakni 0%. (Surabayakita, 2010). Untuk mengetahui secara tepat program-

program apa saja yang harus dilakukan pemerintah, maka perlu diketahui faktor- faktor yang

berpengaruh terhadap gizi buruk. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan UNICEF

Page 2: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

2

faktor- faktor yang diduga berpengaruh terhadap kasus gizi buruk pada balita adalah kemiskinan,

tingkat pengetahuan orang tua, asupan gizi, layanan kesehatan/ sanitasi, dan faktor penyakit

bawaan. Dengan mengetahui faktor- faktor tersebut, peneliti ingin mengetahui faktor- faktor apa

saja yang mempengaruhi jumlah kasus jumlah kasus gizi buruk pada balita khususnya di

Surabaya.

Analisis regresi merupakan salah satu analisis statistika yang bertujuan untuk

memodelkan hubungan antara variabel respon Y dengan variabel prediktor X. Regresi spasial

adalah salah satu metode yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon

dengan variabel prediktor dengan memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial.

Regresi spasial dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu titik dan area. Regresi spasial ini

banyak digunakan di berbagai bidang antara lain kesehatan, sosial, klimatologi, dan lain- lain.

Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi

gizi buruk diantaranya Hayati (2009) meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi gizi buruk

balita di jawa Timur dengan metode Analisis Diskriminan, Marice (2006) yang meneliti

klasifikasi status gizi balita dengan pendekatan diskriminan bootstrap menyimpulkan bahwa

variabel yang berpengaruh adalah frekuensi pemberian gizi. Mugiyono (2000) meneliti analisis

status kesehatan balita di jawa Timur dengan menggunakan metode regresi logistik polikotomus

menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi terhadap status kesehatan balita adalah umur

balita, pemberian ASI, imunisasi, dan sumber air minum. Berdasarkan penjelasan diatas

diketahui bahwa belum ada penelitian yang mengkaji gizi buruk balita dan faktor-faktornya

dengan memperhatikan aspek spasial. Oleh sebab itu pada penelitian saat ini akan digunakan

Spatial Autoregressive Model (SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili

permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah berpengaruh terhadap gizi buruk

di Surabaya. Oleh sebab itu, penggunaan model regresi spasial diharapkan mampu

menghasilkan model gizi buruk balita yang spesifik di setiap daerah sehingga hasilnya

diharapkan mampu memberi informasi serta masukan yang positif bagi pemerintah dalam

menekan jumlah gizi buruk di Surabaya.

2. Tinjauan Pustaka

Spasial Area Model umum Spatial Autoregressive Models (model spasial autore-gressive)

dinyatakan pada persamaan (1) dan (2) (LeSage, 1999; dan Anselin 1988).

uXβyWy 1 (1)

dengan

εuWu 2 (2)

),0(~ 2Iε N

Dimana y adalah vektor variabel dependen (n x 1), X matrik variabel independen (n x

(k+1)), β vektor parameter koefisien regresi ((k+1) x 1), parameter koefisien spasial lag

variabel dependen, parameter koefisien spasial lag pada error, u dan ε error (n x 1), 1W dan

2W matrik pembobot (n x n), I matrik identitas, berukuran n x n, n banyaknya amatan atau

lokasi (i=1,2,3,...,n), dan k banyaknya variabel independen (k=1,2,3,...,l).

Dari persamaan (1), ketika X = 0 dan 02 W akan menjadi model spasial

autoregressive order pertama εyWy 1 . Model tersebut menunjukkan variansi pada y

sebagai kombinasi linear variansi antar lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel

independen. Jika 02 W atau 0

maka akan manjadi model regresi spasial Spatial

Autoregressive Model (SAR) atau Spatial Lag Model (SLM) εXβyWy 1 . Model

tersebut mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen.

Page 3: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

3

Ketika 01 W atau 0

maka akan manjadi model regresi spasial autoregressive

dalam error atau spatial error model (SEM) εuWXβy 2 . Dengan uW2 menun-

jukkan spasial struktur 2W pada spatially dependent error (ε ). Ketika 0, 21 WW , 0 ,

atau 0 maka disebut Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dengan persamaan

sama seperti pada persamaan (1). Jiika 0 dan 0

maka akan manjadi model regresi

linear sederhana εXβy , yang estimasi parameternya dapat dilakukan melalui Ordinary

Least Square (OLS). Dalam model tersebut tidak terdapat efek spasial.

Spatial Autoregressive Model (SAR) Spatial Autoregressive Model (SAR) disebut juga Spatial Lag Model (SLM) adalah salah

satu model spasial dengan pendekatan area dengan memperhitungkan pengaruh spasial lag pada

variabel dependen saja. Model ini dinamakan Mixed Regressive-Autoregressive karena

mengkombinasikan regresi biasa dengan model regresi spasial lag pada variabel dependen

(Anselin,1988).

εXβyWy 1 (3)

Persamaan (3) dapat dinyatakan menjadi persamaan (4).

εWIXβWIy1

1

1

1

(4)

T

N1

1

21

1

1

1 ,~

WIIWIXβWIy

Estimasi Parameter Spatial Autoregressive Model (SAR) Estimasi parameter Spatial Autoregressive Model (SAR) pada penelitian ini dilakukan

melalui metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Langkah pertama adalah dengan

membentuk fungsi likelihood dari persamaan (3). Pembentukan fungsi likelihood tersebut

dilakukan melalui error ε sehingga menjadi persamaan (6) dan persamaan (7).

εXβyWy 1 XβyWyε 1

XβyWIε )( 1 (5)

(6)

(7)

Dengan1WI

y

ε-

J

adalah fungsi jacobian, yaitu differensial persamaan (5) terhadap y.

Substitusi persamaan (6) pada persamaan (7) menghasilkan persamaan (8) maka didapatkan

fungsi likelihood sebagai berikut.

1

2/

2

2

2

1)|,,( WIyβ

-

n

L

XβyWIXβyWI )()(

2

1exp 112

T (8)

εεε

T

2

2/

2

2

2

1exp

2

1);(

n

L

εεy|β

T

2

2/

2

2

2

1exp

2

1),,(

JL

n

Page 4: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

4

Operasi logaritma naturalnya pada persamaan (9).

Estimasi parameter β diperoleh dengan memaksimumkan fungsi logaritma natural

likelihood persamaan (9), yaitu dengan menurunkan persamaan tersebut terhadap β Sehingga

didapatkan estimasi parameternya adalah

yWIXXXβ )(ˆ1

1

TT

(10)

Sedangkan fungsi logaritma natural untuk mengestimasi adalah

Selanjutnya estimasi parameter ̂ didapatkan dengan optimalisasi persamaan (11)

(11)

Dengan 2

1)nln(

2

n)2ln(

2

n c

00 Xy e dan dde XyW 1

n

002 dd eeee

T

Pengujian hipotesis untuk signifikansi parameter pada Penelitian ini dinggunakan Wald

test adalah sebagai berikut (Anselin, 1988).

Hipotesis :

H0 : 0...., 0p T

kββ

H1 : 0p

Statistik uji :

Dengan 2ˆp : estimasi parameter ke-p

)ˆvar( p : varians estimasi parameter ke-p

Ho ditolak jika statistik uji Wald > 2

1,

Moran’s I

Koefisien Moran’s I digunakan untuk uji dependensi spasial atau autokorelasi antar

amatan atau lokasi. Hipotesis yang digunakan adalah :

Ho : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)

H1 : I 0 (ada autokorelasi antar lokasi)

12

ln2

1ln

2

n)ln( WI

-L XβyWIXβyWI )()(

2

1112

T

1

2 ln)ln(2

n)2ln(

2

nWI - XβyWIXβyWI )()(

2

1112

T

2

1ln

nln

2

n)2ln(

2

n))(ln( 1

00

WI

-

T

dd eeeeL

)nln(2

nln

2

n)2ln(

2

n))(ln( 00 dd eeeeL

T

2

1ln 1 WI -

100 lnln2

n)( WI -

T dd eeeecf

)ˆvar(

ˆ

p

2

p

Wald

Page 5: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

5

Statistik uji (Lee dan Wong, 2001):

)Ivar(

I-I o hitungZ

dimana

n

1i

2

i

n

1i

n

1j

jiij

)(

))((

I

xxS

xxxxw

o

Ms

n

1n

1IIE Ms

o

,

Dengan xi adalah data ke-i, xj data ke-j, x rata-rata data, var (I) varians Moran’s I, dan E(I)

expected value. Pengambilan keputusan Ho ditolak jika 2/ZZhitung . Nilai dari indeks I

adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io maka data memiliki autokorelasi positif, jika I < Io maka

data memiliki autokorelasi negatif.

Pola pengelompokan dan penyebaran antar lokasi dapat juga disajikan dengan Moran’s

Scatterplot yang menunjukkan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi)

dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggaan dengan lokasi yang

bersangkutan (Lee dan Wong, 2001). Scatterplot tersebut terdiri atas empat kuadran, yaitu

kuadran I, II, III, dan IV. Lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran I dan III cenderung

memiliki autokorelasi positif. Sedangkan lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran II dan IV

cenderung memiliki autokorelasi negatif. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kuadran

(Perobelli dan Haddad, 2003).

- Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi

oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.

- Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.

- Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.

- Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.

Matriks Pembobot 1. Kode biner

2. Row Standardization

n

1j

ijio ww

n

1j

jioi ww

1

1

)3)(2n)(1n(

]3n)nk[(n2

2

21

2

nSn

SSS

o

o

22n

1i1

4 ))/(()( xxxxkn

i ii

2

2

21

2

Ms)3)(2n)(1n(

]2n)3n3n[(n)Ivar(

o

o

Sn

SSS

n

1i

2

oiio2 )( wwS

n

ji

2

jiij1 )(2

1wwS

n

1i

n

1j

ijwSo

lainnyauntuk

berdekatanyangjdaniuntuk

w0

,1

ij

n

1j

ij

ij*

ij

w

ww

Page 6: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

6

3. Varians stabilization

Untuk mendapatkan model yang terbaik sejumlah model harus dievaluasi. Ada

beberapa kriteria dalam menentukan model terbaik. Dalam penelitian ini digunakan kriteria AIC

(Akaike’s Information Criterion). AIC dirumuskan sebagai berikut.

AIC = -2Lm +2 m

dimana : Lm = maksimum log-likelihood

m = jumlah parameter dalam model.

Gizi Buruk dan Faktor yang Mempengaruhi Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya

di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena

kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut

marasmus), dan kekurangan keduaduanya (Dinas Kesehatan Jatim, 2006).

Ada banyak faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya gizi buruk pada balita.

Menurut UNICEF (1988), ada 2 faktor penyebab utama, antara lain :

1. Penyebab Langsung : Asupan Makanan, Infeksi Penyakit

2. Penyebab Tidak Langsung : Pola Asuh Anak, Ketersediaan Pangan, Layanan

Gambar 2.1 Bagan Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita

3. Metodologi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari Dinas Kesehatan Kota

Surabaya tahun 2009. Unit observasi yang digunakan adalah kecamatan-kecamatan di

kota Surabaya yang terdiri dari 31 kecamatan. Observasi (amatan) adalah pada tingkat

kecamatan dan diasumsikan pengambilan sampel pada masing-masing variabel di setiap

kecamatan tersebut adalah sama. Variabel yang digunakan dalam penelitian meliputi variabel

dependen dan independen pada Tabel 1.

nji,

1ji,

ij

ij*

ij

w

ww

Page 7: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

7

Tabel 1. Variabel Penelitian

Kode Variabel Definisi Skala

Pengukuran

Variabel dependen :

y Kasus gizi buruk pada balita Persentase balita penderita gizi buruk

yang ada di setiap kecamatan Surabaya.

Rasio/

persentase

Variabel independen :

X1 Bayi yang lahir dengan berat

badan rendah (BBLR)

Persentase bayi yang lahir dengan berat

badan rendah.

Rasio/

persentase

X2 Bayi tidak mendapat ASI

ekslusif

Merupakan persentase bayi yang tidak

diberi ASI eksklusif

Rasio/

persentase

X3 Keluarga yang tidak

menggunakan garam beryodium

Persentase rumah tangga (RT) yang

tidak menggunakan garam beryodium

Rasio/

persentase

X4 Balita yang tidak mendapat

vitamin A

Persentase balita yang tidak mendapat

vitamin A

Rasio/

persentase

X5 Keluarga yang mempunyai akses

air bersih

Merupakan persentase rumah tangga

(RT) yang memiliki akses air bersih

meliputi sumur pompa (SPT), sumur

gali (SGL), air hujan (PAH)

Rasio/

persentase

X6 Tempat umum yang tidak sehat Merupakan persentase tempat- tempat

yang sanitasinya tidak memenuhi

syarat. Tempat umum meliputi : pasar,

sekolah, tempat wisata, hotel, RS,

ponpes

Rasio/

persentase

X7 Keluarga yang berperilaku hidup

bersih sehat (PHBS)

Persentase rumah tangga (RT) yang

berperilaku hidup bersih sehat.

Rasio/

persentase

X8 Keluarga miskin Persentase keluarga miskin yang ada di

setiap kecamatan di Surabaya.

Rasio/

persentase

X9 Rasio tenaga kesehatan dengan

jumlah balita

Merupakan jumlah tenaga kesehatan

(medis, bidan, perawat, ahli gizi,

sanitasi, farmasi, kesmas) di setiap

kecamatan dibagi dengan jumlah balita.

Dikali dengan 100

Rasio/

persentase

X10 Rasio jumlah posyandu dengan

jumlah balita

Merupakan jumlah posyandu yang ada

ditiap kecamatan dibagi dengan jumlah

balita.

Dikali dengan 100

Rasio/

persentase

Adapun langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk mengetahui pola penyebaran dan dependensi

pada masing- masing variabel serta korelasi untuk mengetahui pola hubungan variabel X dan

Y.

2. Menentukan pembobot spasial (W) yaitu Queen Contiguity.

3. Uji dependensi spasial atau korelasi dengan Moran’s I pada masing- masing variabel.

Hipotesis yang digunakan untuk uji dependensi spasial :

H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)

H1 : I ≠ 0 (ada autokorelasi antar lokasi)

Page 8: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

8

4. Melakukan pemodelan regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) yang meliputi

estimasi parameter, estimasi signifikansi model, uji asumsi residual (identik, independen,

dan berdistribusi normal.

5. Melakukan pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR) dengan tahapan sebagai

berikut.

a. Setelah matriks W terbentuk dengan elemen-elemennya (wij) bernilai 1 dan 0, dilakukan

koding pembobotan untuk mendapatkan matriks W yang standar dengan menset jumlah

elemen baris sama dengan 1. Caranya dengan membagi setiap elemen dengan jumlah

elemen barisnya (Row Standardization).

b. Melakukan estimasi parameter, pengujian signifikansi parameter dengan Wald, dan uji

asumsi residual regresi dari model spasial yang terbentuk.

c. Pemilihan model terbaik dengan kriteria AIC (Akaike’s Information Criterion).

d. Menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil yang diperoleh.

4. Hasil dan Pembahasan

Nilai Moran’s I

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi spasial dengan Moran’s I dengan tingkat

signifikansi 5%, diketahui bahwa terdapat autokorelasi spasial pada variabel persentase gizi

buruk balita (Y), RT yang tidak menggunakan garam beryodium (X3), tempat-tempat umum

yang tidak bersih (X6), RT yang berPHBS (X7), penduduk miskin (X8), dan rasio posyandu

dengan jumlah balitanya (X10). Tabel 4.1 Pengujian Dependensi Spasial Moran’s I

Variabel Moran’s I Z hitung

Kasus gizi buruk (Y) 0,2436 2,2941*

Berat badan bayi lahir rendah (X1) -0,2018 -1,628

Bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif (X2) 0,0265 0,465

RT yang tidak menggunakan garam

beryodium (X3)

0,2480 2,7205*

Balita yang tidak diberi vitamin A (X4) -0,0923 -0,485

RT yang mempunyai akses air bersih (X5) -0,1270 0,18676

Tempat-tempat umum yang tidak bersih (X6) 0,3315 3,3529 *

RT yang berPHBS (X7) 0,1589 1,98759*

Penduduk miskin (X8) 0,4930 4,30687*

Rasio tenaga kesehatan (X9) -0,1336 -0,0687

Rasio posyandu (X10) 0,2698 2,54278*

Ket : *) signifikan pada α=5% , 96,1025,0 Z

Sebagian besar variabel memiliki nilai Moran’s I lebih besar dari Io = -0,0333 yang

menunjukkan bahwa terdapat autokorelasi positif atau pola yang mengelompok dan memiliki

kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan. Variabel gizi buruk balita memiliki nilai

Moran’s I sebesar 0,2436 yang signifikan pada α=5% mempunyai autokorelasi positif. Variabel

lain yang memiliki pola mengelompok adalah RT yang tidak menggunakan garam beryodium

(X3), tempat-tempat umum yang tidak bersih (X6) RT yang berPHBS (X7), penduduk miskin

(X8), dan rasio posyandu dengan jumlah balitanya (X10). Hal ini sesuai dengan Moran’s

scatterplot yang menunjukkan hubungan antara nilai pengamatan pada suatu kecamatan dengan

nilai kecamatan lain. Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi

pengelompokan kecamatan pada beberapa variabel yang memiliki nilai Moran’s I signifikan.

Pada variabel gizi buruk balita, memiliki pola mengelompok. Hal ini sesuai dengan

Moran’s Scatterplot yang menunjukkan pola mengelompok pada kuadran I dan III. Sedangkan

pada variabel bayi yang lahir dengan berat badan rendah (BBLR) memiliki menyebar atau tidak

terjadi pengelompokan kecamatan. Jika dibandingkan dengan Io menunjukkan bahwa data

berpola menyebar karena nilai Moran’s I mendekati nol. Pola menyebar tersebut menunjukkan

Page 9: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

9

bahwa antar kecamatan memiliki karakteristik BBLR yang berbeda. Selain itu, variabel lain

yang memiliki pola menyebar adalah bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif (X2), balita yang

tidak mendapat vitamin A (X4), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9).

Model Regresi Pada langkah pemodelan, dimulai dengan menggunakan metode Ordinary Least Square

(OLS). Metode ini menghasilkan variabel yang signifikan pada taraf α = 5% adalah variabel RT

yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9).

Model regresi yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 54,9% yang berarti model dapat

menjelaskan keragaman gizi buruk balita sebesar 54,9% sedangkan sisanya sebesar 45,1%

dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 4.2 Estimasi Parameter Regresi OLS

Parameter Estimasi Std. Error T P-value

β0 -1,183 2,215 -0,53 0,599

β1 0,2184 0,1728 1,26 0,221

β2 -0,00162 0,01937 -0.08 0,934

β3 -0,3371 0,4787 -0,70 0,489

β4 0,03134 0,02461 1,27 0,217

β5 -0,02119 0,01002 -2,11* 0,047

β6 -0,003565 0,006122 -0,58 0,567

β7 0,002841 0,007545 0,38 0,710

β8 0,05591 0,033 1,69 0,106

β9 1,3491 0,4766 2,83* 0,010

β10 0,0204 0,3113 0,07 0,948

R2

54,9%

Ket : *) signifikan pada α=5%, 725,120;95,0 t

Selanjutnya pada pengujian asumsi residual didapatkan residual yang independen atau

tidak terdapat autokorelasi, mengikuti distribusi normal, dan identik atau tidak terdapat

heterodeskisitas. Asumsi tidak ada multikolinieritas sudah terpenuhi oleh model karena nilai VIF

kurang dari 10. Metode OLS memiliki kinerja kurang baik, karena Oleh karena itu perlu

dilakukan permodelan spasial. Tabel 4.3 Estimasi parameter SAR

Parameter Estimasi Std. Error Wald 0.4618769 0,1620926 8,11944

a

β0 -0,8989927 1,568569 0,328477

β1 0,162688 0,1210025 1,807683 c

β2 -0,008151792 0,01358288 0,360182

β3 -0,2392547 0,3321726 0,518792

β4 0,02575329 0,01723133 2,233715 c

β5 -0,02161235 0,007009189 9,507546 a

β6 -0,005022952 0,004274713 1,380715

β7 0,003551511 0,005290077 0,450715

β8 0,04591866 0,02368845 3,757553 b

β9 1,253979 0,3337644 14,11564 a

β10 -0,03143222 0,2184473 0,020704

Ket : a) signifikan pada α=5%,

b) signifikan pada α=10%,

c) signifikan pada α=20%,

841,32

1;05,0 ,

706,22

1;10,0 ,

642,12

1;20,0

Berdasarkan estimasi parameter Spatial Autoregressive Model (SAR), diketahui bahwa

terdapat dependensi lag pada variabel dependen yang ditunjukkan oleh parameter yang

Page 10: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

10

signifikan pada α = 5%. Sedangkan variabel-variabel independen yang signifikan berpengaruh

pada α = 5% adalah variabel RT yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan

dengan jumlah balita (X9). Variabel lainnya yaitu Persentase keluarga miskin (X8) signifikan

pada taraf α = 10%. Sedangkan variabel BBLR (X1) dan balita yang tidak mendapat vitamin A

(X4) signifikan pada taraf α = 20%.

Secara umum model SAR yang menggunakan taraf signifikan 5% dapat dinyatakan

sebagai berikut. Tabel 4.4 Persamaan Regresi Spatial Autoregressive Model

Model SAR R2

iiij

n

jij

iji XXywy

95

,1

13,102,0469,0

0,5526

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 0,5526. Hal ini berarti bahwa model

tersebut mampu menjelaskan variasi dari gizi buruk balita sebesar 55,26% dan sisanya 44,74%

dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Selanjutnya pada pengujian asumsi residual

didapatkan residual yang independen atau tidak terdapat autokorelasi, mengikuti distribusi

normal, pada uji Glejser didapatkan residual sudah identik atau tidak terdapat heterodeskisitas.

Pemilihan model terbaik antara model regresi OLS dan model SAR bertujuan untuk

mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus gizi buruk pada balita di Kota

Surabaya. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai R2 dan

nilai AIC (Akaike’s Information Criterion) dari kedua model tersebut. Berikut perbandingan

modelnya. Tabel 4.5 Perbandingan Nilai R

2 dan AIC Model

Model R2

AIC

Model OLS 0,3957 83,2002

Model SAR 0,5526 77,8996 Berdasarkan Tabel 4.4 terlihat bahwa model dengan nilai R

2 tertinggi dan nilai AIC

terkecil yaitu model SAR. Sehingga model SAR lebih baik digunakan untuk menganalisis data

kasus gizi buruk balita di Kota Surabaya dibandingkan dengan model regresi dengan

menggunakan metode OLS.

Faktor- faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita Setelah mendapat model yang terbaik, selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita.

Gambar 4.2 Persebaran Wilayah Berdasarkan Gizi Buruk, Air Bersih, dan Rasio Tenaga Kesehatan

Page 11: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

11

Gambar 4.2 terdiri dari sembilan 9 tabulasi, dimana tiga tabulasi diantaranya tidak ada

isinya (tabulasi 2,3 dan 6). Tabulasi 9 hanya berisi 1 wilayah yaitu Kecamatan Bulak yang

mempunyai gizi buruk tinggi, rasio tenaga kesehatan tinggi, dan RT yang memiliki akses air

bersih rendah. Tabulasi 8 berisi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Benowo dan Kecamatan

Lakarsantri. Tabulasi 4 dan 5 masing-masing memiliki 3 wilayah anggota. Tabulasi 4 memiliki

anggota antara lain Kecamatan Semampir, Gununganyar, dan Gayungan yang memiliki nilai

gizi buruk dan rasio tenaga kesehatan ketegori rendah, air bersih kategori sedang. Tabulasi 5

memiliki wilayah Kecamatan Genteng, Wonocolo, dan Tenggilis yang mempunyai nilai gizi

buruk, rasio tenaga kesehatan dan air bersih kategori menengah. Tabulasi 1 memiliki

karakteristik air bersih tinggi, rasio tenaga kesehatan dan gizi buruk rendah. Tabulasi 7 adalah

tabulasi yang memiliki anggota terbanyak. Kuadran ini memiliki karakteristik air bersih dan

rasio tenaga kesehatan kategori rendah. Kecamatan yang memiliki nilai gizi buruk tertinggi

adalah Kecamatan Tandes, yang terlihat berwarna merah menunjukkan gizi buruk sangat tinggi

5. Kesimpulan Pemodelan regresi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)

menghasilkan sebagian besar parameter tidak signifikan pengaruhnya terhadap gizi buruk balita

baik pada taraf α = 5% atau α = 10%. Hal ini menunjukkan bahwa metode OLS kurang

maksimal, karena banyak parameter yang tidak signifikan, dan nilai R2 yang relatif kecil.

Sedangkan hasil pemodelan SAR menunjukkan bahwa lag variabel dependen berperan penting

pada pemodelan gizi buruk balita di Surabaya. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi gizi buruk balita didapatkan bahwa dari 10 variabel bebas, hanya 2 variabel yang

signifikan pada α = 5% yaitu variabel RT yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga

kesehatan dengan jumlah balita (X9 ). Kemudian pemilihan model terbaik didapatkan model

SAR lebih baik dibandingkan model regresi dengan metode OLS dengan R2 sebesar 39,57% dan

AIC sebesar 83,2002, sedangkan nilai R2 SAR sebesar 55,26% dan AIC 77,8996. Sehingga

model SAR yang didapat adalah

Daftar Pustaka

Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics : Methods and Models, Kluwer Academic Publishers,

Netherlands.

Bekti, R.D. (2011), Spatial Durbin Model (SDM) Untik Mengidentifikasi Faktor-Faktor Yang

Berpengaruh Terhadap Kejadian Diare Di Kabupaten Tuban, Tesis, Jurusan Statistika

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Dinas Kesehatan Jatim. (2006), Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2006, Surabaya.

http://www.dinkesjatim.go.id/pdf , [diunduh pada tanggal 9 Februari 2011].

Hayati, M. (2009). Analisis Diskriminan pada Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk

Balita Di Jawa Timur, Tugas akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh

Nopember, Surabaya.

Kissling, W. D. dan Carl, G. (2007). “Spatial Autocorrelation and the Selection of Simultaneous

Autoregressive Models”, Global Ecology and Biogeography, Journal Compilation.

Kompas. (2009). Penderita Gizi Buruk di Surabaya Meningkat 72 Persen,

http://www.regional.kompas.com, [diunduh pada tanggal 2 maret 2011].

Lee Jay, Wong S W David.(2000). Statistical Analysis with Arcview GIS. John Willey & Sons,

INC: United Stated of America.

LeSage, J.P. (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics, http://www.

econ.utoledo.edu, [diunduh pada tanggal 5 Maret 2011].

iiij

n

jij

iji XXywy

95

,1

25,102,049,0

Page 12: PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA …

12

LeSage, J.P and Pace, R.K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics, http://www.

econ.utoledo.edu, [diunduh pada tanggal 5 Maret 2011].

Marice, D. (2006). Klasifikasi Status Gizi balita dengan Pendekatan Analisis Diskriminan

Bootstrap, Tugas akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember,

Surabaya.

Mugiyono. (2000), Analisis Statistik Status Kesehatan Balita Di Jawa Timur, Tugas akhir,

Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Pudjiadi, S. (2004). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, edisi keempat, Fakultas Kedokteran UI :

Jakarta, 2000.

Sudayasa, P. (2010), Faktor- Faktor Penyebab Kurang Gizi Pada Balita,

http://www.puskel.com/faktor-faktor-penyebab-kekurangan-gizi-pada-balita. [diunduh

pada tanggal 9 Februari 2011]

Winarno, D. (2009), Analisis Angka Kematian Bayi di Jawa Timur dengan Pendekatan Model

Regresi Spatial, Tesis, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember,

Surabaya.