jurnal skrip karya seni pakeliran wayang inovatif …
TRANSCRIPT
JURNAL SKRIP KARYA SENI
PAKELIRAN WAYANG INOVATIF
LAKON DALEM SIDAKARYA
OLEH
I KETUT MUADA
NIM :200903 004
PROGRAM STUDI S-I SENI PEDALANGAN
JURUSAN PEDALANGAN
Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Denpasar
2013
SKRIP KARYA SENI
PAKELIRAN DALEM SIDAKARYA
OLEH:
I KETUT MUADA
NIM: 2009 03004
PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN
JURUSAN SENI PEDALANGAN
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2013
SKRIP KARYA SENI
PAKELIRAN DALEM SIDAKARYA
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Seni (S1)
MENYETUJUI :
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
I Kadek Widnyana,SSP.,M.Si. I Ketut Sudiana,SSn.,M.Si.
NIP.196612271992031004 NIP. 197000329200031001
ii
Lembar Pengesahan Dewan Penguji, Jurusan, Dekan FSP ISI Denpasar
Skrip karya ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji,
Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, pada:
Hari, tanggal : Senin 27 Mei 2013
Ketua : I Ketut Garwa, S,Sn.,M.Sn. (............................)
Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP.,M,Hum. (............................)
Dosen penguji : Prof.Dr.I Wayan Dibia, SST.,MA. (…....….......…...) NIP. 194804121974031001
: Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si. (…….........…….) NIP. 196507121992032002
: I Kadek Widnyana, SSP.,M.Si. (.....…....... …….) NIP.196612271992031004
Disahkan pada tanggal: 30 Mei 2013
Mengesahkan : Mengetahui :
Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Seni Pedalangan
Institut Seni Indonesia Denpasar Ketua,
Dekan,
( I Ketut Garwa, S,Sn.,M.Sn ) ( Drs. I Wayan Mardana, M.Pd) NIP.19681231 199603 1007 NIP.1954123 198303 1016
iii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat yang telah di berikan. Hal ini patut di sadari, bahwa betapapun
usaha dan kerja keras yang di lakukan, tanpa’ belas kasihan ‘ dari Tuhan
Yang Maha Esa, mustahil skrip karya seni berjudul Dalem Sidakarya
ini dapat di selesaikan seperti yang harapkan dan diajukan sebagai salah
satu syarat untuk menempuh Ujian Sarjana di jurusan Pedalangan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penggarap mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada;
1. Bapak Dr, I Gede Arya Sugiartha, S.SKar, M.Hum. Rektor Institut
Seni Indonesia Denpasar
2. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.Pd. Ketua Jurusan Pedalangan
3. Bapak Kadek Widnyana, SSP, M.Si Pembimbing I yang telah
banyak memberikan masukan, dalam penulisan skrip karya seni.
4. Bapak I Ketut Sudiana,S.Sn, M.Si Pembimbing II yang telah
memberikan berbagai masukan pada proses garapan karya seni ini.
Tidak lupa pula penggarap ucapkan terimakasih kepada narasumber
Bapak I Nyoman Sukada, MA, I Gusti Ngurah Windia dan Keluarga
Besar Dalang Joblar yang telah banyak memberikan masukan dan
bantuan pada skrip karya seni ini. Dengan kerendahan hati penggarap
mengharapkan saran, kritik, dan masukan dari semua pihak demi
tercapainya keinginanan penggarap sesuai dengan yang diharapkan.
iv penggarap,
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Wayang kulit adalah kesenian yang sangat kompleks dan kaya yang memadukan
berbagai unsur seni. Di antara unsur-unsur seni yang terpadu dalam wayang kulit adalah:
seni rupa, seni suara, seni gerak, dan seni sastra. Menyajikan tuntunan yang sering kali
diimbangi dengan tontonan, pertunjukan wayang kulit diyakini sarat dengan pesan-pesan
etika moral yang dapat dijadikan tuntunan bagi masyarakat dan sumber hiburan yang
sarat dengan humor-humor segar. Oleh sebab itu, sangat tepat pertunjukan wayang kulit
dikatakan memiliki multi fungsi (Sedyawati dan Damono, 1983:57).
Di kalangan masyarakat Bali, pertunjukan wayang kulit merupakan bentuk kesenian
yang banyak digemari dan dipentaskan dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Tidak
jarang wayang kulit dipentaskan sebagai sarana penyucian atau pebersihan yang
ditandai dengan keterlibatannya pada setiap jenis upacara (Wicaksana, 2007:33).
Selain sebagai sarana upacara, wayang juga berfungsi sebagai wahana ilmu pengetahuan,
filsafat, pendidikan moral budi pekerti. Menurut sejarahnya wayang semula merupakan
sarana penghubung dengan roh leluhur atau memuja“ Hyang”. Upacara dilaksanakan
oleh seorang medium (shaman) atau dilaksanakan oleh kepala keluarga. Namun dalam
kurun waktu berikutnya pekerjaan ini dilakukan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus yang sekarang disebut dalang ( Mulyono, 1975: 59).
Masyarakat Bali yang masih memiliki kaitan yang kuat dengan kesenian tradisi,
memandang pertunjukan wayang kulit sebagai kesenian yang mempunyai arti dan makna
2
yang penting dalam kehidupan mereka. Apapun wujud kegunaannya di masyarakat,
wayang kulit diyakini memiliki arti dan makna: sebagai penggugah rasa indah dan
kesenangan, sebagai pemberi hiburan sehat, sebagai media komonikasi, sebagai
persembahan simbolis, sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat,
sebagai pengukuhan institusi sosial dan upacara agama, sebagai konstribusi terhadap
kelangsungan dan stabilitas kebudayaan, dan sebagai pencipta integritas seniman atau
masyarakat (Bandem dan Sedana, 1993:2).
Dewasa ini, wayang kulit semakin mendapat tantangan dari bentuk-bentuk perunjukan
yang menawarkan berbagai inovasi baru, wayang kulit harus mampu berpacu dengan
perubahan selera penonton. Menyadari hal ini, sebagai dalang wayang kulit, pencipta
merasa terdorong untuk melakukan inovasi terhadap sajian wayang kulit dengan
memasukan ide-ide baru kedalamnya. Untuk mewujudkan impian seperti ini, pencipta
mencoba untuk memadukan empat komponen; wayang kulit inovasi gaya Joblar, wayang
golek kreasi Bali, sendratari, dan topeng. Cerita yang digunakan untuk merajut keempat
komponen ini adalah kisah Brahmana Sangkya yang kemudian diberi gelar Dalem
Sidakarya oleh Dalem Waturenggong raja Bali. Untuk menawarkan gagasan baru
digunakan sebuah stage yang diputar (ratating stage) yang digerakan secara manual
(didorong oleh manusia). Karena unsur kelir sangat dominan dalam garapan ini, maka
pencipta memformulasikan garapan ini menjadi sebuah garapan pakeliran inovatif yang
diberinama Dalem Sidakarya.
Keinginan untuk memformulasikan karya pakeliran seperti yang dijelaskan diatas,
dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, sebelum menekuni seni pedalangan penggarap adalah penari topeng, penari
bondres, penari drama gong, dan penari arja.
3
Kedua, selama menekuni seni pedalangan penggarap senantiasa terdorong untuk
mencoba hal-hal baru kedalam seni pakeliran.
Ketiga, selama ini penggarap melihat adanya sikap keterbukaan masyarakat khususnya
pencinta seni pewayangan diBali yang semakin bisa menerima upaya-upaya inovatif
dalam seni pewayangan.
1.2 Ide Garapan
Garapan wayang kulit yang berjudul Dalem Sidakarya ini, merupakan cerminan dari
suatu ide yang bermula dari pengalaman penggarap sebagai dalang sekaligus belajar di
seni patopengan. Ide ini merupakan juga hasil perbincangan atau konsultasi dengan
narasumber Bapak I Nyoman Sukada dan I Gusti Ngurah Windia. Beliau berdua telah
memaparkan tentang Ketatwaning Dalem Sidhakarya dan isi lontar Bebali Dalem
Sidakarya pada penggarap. Adapun inti cerita sebagai berikut: Ketika Dalem
Waturenggong pada masa pemerintahannya (1460– 1550) di Gelgel, beliau mengadakan
upacara besar di Pura Besakih yang diberinama upacara “Eka Dasa Ludra dan Nakluk
Mrana”. Pada saat upacara persiapan berlangsung, datanglah Brahmana Sangkya dari
kelingga Jawa Timur. Kedatangan beliau hendak menyatukan paham Siwa dan Bhuda
dengan cara mencari saudaranya di Bali, yang kebetulan diakui saudaranya adalah
Dalem Waturenggong. Kedatang beliau tersebut sudah tentu dianggap gila oleh
pengayah atau abdi puri, Brahmana Sangkyapun diusir dari Pura Besakih. Kejadian
inilah menjadi awal penyebab kehancuran Karya Eka Dasa Ludra dan Nakluk
Mrana di Pura Besakih., Cerita ini berakhir pada saat Brahmana Sangkya diakui saudara
oleh Dalem Waturenggong dan diberi gelar Dalem Sidakarya.
Berdasarkan alur cerita Dalem Sidakarya diatas, maka tema yang terkandung
didalamnya adalah: tentang kepahlawanan seorang Brahmana. Amanat yang terkandung
4
didalam garapan ini adalah: Jika kita menilai seseorang yang sama sekali tidak kita kenal,
hendaknaya jangan kita memandang seseorang tersebut dengan melihat pisiknya saja.
Untuk membuat pertunjukan wayang kulit agar senantiasa tetap menarik bagi
masyarakat, penggarap setiap beraktifitas kesenian telah melakukan berbagai upaya
pembaharuan. Menggarap suatu kesenian wayang kulit menjadi lebih baru dan
berkualitas tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai inovasi dan
kreativitas telah dilakukan demi membuat penonton wayang kulit betah ditempat
duduknya selama pertunjukan berlangsung. Nilai-nilai luhur selalu digali dan diramu
dalam pertujukan wayang guna menambah kasanah karya seni di dalam dunia
pewayangan. Beranjak dari hal tersebut di atas dan terinspirasi oleh garapan-garapan
terdahulu, dengan beberapa kelebihan atau kekurangannya, penggarap ingin memadukan
teknik-teknik dan kebiasan-kebiasan yang berlatar pada pertunjukan wayang itu sendiri.
Selama ini sangat jarang pertunjukan wayang kulit menampilkan kisah perjalanan
Sidakarya pada hal hal itu sanagat penting untuk diketahui oleh masyarakat Bali terutama
masyarakat awam. Oeh sebab itu, penggarap berharap semoga karya ini bisa mengisi
kesenjangan tersebut di atas.
Garapan pakeliran inovasi ini, penggarap ingin mewujudkan melalui suatu karya
dengan rancangan sebagai berikut:
Pertama, Mentransformasikan cerita patopengan yang bersumber dari Babad
Bebali Sidakarya ke dalam sebuah garapan pakeliran wayang kulit tiga
demensi (wayang golek, wayang kulit, dan manusia sebagai teater).
Kedua, menggunakan alat elektronik sebagai serana penerang, untuk
memunculkan bayangan wayang di layar maupun pada adegan-adegan
5
dramatik lainnya di panggung. Dalam garapan ini penggarap menggunakan
ruang pentas 4 sisi yang berputar yang satu sisi memakai kelir putih, dua
betel atau tembus tanpa kelir, dan yang satu sisi lagi berisi langse ( kain
kelambu). Penggunaan proyektor untuk menimbulkan bayangan dilayar
(kelir) pada saat adegan permainan wayang kulit, bobok (linting) dipakai saat
adegan seram (grubug). Lampu yang berwarna warni seperti laser, kedip,
helilintar dan smoke merupakan lighting pendukung lampu utama.
Ketiga, memadukan komponen wayang kulit gaya Joblar, wayang golek
kreasi baru, sendratari, dan topeng. Pembuatan tokoh-tokoh cerita Babad
Dalem Sidakarya ini, penggarap membuat wayang baru dengan ukuran lebih
besar sesuai dengan bentuk, karakter, yang diperlukan dalam garapan ini. .
1.3 Tujuan Garapan
1.3.1 Tujuan Umum
Garapan ini secara umum bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan
program studi (S1) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Disamping itu juga
meningkatkan minat dalam mengembangkan ide-ide garapan pewayangan, mengasah
pikiran agar selalu berkreativitas berbuat yang terbaik dalam berkesenian, serta
menjawab pemikiran masyarakat umum tentang penting tidaknya digelar tarian topeng
Dalem Sidakarya saat upacara besar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus garapan babad Sidakarya ini, penggarap mempunyai tujuan dan
keinginan untuk meningkatkan kualitas pewayangan dengan:
6
1) Mengembangkan daya pikir serta meningkatkan kreativitas dalam berkarya seni
khususnya seni pewayangan. Disamping itu merangsang seniman dan penonton
yang ingin mengadakan pembaharuan pada seni wayang kulit.
2) Menambah khasanah sajian pertunjukan wayang Bali.
3) Mengembangkan atau memadukan unsur bebali menjadi bali-balihan, dengan cara
mentranspormasikan babad patopengan kedalam pakeliran wayang inovatif.
4) Mengaktualisasikan atau memahami secara mendalam tentang nilai-nilai makna,
dan fungsi yang terkandung dalam babad Sidakarya.
5) Memadukan budaya Jawa dan budaya Bali, silang gaya pewayangan.
6) Mencoba menafsirkan dan menuangkan alur dramatik lakon Sidakarya untuk
ditransformasikan kedalam 3 jenis betuk teater dengan konsep-konsep estetika seni
dramatari, seni pewayangan tradisi dan inovasi, serta estetika Wayang Golek Agung
ciptaan baru. Terkait dengan maksud tersebut di atas secara khusus garapan ini
menyajikan suatu metode teatrikal pewayangan yang benar-benar baru dengan
membuat panggung berputar sesuai dengan perubahan dan kebutuhan struktur
dramatik.
1.4 Manfaat Garapan
Manfaat yang di harapkan dari garapan ini adalah mengkontribusikan satu bentuk
tata teknik pagelaran wayang integratif dan multidemsional, sehingga dapat
meningkatkan dan memperkaya garapan hasil kreativitas seniman dalang dalam seni
7
pewayangan. Disamping hal tersebut, dapat juga menumbuhkan imajinasi pencinta
wayang untuk berkreativitas dan memahami bahwa sesungguhnya kesenian wayang
adalah kesenian yang adiluhung yang sangat kaya dengan makna tuntunan dan
tontonan yang bermutu sangat tinggi.
1.5 Ruang Lingkup Garapan
Ruang lingkup dari garapan pakeliran Dalem Sidakarya ini, secara umum dapat di
jelaskan seperti di bawah ini,
1. Cerita yang dipakai garapan ini bersumber pada lontar babad bebali Sidakarya,
yang menceritakan tentang perjalanan Brahmana Sangkya ke Bali, sampai
akhirnya penobatan beliau sebagai Dalem Sidakarya oleh raja Bali Dalem
Waturenggong.
2. Materi wayang kulit dengan bentuk, ukuran, dan motif gaya Joblar, Banyaknya
wayang kulit yang dipakai pada garapan ini sebanyak 55 buah. Materi wayang
golek kreasi baru, dengan ukuran, bentuk, dan motif baru sebanyak 3 buah,
diantaranya; tokoh Sangkya, tokoh Pangkur, dan tokoh Dendang. Sendratari
sebagai teater garapan ini, tokohnya terdiri dari 4 orang diantaranya; Dalem
Waturenggong, Patih Tangkas, dan 2 panakawan laki dan perempuan. Sebagai
penutup garapan dipentaskan tari topeng Sidakarya.
8
BAB II
Kajian Sumber
Kajian sumber merupakan kajian beberapa buku-buku maupun pustaka yang ada
relevansinya dengan garapan yang akan dibuat sebagai bahan acuan. Dalam upaya
menciptakan garapan pakeliran yang berjudul Dalem Sidakarya, penggarap memakai
sumber-sumber tertulis dan tidak tertulis. Semua acuan tersebut penggarap harapkan
dapat di pergunakan untuk memperkuat berbagai argumentasi dan mempermudah
mendapat informasi bagi para pembaca.
2.1 Sumber kepustakaan
1. Babad Bebali Sidakarya yang disalin dan diterjemahkan oleh I Nyoman Kantun,
dan I Ketut Yadya, sumber utama garapan ini yang cerita ringkasannya sebagai
berikut: Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550) di Gelgel
Pura, ketika itu beliau mengadakan upacara besar “Eka Dasa Ludra Dan Nangkluk
Mrana” di Besakih. Saat Upacara berlangsung, datanglah Brahmana Sangkya dari
keling tanah Jawa, beliau datang ke Bali mencari saudaranya dan yang di akui
sebagai saudaranya adalah Dalem Waturenggong sendiri. Sudah tentu Brahmana
ini di anggap gila oleh rakyat/pengayah dan beliau diusir secara tidak manusiawi.
Brahmana meninggalkan Besakih sambil mengutuk agar rakyat diserang penyakit,
gering mrana merajalela menyerang tumbuhan, binatang yang menyebabkan
upacara terhenti total. Atas petunjuk Sanghyang Widhi, Dalem Waturenggong
beserta rakyat mencari Brahmana Sangkya kearah Naritti desa tepatnya di Bandana
9
negara. Dalem minta maaf dan minta belas kasihan pada Brahmana Sangkya agar
kesempurnaan Bali dapat di kembalikan dan agar karya bisa terlaksana, tentu saja
dengan janji Dalem harus menerima Brahmana sebagai saudara dan bergelar
Dalem Sidakarya. Brahmana Sangkya juga meminta saksi pituhu yang
membenarkan segala ucapannya, selanjutnya Dalem Sidakarya mengaku sebagai
“Dewa mrana” (tikus, walangsangit dan lain-lain) Dalem Sidakarya juga
menitahkan, barang siapa mengadakan upacara di Bali harus minta Jatu karya yang
berupa catur wija dan panca taru juga tidak di ijinkan memakai hama/ mrana
sebagai lauk pauk upacara. Buku atau lontar Babad Bebali Sidakarya merupakan
sumber dasar cerita garapan wayang Inovatif ini
2. Filsafat Wayang Dalam Panca Yadnya, oleh I Wayan Watra, (2006). Buku ini
membahas tentang hubungan atau realisasi panca yadnya dalam pementasan cerita
wayang kulit Bali yang berkaitan dengan wali dan bebali. Buku ini juga mengulas
tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit Bali, yang
dapat di pergunakan sebagai cermin diri beretika yang berlandaskan kepada tri
kaya parisudha dalam pergaulan di masyarakat. Buku filsafat ini sangat menunjang
pemahaman penggarap di dalam pelaksanan yadnya dalam kontek beretika saat
melakukan ritual keagamaan.
3. Estetika Sebuah Pengantar, oleh AA. Made Djelantik, (2004). Buku ini secara
umum mengungkapkan keindahan yang meliputi keidahan alam dan keindahan
alam buatan manusia. Dengan demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah
satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan (2004:13). Ada tiga aspek
dasar keindahan yang menjadi unsur-unsur estetika yang terkandung kedalam
benda dan peristiwa kesenian yaitu:
10
1. Wujud atau rupa (appearance) yang terdiri dari bentuk (form) atau unsur
yang mendasar dan susunan atau struktur (strcture).
2. Bobot yang terdiri dari tiga aspek yaitu: suasana(mood), gagasan (ide),
ibarat atau pesan( Massage).
3. Penampilan yang mengandung tiga unsur yaitu: bakat (talent), ketrampilan
(skil), sarana atau media. Buku ini banyak memberikan tentang
kehindahan atau unsur-unsur estetika pada garapan ini.
4. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung Dalam Seni Pertunjukan Wayang
Kulit Bali, oleh Ketut Rota, (1990). Buku ini mengulas tentang kebahasaan
terutama aspek-aspek penggunaan bahasa sebagai ragam tutur. Dalam
pertunjukan wayang kulit Bali, tutur atau retorika sangat diperlukan dalam
dialog-dialog. Salah satu ragam tutur yang banyak digunakan adalah ragam tutur
alternasi, alternasi yang dimaksud adalah penggunaan gaya bahasa berselang
seling seperti tutur bahasa kawi dengan tutur bahasa Bali, tutur berbentuk
tembang dengan tutur ganjaran (prosa), tutur berirama panjang, tinggi dan keras,
dengan tutur berirama pendek, rendah dan lemah. Disamping itu ragam tutur
alternasi juga menggunakan ragam tutur yang lain seperti: ragam tutur epentesis
yaitu penggunaan gaya bahasa dengan menyelipkan bahasa lain kedalam dialog,
ragam tutur repetisi adalah gaya bahasa yang berulangan bunyi, suku kata, kata
atau kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai dinginkan.
5. Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, oleh Sri Mulyono, (1983). Buku ini
membahas tentang simbol-simbol dan aspek-aspek mistikisme yang terkandung
dalam kesenian wayang. Pertunjukan wayang semalam suntuk adalah simbulisme
11
dari suatu perjalanan kehidupan manusia yang disimbulkan melalui bayi yang
baru lahir hingga menuju ajalnya. Pertunjukan wayang juga mempunyai
hubungan yang sangat erat antara alam mikro (manusia) dan makro (alam
semesta). Buku ini akan menjadi sebuah teori untuk mengungkap simbul-simbul
yang terdapat dalam garapan Sidakarya ini.
6. Buku Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya Dalam Masyarakat Bali, oleh
Dewa Ketut Wicaksana, (2007). Buku ini mengulas tentang genre wayang kulit
Bali khususnya Wayang Sapuh Leger, juga membahas tentang pementasan
wayang Sapuh Leger sebagai upacara ritual masyarakat Bali, sarana untuk
menyucikan atau membersihkan anak yang lahir pada wuku wayang. Pertunjukan
wayang ini dianggap sakral karena mengandung makna tentang hakekat hidup
manusia, hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan
manusia dengan manusia, yang berkaitan dengan upacara manusia yadnya yaitu
ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia. Buku ini memberi
manfaat ketika manusia melakukan sebuah ruatan dengan media seni dalam
melakukan ritual.
7. Buku Imba Penopengan Sidakarya, oleh Nyoman Catra, (2007). Buku ini
mengulas tentang pengertian topeng Sidakarya yang identik sebagai tarian sakral
untuk upacara di pura dan di puri bagi agama hindu. Dilihat dari tinjauan historis
topeng sidakarya berkaitan erat dengan tradisi Bali dan Jawa sejak abad ke IX,
makna dan filsafatnya pun dipakai pedoman tuntunan bagi kehidupan kita semua.
Konsep utpeti stiti dan praline juga fungsi dan peranan topeng sidakarya
sangatlah penting didalam upacara ritual Bali. Buku ini merupakan buku
perbandingan lontar Bebali Sidakarya, dengan demikian buku ini sekaligus
sebagai salah satu penunjang literatur pokok garapan ini.
12
Selaian dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, penggarap juga
mendapatkan beberapa inpormasi pendapat dari beberapa inporman. Dua tokoh
informan yang penggarap wawancarai untuk mendapatkan berbagai informasi tentang
garapan ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat garapan serta mengali
pikiran dan masukan-masukan yang terkait dengan garapan ini. Salah satu cara untuk
memperoleh masukan tersebut, penggarap mengadakan tanya jawab secara langsung
atau wawancara dengan seorang tokoh yang memahami babad bebali Sidakarya.
1. Pada hari minggu tanggal 4 Nopember 2012, dengan Bapak I Nyoman Sukada,
Alamat rumahnya di Banjar Denkayu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Beliau merupakan penulis segala prasasti dengan tembaga atau daun lontar,
beliau juga merupakan ketua Parisada Kabupaten Badung. Bapak I Nyoman
Sukada dulu merupakan salah satu dosen Agama Hindu di Universitas Hindu
Indonesia (UNHI) Denpasar. Dalam wawancara ini beliau memaparkan tentang
isi lontar bebali yang di lihat dari makna, fungsi, dan tatwa Sidakarya. Jika
diperhatikan simbol yang terdapat dalam Sidakarya, ini diartikan” Saya bersama-
Nya atau penyatuan bersama”dalam Ajaran Hindu di Bali, Simbol mengandung
makna kesucian (mahasuci). Melihat bentuk atau wujud topeng Sidakarya, Beliau
mempunyai pemikiran pokok tentang Sidakarya diantaranya:
- Warna putih melambangkan kesucian, kesuburan, dan kesejukan.
- Mata Sipit berlobang (setengah lingkaran/ segi tiga tumpul) adalah lambang
konsentrasi, setengah lingkaran adalah lambang Ardhacandra, segi tiga lambang
Nada.
13
- Cundamanik adalah lambang kebijaksanaan.
- Gigi Tongos lambang kebengisan, keperkasaan (aeng).
- Wajah setengah manusia dan setengah demonic, melambangkan angker dan
menakutkan.
- Rambut panjang sebahu, lambang agombak/ pandeta Budha.
- Kudung Rerajahaan, lambang Wijaksara, aksara-aksara suci.
- Membawa bokoran yang berisi canang sari, dupa, sekarura, uang kepeng
lambang persembahan.
2. I Gusti Ngurah Windia seorang tokoh seniman topeng yang terkenal oleh
masyarakat Bali dengan sebutan Topeng Tugek Carangsari. Tanggal 2 mei 2013
penggarap menemui dirumahnaya, beliau sependapat dengan narasuber pertama.
Beliaupun menambahkan tentang isi lontar ketattwaning Sidakarya, kita
perhatikan bentuk dan wujud topeng Sidakarya, maka topeng Dalem Sidakarya
melambangkan Budha Tantrayana. Aliran ini berkembang di Bali pada abad ke
13 dari aliran Bhirawa Bhisma Sakti yang lebih menonjolkan pemujaan Sakti
(dewi). Ketika itu Kertanegara Raja Singosari menyerang Bali, Sidakarya saat itu
diidentikan dengan Pandeta Budha. Bentuk ini dihubungkan dengan babad bebali
Sidakaraya, yang merupakan sumber atau dasar dari garapan ini, maka dapat di
pastikan isinya adalah pergolakan antara Dalem Waturenggong dengan Brahmana
Sangkya atau keling. Konsep yang terkandung didalamnya adalah Rwa Bhineda
yang berakhir dengan penyatuan (syncretisme). Sesuai yang disebutkan dalam
kekawin Sutasoma yang berbunyi “Rwaneka Dhatu Winuwus Wara Budha
Wiswa, bhinneka rakwa ri kapan kena parwa nosen” Pandeta Siwa dan Budha
bersama-sama muput karya dengan tujuan yang satu kesuksesan karya atau
Sidakarya.
14
BAB III
PROSES KREATIVITAS
Sesuatu hal yang akan di buat sudah tentu mengalami suatu proses untuk
menyelesaikan suatu kegiatan. Dalam garapan pakeliran inovasi yang berjudul Dalem
Sidakarya ini pasti mengalami beberapa proses dalam menyelesaikan garapan, sampai
garapan siap untuk di pentaskan. Persiapan garapan di sesuaikan dengan jadwal yang
telah disepakati antara pendukung karawitan dan pemegang wayang. Tempat latihan
juga disepakati tanpa mengurangi aktivitas para pendukung dalam garapan ini. Dalam
Buku Mencipta Lewat Tari oleh Y.Sumandiyo Hadi, 1990 yang terjemahan dari
Creating Through Dance oleh Alma M. Hawkins, 1994 dijelaskan bahwa dalam
menciptakan suatu karya harus memiliki tiga tahapan penting yaitu; penjajagan
(eksplorasi), percobaan (improvisasi), dan tahap pembentukan (komposisi).
3.1 Proses Penjajagan (Eksplorasi)
Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dalam menyelesaikan suatu
garapan. Dalam tahapan ini dilakukan pencarian ide-ide yang sesuai dengan yang
akan digarap. Langkah awal tahap ini adalah mencari sumber cerita yang akan di
pergunakan dalam membuat suatu garapan. Banyak sekali cerita-cerita yang menarik
dituangkan kedalam garapan seperti: cerita Tantri, cerita Mahabharata, cerita
Ramayana, cerita Sutasoma dan cerita-cerita lainnya. Namun dengan berbagai
pertimbangan akhirnya penggarap menggunakan babad patopengan yang akan
dituangkan dalam garapan pakeliran inovatif dengan judul Dalem Sidakarya. Setelah
15
mendapat cerita yang pasti didalam hati untuk digarap, barulah penggarap
melanjutkan dengan mencari bentuk dan wujud garapan yang diinginkan. Akhirnya
di putuskan penuangannya dalam bentuk pakeliran inovatif yang mana perpaduan
wayang kulit dan wayang golek juga unsur teater didukung dengan rolling stage
(stage yang berputar sesuai tempat yang dinginkan setiap adegan). Setelah bentuk
didapatkan, maka selanjutnya dilakukan persiapan sarana yang diperlukan dalam
garapan ini seperti: kelir( rolling stage), wayang golek dan wayang kulit, iringan
atau tabuh, penari dan sebagainya.
Dalam langkah awal pembuatan garapan ini, tidak lupa penggarap melakukan
persembahyangan bersama, untuk mohon kepada Ide Hyang Widhi Wasa agar
didalam proses garapan bisa berjalan dengan lancar sesuai yang diinginkan
penggarap dan tanpa mengalami suatu hambatan apapun.
3.2 Proses Penuangan (Improvisasi)
Tahap yang kedua adalah tahap improvisasi, merupakan tahap percobaan atau
penuangan konsep-konsep yang telah ditentukan dan dipersiapkan sebelumnya yang
akan dituangkan pada saat latihan. Kepada semua pendukung, penggarap berikan
susunan adegan untuk mempermudah dan mempercepat proses latihan. Pada tanggal
22 Maret 2013 penggarap menetapkan hari untuk nuasen, sedangkan jadwal latihan
disepakati satu minggu dua kali. Kepada penggarap tabuh/iringan wayang,
penggarap memberikan kebebasan dalam menciptakan gending-gending yang akan
dipergunakan dalam mengiringi garapan yang tentu saja disesuaikan dengan
kebutuhan dan suasana garapan. Didalam proses latihan penggarap akan
memisahkan antara penabuh dengan penggerak wayang agar mempercepat proses
latihan. Adegan peradegan akan penggarap susun sedemikian rupa sehingga mampu
16
nantinya mendapatkan suatu susunan yang sesuai dengan garapan. Segala sesuatu
yang penggarap buat mudah-mudahan selalu mendapat pengawasan dari
pembimbing untuk memberikan koreksi dan masukan serta memperbaiki apabila ada
hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan dalam garapan.
3.3 Proses pembentukan (komposisi)
Tahapan ini merupakan penggabungan dari kedua tahapan di atas, yang
merupakan tahap akhir dari pembuatan garapan. Perbaikan-perbaikan terus
dilakukan agar mendapatkan hasil yang diinginkan dan sesuai dengan konsep
garapan, mengadakan latihan sesuai dengan jadwal yang ditentukan secara teratur
guna mempercepat terwujudnya garapan ini. Perbaikan atau revisi garapan ini
dilakukan untuk dapat mengoreksi bagian yang janggal atau mengganti yang salah
dengan yang lebih baik untuk meningkatkan nilai harmonis dari garapan. Pada tahap
ini banyak perbaikan-perbaikan yang dilakukan penggarap, yang tidak sesuai dengan
garapan sehingga perlu diubah sedemikian rupa, seperti adegan Brahmana Sangkya
mengutuk upacara yang semula penggarap dan pendukung memakai tapel Jawa.
Dari hasil petimbangan Bapak dosen pembimbing berdua itu tidak perlu dikarenakan
tidak nyambung dengan maksud konsep garapan.
Tahap terhahir atau finishing merupakan penggabungan tahapan-tahapan yang
ada diatas dari elemen-elemen seluruh bentuk garapan yang di lakukan melalui
penggabungan dengan aparatus wayang yang telah disiapkan dan diharapkan sudah
terwujud, sehingga seluruh pemain atau pendukung dapat memahami penguasannya
masing-masing melalui proses latihan dan internalisasi karya secara berulang-ulang
sehingga siap disajikan sebagai karya seni yang layak.
17
Tahap finishing ini juga belum dikatakan sempurna, karena setelah dilakukan
latihan-latihan gabungan dan di lihat hasil akhirnya masih banyak peningkatan yang
harus dilakukan. Tahapan ini banyak mendapat masukan, kritikan dan saran dari
pembimbing, dosen-dosen pedalangan dan Prof I Wayan Dibya. Masukan tersebut
diantaranya tentang bentuk tokoh Sangkya, penekanan cerita, dan isi cerita Dalem
Sidakarya. Dinamika garapan perlu di perhatikan terutama tentang keras lirihnya
gambelan pada saat terjadinya dialog. Gerakan wayang ketika dikelir perlu ditata
agar serasi dengan iringannya, dengan hal tersebut penggarap perlu kembali
mengadakan tahap penuangan dan tahap revisi dengan tujuan supaya mendapatkan
suatu hasil karya yang maksimal. Di antaranya penggarap selalu meningkatkan
volume latihan sehingga gerak, vokal, dan iringan sesuai yang diinginkan. Hal ini
dimaksudkan agar karya seni yang berjudul Dalem Sidakarya ini layak untuk
dipentaskan dan berakademik.
Demikianlah tahapan-tahapan yang penggarap lakukan didalam pembuatan
garapan dengan bentuk pakeliran inovasi. Setelah segala semuanya berjalan lancar,
maka tinggal melakukan pemantapan-pemantapan sambil menunggu waktu atau hari
yang ditentukan untuk siap menampilkan garapan yang telah dibuat.
JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN
Karya seni pewayangan dengan lakon “ Dalem Sidakarya” ini direncanakan
melalui proses yang intensif dan akan dilaksanakan secara bertahap, yaitu :
Tahap I : ( Pertama )
Penggarap memerlukan seorang penata musik untuk mengiringi karya
pekeliran yang akan disajikan. Hubungan wayang dan karawitan merupakan
partner yang tidak bisa dipisahkan , hal ini merupakan langkah pertama yang
18
disebut nuasen. Pada bulan Januhari dengan pengajuan proposal, nuasen
dilakukan pada tanggal 22 Maret 2013 yang bertempat di Yayasan Dharma Jati
Desa Penatih Denpasar.
Tahap II : ( Kedua)
Pada awal bulan April mulai penciptaan tabuh yang dilakukan oleh seorang
kompuser yang merupakan alumnus dari Institut Seni Indonesia Denpasar.
Tahap III : ( Tiga )
Pada tanggal 6 April 2013 penggarap memantapkan materi pakeliran dan
memantapkan gerak wayang yang engan pendukung dilakukan secara terpisah.
Tahap IV : ( Empat )
Pada akhir bulan April penggarap mengadakan latihan gabungan antara
dalang, penggerak, pemain teater dengan musik iringan serta mengundang
dosen pembingbing untuk memberikan evaluasi tentang bentuk garapan.
Tahap V : ( Lima )
Mulai tanggal 1 Mei 2013 penggarap melakukan pelatihan secara insentif,
selanjutnya mengadakan gladi kotor dan geladi bersih tanggal 13 Mei 2013.
Evaluasi garapan, latihan perbaikan, dengan mendatangkan pengamat masih
tetap penggarap lakukan sambil menunggu tanggal pementasannya. Kemudian
iberikan waktu pengendapan hingga Tanggal 22 Mei 2013 puncaknya.
19
Adapun jadwal pelaksanaan dapat dilihat dalam table berikut.
NO Kegiatan 5 bulan tahun 2013
Janu Febru Maret April Mei
1 Tahap ekplorasi
Pencarian ide, menafsirkan
tema, membangun struktur
dramatik sesuai tema
2 Tahap improviasai
Percobaan menggali gerak-
gerak wayang sesuai adegan,
perubahan adegan seperti
mengoreksi atau mengganti
(revisi) tetap akan terjadi
pada tahap ini.
3 Tahap komposisi
Menggabungkan konsep-
konsep pakeliran dan
karawitan dalam tahap
percobaan. Tahap finishing
merupakan penggabungan
bentuk seluruh elemen
pakeliran dalam
keseimbangan ide, bentuk
dan penampilan sehingga
sesuai dengan tujuan yang di
inginkan.
20
BAB IV
WUJUD GARAPAN
Garapan pakeliran Dalem Sidakarya ini merupakan sebuah garapan pakeliran
inovatif yang berpijak dari tradisi. Penggarap mencoba mentranspormasi lakon yang
bersumber dari Babad Bebali Sidakarya kedalam pakeliran wayang kulit inovatif.
Dengan mengembangkan unsur-unsur yang ada dalam seni pewayangan, penggunaan
manusia sebagai pemeran beberapa tokoh dalam adegan teater merupakan bagian
bentuk garapan ini. Dalam masalah penyinaran (lighting) yang diproyeksikan
menggunakan teknik pemakaian scenery, tanpa menghilangkan esensi seni yang
terdapat pada seni wayang itu sendiri.
Bentuk garapan Dalem Sidakarya ini akan diuraikan lewat komponen-komponen
estetika yang membangun arapan ini, diantaranya meliputi: diskripsi, pembabakan
lakon, pakem, iringan,kelir, wayang, tata cahaya, pendukung, dan tata penyaji.
4.1 Diskripsi Lakon
Diceritakan keberadaan Brahmana Sangkya ditengah hutan pesisi timur pulau
Jawa, telah lama mencari keberadaan Dalem Waturenggong. Rasa lapar, haus, dan rasa
lesu membuat Brahmana suci beristirahat di bawah pohon yang rindang ditengah hutan.
Di dalam peristirahatannya atau dalam mimpinya, Brahmana sangkya mendapatkan
isyarat tentang keberadaan Dalem Waturenggong sebagai Raja Gelgel di Bali oleh
Dewa Siwa. Mendapatkan wahyu dari Dewata Hyang Agung tersebut akhirnya rasa
lapar, haus dan rasa lesu menjadi hilang seketika. Dengan penuh keyakinan Brahmana
Sangkya bergegas menyebranggi lautan pulau Jawa menuju pulau Bali.
21
Tidak diceritakan perjalanan Brahmana Sangkya di tegah laut,diceritakan
sekarang dikerajaan Gelgel pulau Bali sedang berlangsung persiapan upacara besar
Eka Dasa Ludra dan Nangkluk Mrana di Pura besakih. Rakyat Bali tumpah ruah
menuju Pura Besakih, dengan tujuan dan maksudnya berbeda-beda: ada yang
bermaksud sembahyang, ada yang ngayah (bekerja suka rela), dan ada yang
mengaturkan harta bendanya. Ketika persiapan upacara besar tersebut berlangsung,
tiba-tiba datanglah seorang Brahmana berpenampilan sangat kotor. Melihat penampilan
Brahmana seperti itu semua rakyat yang melihat membujuk Brahmana tersebut supaya
menjauhi tempat upacara. Namun apapun bujuk rayu masyarakat Bali pada Brahmana
tersebut tidak melunakaan hatinya meninggalkan tempat upacara. Kegaduhanpun
terjadi pada saat Brahmana Sangkya menyebut dirinya adalah saudara Dalem
Waturenggong dari tanah Jawa. Karena rakyat Bali tidak percaya dengan ucapan
Brahmana Sangkya, hinaan, cacian dan perlakuan kasarpun diterima Brahmana
tersebut. Para Patih, Bendesa dan Tokoh Adat langsung ikut ketempat kejadian,
Namun usaha para Patih, Bendesa dan Tokoh Adat sama sekali tidak membuahkan
hasil untuk membujuk Brahmana meninggalkan tempat persiapan upacara. Dengan rasa
kesal masyarakat Bali yang ada disana menyerat Brahmana menjauhi tempat persiapan
upacara, Brahmana Sangkya kesakitan, tubuhnya berdarah, badannya penuh kotoran
binatang dan manusia. Perlakuan rakyat Bali inilah menyebabkan Brahmana marah,
beliau mengucapkan kutukan pada masyarakat Bali”wahai masyarakat Bali, semestinya
kau tidak boleh berbuat seperti itu ketika melakukan ritual, berkata-kata kasar,
perbuatan yang tak manusiawi, dan punya pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran
agama. Sebab itu aku mengutuk upacara ini hasil karmamu, upacara yang kau
lakukan tidak akan berhasil malahan kesengsaraan yang akan kamu dapatkan
terkutuklah kau semua”.
22
Sepeninggal Brahmana dari Besakih, sedikit demi sedikit nampak ada perubahan
situasi upacara. Tumbuh-tumbuhan banyak yang mati, sakit yang sangat aneh muncul
pada masyarakat, sampai orang meninggal yang tidak wajar sering terjadi dimasyarakat
sekitar Besakih. Kini rakyat Bali tidak bisa melanjutkan persiapan upacara Eka Dasa
Ludra dan Nakluk Merana, Dalam situasi tersebut Patih dan Bendesa segera
menghadap Dalem Waturenggong. Dengan memohon pada Tuhan Hyang Maha Esa
sembahyang di Pura Besakih, Raja Gelgel Dalem Waturenggong akhirnya
mendapatkan Wahyu (Petunjuk Dewa) penyebab dari kesengsaraan ini, itupun lewat.
Seketika itu juga Dalem Waturenggong memerintahkan para Patih, Bendesa, dan para
Tokoh Adat untuk memerintahkan rakyat Gelgel mencari Brahmana Sangkaya yang
keberadaannya sudah diketahui yaitu di Bandana negara.
Di bawah pimpinanan Dalem Waturenggong, utusan rakyat Gelgel bergerak ke
arah selatan pulau Bali tepatnya menuju arah Bandana negara. Tidak diceritakan dalam
perjalanan Dalem Waturenggong dan pengiringnya melewati beberapa desa, dan
akhirnya Dalem Waturenggong dan pengiringnya bertemu Brahmana Sangkya yang
sedang bersemedi. Semua pengiring Dalem Waturenggong membenarkan bahwa
brahmana itulah yang datang ke Besakih, dengan serempak pasukan duduk menghadap
Sang Brahmana. Dalem Waturenggong dan Patih tangkas segera minta maaf pada
Brahmana atas perlakuan rakyatnya, serta beliau memohon Brahmana Sangkya datang
kembali ke Pura Besakih dan sekaligus mengembalikan suasana upacara seperti dahulu.
Mendengar permohonan Dalem Waturenggong seperti itu, Brahmana langsung
menjawab dengan bijaksana sekaligus mengembaliakan situasi upacara seperti dahulu.
Dalem Waturenggongpun mengakui Brahmana sebagai saudaranya, dengan demikian
Ajaran Siwa dan Buda menjadi bersatu di tanah Bali. Di samping beliau mengakui
23
Brahmana sebagai saudara, Dalem Waturenggong juga memberikan beberapa anugrah
(Bisama) diantaranya:
1) Mengakui Brahman Sangkya sebagai Saudara Dalem Waturenggong.
2) Brahmana Sangkya merupakan Dewa Mrana. Dalam mengusir wabah atau mrana
rakyat Bali harus ingat 2 tempat suci yaitu; Pura Masceti dan Pura Sakenan.
3) Tempat berdiri Dalem dan Brahmana sekarang, akan dibangun Pura pemutaran
Sidakarya. Barang siapa yang melakukan upacara di Bali hendaknaya minta jatu
upacara, air suci (tirta), dan menarikan topeng Dalem Sidakarya.
Dikarenakan beliau tidak berkenan kembali ke Pura Besakih ikut Dalem
Waturenggong, Brahmana akhirnya memberikan anugrah agar Dalem membuat topeng
Brahman Sangkya sebagai simbul Buda dalam upacara Eka dasa Ludra dan Nakluk
Mrana di Besakih. Simbul Buda tersebut akan diwariskan nantinya pada generasi Bali
berikutnya yang kini disebut dengan Tapel Dalem Sidakarya.
4.2 Pembabakan Lakon
Adegan Berbagai bentuk tari kayonan dan purwa kanda
Awal adegan ini merupakan pemungkah dari pementasan karya ini.
Babak I
*Petangkilan Brahmana Sangkya, Pangkur dan Dendang
-Menceritakan dihutan pesisir Banyuwanggi akan menyebranggi lautan menuju pulau
Bali. Media yang dipakai wayang golek dan kelir tembus (tanpa kelir putih)
Babak II
*Tari kayonan ke II dan pangalangkara
24
*Patih Tangkas, bendesa menange, bendesa Rendang dan rakyat
*2 panitia karya I Wayan Gelebug dan I Ketut kereceb
*Bondres rakayat diantaranya; Jro Mangku, beberapa perempuan, leleki membawa
babi guling dan lelaki membawa buahan hasil kebun
*Rakyat yang melapor pada panitia karya.
*Petangkilan Patih Tangkas, Brahmana Sangkya dan Gelebug.
*Rakyat (pecalang) Brahmana Sangkya dipaksa meninggalkan Besakih.
-Adegan di babak II ini semua kejadiannya di Besakih, dari persiapan upacara sampai
pengusiran Brahmana Sangkya. Media yang dipakai adalah wayang kulit dengan
bayangannya di kelir putih.
Babak III
*Brahmana Sangkya mengutuk upacara Besakih
*2 bondres laki dan perempuan telah merasakan dampak dari kutukan (grubug)
*Petangkilan Dalem Waturenggong dan Patih Tangkas dalam mencari jalan keluar
permasalahan situasi Besakih.
*Hyang Putrajaya (Dewa penguasa pura Besakih) memberikan anugrahnya pada
Dalem Waturenggong dan rakyat Bali.
*Petangkilan Brahmana Sangkya, Dalem Waturenggong, Patih Tangkas, dan rakyat
Bali dalam rangka penjemputan (pemendakan) seorang Brahmana Sangkya.
*Tari Topeng Sidakarya.
25
-Pada adegan babak III ini, menceritakan situasi Pura Besakih akibat kutukan
Brahmana Sangkya sampai beliu dimohon kembali ke Pura Besakih dan pemberian
gelar oleh Dalem Waturenggong. Media yang dipakai adalah kelir tembus dan
manusia sebagai teater, tapi saat adegan Hyang Putrajaya itu memakai wayang kulit
dan tampak bayangannya di kelir putih.
4.2.1 Pakem
Untuk membedakan dalam melihat naskah ini, penggarap mengunakan berbagai
ragam font yang mengindikasikan perbedaan bahasa Bali, Kawi, dan nyanyian (tandak,
pupuh, atau kekawin). Maka di bawah ini akan di sajikan berbagai ragam font untuk
mengetahui perbedaan ragam tersebut, diantaranya:
1) Font miring mengindikasikan bahasa Kawi.
2) Font miring tebal mengindikasikan sebuah nyanyian,
3) Font biasa mengindikasikan bahasa Bali.
Pemungkah :”Om Surya raditya paramyoktir rakte teja namah stuti sweta
pangkaja madiastu baskara dewam om rangringsah Parama Siwa”
Penyacah ; OM...Awigenem Astu Nama Sidhem, Pangaksamaning ulun rijeng sira
paduka Batara samuha aneng umoring Acintya. Lamakaning ulun tan
kene sosot upadrawa lan salah pawidhi, apan manusanira wani
angodaraken gatinikang sastra aji, angarcana kunang kawi carita
atemahaken Babad Sidakarya. Saksana mijil....Sanghyang Kawiswara
Murti tan sah amunggel punang tatwa carita, warnanan....sira
Brahmana Sangkya aneng Kalingga Jawa Timur, sampun olih
anugraha Dewata maka unggwaning Dalem Waturenggong tan ane
26
waneh marikanang jagat Bali. Samangkana........ pamurwanikanang
tatwa carita.
Sasendon ;Brahmana Sangkya Yateki, Jawa timur Kang negara, Budha keling
kang namo, Neng Bali atemu Dalem, Apan sira raga Siwa,Ngardi
jagat apang melah. (Pupuh semarandana Jawa)
Pangalangkara :Caritanan Brahmana Sangya lawan cerakanira makerua Pangkur
muang Dendang marikanang wana tala Banyuwanggi.
Pupuh pucung :Singgih ratu, Trima sembah kula ingsun, Mande Ulun tan salah,
Nista solah hina budi, Minta tuntun, Mangde kula dadi wong susila.
Pangkur ;Ratu pidaging nawegin titiang i katunan purun nebag ngerihinin
nunasang indik tata wedanan singgih Brahmana ring rahina puniki, ton
antuk titiang sekadi Ide Sanghyang surya sane nenten kekapialangin
punapa-punapi mewesana galang becik indik tata wedanane. Inggih
munawite wenten baos katiba ring parekan, durusang singgih
Brahmana sane suciang titiang ngetelang pawecana.
Brahmana : Ah aum ling sira Brahmana, Asemu..............ah ah ah (tertawa)
Ah um ceraka Pangkur muang Dendang, luir...... mabener kaye
saturante. Ri... pire lawas sampun tuhante aneng dikwidik, umentasing
jurang, kali, muang desa-desa angruruh make unggwaning sira Dalem
Waturenggong nanging tan ketemu juga. Dadya..risedeng sue sampun
lampah tuante, kaleson tuante umangap aneng wana eki, sedeng rikala
turu tan aturu tuante, kedatengin denikanang dewata anugraha maka
unggwaning Dalem Waturenggong.
27
Pangkur :Kadi ketel pawecana purun titiang melaksineyang ngojah. Nah
paman...... parekan ngajak dadua pangkur kelawan Dendang, tusing
pelih paman nebag turmaning matur buka aketo. Suba rasa mekelo
anake buka Bapa memargi, paman ane ngiring telah kadi rasa jurang-
jurange, tukad ane gede lan cenik, keto masih desa-desane serepang
Bapa, pengacepe tuah abesik ngeruruh linggih sameton Bapa ane
mepesengan Dalem Waturenggong. Disubane makelo lantas kemo mai
pemargan Bapane, teked lantas dini di pesisi alas Banyuwanggine,
sawireh lesu anake buke Bapa, keto masih paman, lantas maembon
turmaning kantu. Rikala pikayune sekadi anak sirep kewanten eling,
raris rauh Ide Betara Siwa nyewecaning turmaning mapica indik
linggih Dalem waturenggong. Boye sapunika?
Brahmana : Yogya
Pangkur : Patut ratu.
Brahmana :Matemahan mangke Bapa uruh unggwaning Dalem, nore ane
wewaneh marikanang Gelgel pura Bali pulina. Mangke lamakaning
tan kasep, yatna kita makerua tumut kite umetasing segara rupek.
Dendang :Sangkaning paswecan Ide Betara punika, mekawinan mangkin singgih
Brahmana uning indik linggih Ide Dalem Waturenggong. Wantah ring
jagat Gelgel pura wewidangan Bali pulina, Inggih duaning sampun
panumaya durus memargi titiang nyadya ngiring ngelintangin Segara
Rupek.
28
Brahmana :Ambek sang para martha pandita, wus limpad saking suniyate.
(Kekawin Arjuna wiwaha) Ceraka tut wuri lampah ramiya Bapa.
Dendang : Inggih durusang memargi.
Pangkur : patut, patut durusang ngerihining memargi. ( Brahmana out)
Dendang :Bengong icang ring keutamaning I de anake lingsir ane ngelarang
buda. Care ngiring dewa sekala rasayang kenehe.
Pangkur :Bape ngerasang keto masih ning, yan inargameyang winaluya idewek
care i padang teki mentik di samping punyan tebune. Sing je i tebu
doen manis, kayang i dewek pasti maan kecapang manis. Sangkal
antengan melajah, tawang artin buda
Dendang : Ape ento pe?
Pangkur : Buda ento mearti wicaksana.
Dendang : Bah yan keto i dewek, sing ngiring dewa wicaksana ya ne.
Pangkur :Ngiring anak meraga wicaksana keto anake, sangkal Ide ke Bali sing
tujuane tuah ngalih ajaran Siwa ane mearti wikan. Awor ikang
kedatwan winuwus wara buda, (Kekawin Sutasoma) ane dadwa pang
dadi besik ngardik melah di jagate.
Dendang :Wikan utawi pandai itu tidak ada gunanya kalau tidak berisi bijaksana,
sebaliknya bijaksana tanpa kepandaian (pinter) sama dengan kosong.
Men jani anak ke Bali, ape to Bali pe...? ane tawang i cang tuah ketan
mekukus.
Pangkur :Bah jaje uli to ning, yan Bali ane tawang Bapa sastrane tuah tenget.
29
Dendang :Tenget kenken to.
Pangkur :B artine banten, ape bedek-bedik pasti banten ane keutamayang. Yan
A artine adat,( agama, dresta, awig, lan tata krama), L artine lelintihan
utawi lelanguan. Yan I artine ilikita utawi aturan-aturan krama Bali,
care perarem Banjar utawi Desa, perarem Pura lan ane lenan. Yan
anake meyadnya di Bali masih medasar sastra papat ento ning.
Dendang :men kenken ento?
Pangkur :Yan gede karyane ento madan utama, pastika hurup B artine bawa
wibawa mekejang ngabehin.
Dendang :Ane tampahe ditu soroh B: babi, buaya, bekbek, benyu....minuman bir
Pangkur : Penyu ketonake. Yan di madya karyane A: asal genep beten lan
tuwun.
Dengang :Ane tampah soroh A: ayam, minumne A: anggur, arak, ale-ale.
Pangkur :Bengelah dogen cening. Yan meyadnya dasarin ban kuala pragat L:
lascarya, ban dewek meulehin, lan meutang.
Dendang :Ane tampah soroh L: lindung minumne larutan lan loloh.
Pangkur :Yan karyane medasar jengah, runtag tan pesulur, sastra I: inguh-
inguhan, iri hati buta kala ngerubeda.
Dendang :ane tampah I: ituni, ibi ape sing ade de!
Pangkur :Men minumanne ape?
30
Dendang : Suba benyah kenkenang minum, jeg capung diteba ( lemedi ) megedi
uli ditu.
Pangkur :Nguda to bakat gonjakin, jalan iring Ide Sang Brahmana apang sing i
rage kaduken.
Dendang : Jalan
Sulukan Jawa ;Sigre mangsa umangsa anut iroma, gentur pantur bendene ngunye
angunggul, suling sesawuran sarompet tetep nindihin.
Pangalangkara :Nengakena rilampahira Brahmana Sangkya lawan cerakanira
makerua, Waneh......punang tatwa carita mangke marikanang Gelgel
Pura sedeng angingkin aken kunang suwija karya Eka Dasa Ludra lan
Nakluk Mrana Besakih. Pare patih, Bendesa muang akweh bela peka
sedaya tan doh cerakanira make ruang sanak. Samankana...........!
Rewang :Jalan-jalan ngayah, abe ento aban-abane made,wayan, nyoman, ketut.
Bendesa :Nggih kenten sampun, pecalange benehang ngatur anak ngayah.
Pupuh Sinom :Jani jaman kaliyuga, surya candra pinaka saksi, kepangan tan
manut masa, meluab toyan pasihi (sunami), ring taru cihna malih,
ancak kroye bingin bunut, mawoh tan pasekar, eke taru banaspati,
kayu..........rubuh, tan ana mangewiwitan.( Sinom Geguritan kaliyuga)
Glebug ; kreceb....................! (Suara lantang/keras)
Kreceb :I cang................! bug
Glebug : Iwasin, iwasin..............ceb
31
Kreceb :Ye dija makan
Glebug :Nyen takonang ci makan, nyen....!
Kreceb : Ye I osin
Glebug : Bah... bulan pat nyaplir, telektekin, sekenang nolih, pengayahe bek-
bek, tumpah.....!
Kreceb : Ruah.
Glebug : Bah......!
Kreceb : Bedeg.
Glebug : Krik...!
Kreceb : Tingkih.
Glebug : Makejang.... cenik,tua, peceng, perot
Kreceb : Krek, dakangan, kurap, bulenan, mebulu, sing mebulu.
Glebug : Mekejang ngayah dini di pejaban luwur besakih, Bali mula rame....
yan sepi balu adane ah, ah ,ah...............!(tertawa)
Kreceb : Jagat Bali kaucap pulau dewata, jagat Bali kaucap pulau sorga,
Cru penabuh : Ring mance negara
Kreceb : Ja.....gat Bali
Cru penabuh :Kaiter gunung bukit segar.
Kreceb : Ja...gat Bali
32
Cru penabuh : Wewangunan sampun katincapang.
Kreceb : Side nudut, parawisata
Cru penabuh : Rauh ring Bali masesanjan.( Buku lagu anak-anak melajah
megending sekolah dasar,1998)
Glebug :Ebeh....... cai nyatwang pulau Bali, bantes amongken cai nawang
jadma Bali?
Kreceb :Orang Bali tidak akan lepas dari konsep tri hita karana, perihyangan,
palemahan, pawongan, tawang artine pak de?
Glebug : Meguyang basang mah ulian makan wong.
Kreceb : Badah eh eh eh..........maman dogen urusina
Glebug : Men cai ape kal arti ento?
Kreceb ; Tetelu ane ngeranayang melah digumine, hubungan manusa ngajak
Ide Sanghyang Widhi Wasa. Melarapan ngodalan, ngenteg linggih lan
meyadnya lenan.
Glebug ; Cara karya jani.
Kreceb ; Beneh.......! hubungan manusa ngajak manusa, gotong royong, saling
hormat lan menghargai timpal. Ane kaping untat, hubungan manusa
ngajak alam, ede buang sampah sembarangan ane ngeranayang banjir, t
menebang pohon, menembak binatang, dan merusak alam lenan.
Glebug ; Beh.... luhing parisade bibih caine ngeraos
33
Kreceb ; Yang jelas, mari kita sebagai orang Bali meniru pohon bambu, tinggi,
tinggi dan merunduk orang di bawah. Dijadikan apa saja boleh, katik
sate, rumah, bedeg dan lain-lain, ane penting ngai luwung.
Glebug ;Beh ...! care Gede Parama satwan caine, to iwasin mangku mare
kepure not cai. Ngajak cucune negakin sepeda dayung, lan takonin.
Kreceb ;Jro Mangku saking dije niki, nembe panggih titiang?
Mangku ;Bapa saking menanga, Bapa mare mewinten pang maan ngayah masih.
Kreceb ;nggih durusan mangku!
Kreceb ;Kak mangku wau ke pura nggih?
Mangku ;Nggih tut, Bape ngalih cucu mare ia anak masuk.
Kreceb ;Nggih durusang memargi kak mangku!, Bug... to luh- luhe ngaturang
perani lan punia karya, jalan bantas takonin doen awak dadi penitia
dini di Besakih.
Glebug ;Kene nah...! cai nyapa pengayah, beli ngecek kekuangan banten
ngiring pare tapinine.
Kreceb ;Nah...kemo malu kejeroan, mensep mai miluin icang sawireh bek
pengayahe.
Glebug ;Nah, nah.... (Glebug out)
Kreceb ;Nggih meriki, meriki ngayah istri-istrine, sane mapunia keluwur jagi
catet tiang deriki ring genah penitia durusin memargi alon-alon!
34
Bondres luh :Pak penitia....... tiang ketua Dharma Wanita saking Desa Rendang,
merangkap ketua sekaa santi pacang ngayah sambilan ngaturan punia
karya.
Kreceb :Buk jegeg sire pesengan ragene?
Bondres luh : Gek Bimoli dugas bajang, jani tua Buk Erik adan tiange.
Kreceb ;Bimoli...bibih moncong limang senti ah ah.......!(tertawa)
Bondres luh ; Buk erik uning artine?
Kreceb ;Napi?
Bondres luh ;Enak rasanya selalu ingat akan kasih sayangnya.
Kreceb ;Nggih merika jeritin timpale?
Bondres luh ;Nggih utusan saking Desa Rendang ngiring durusan ngeranjing ke
pura ( out )
Kreceb ;Om suastiastu jero sane wau rauh, sire pesengan ragene tur saking
punapi?
Bondres ;Tiang saking desa menanga, I Wayan Koper adan tiang, kurenan tiang
madan I Ketut Rangsel, pianak tiang madan I Gede Kresek ngajak I
Made Plastik.
Kreceb ; Beh soroh tas ene adane, nggih jerone pacang ngaturan napi?
Bondres ;Tiang jagi ngaturang guling utuh, pokokne sami utuh pang nenten
kasisipin antuk Ide Betara.
35
Kreceb ;Nggih tiang nerima dogen suksema, sami ten wenten metelahin niki
nggih...!
Bondres ;Nggih.....! kayang ngek ngek enu.
Kreceb ;Pak Koper, keto sing arti utuhe, pale, bahu kiwe tengen lan ulu ento
dadi ketekan. Basang jejeron ento telahin, ngudiang ngaturan ane jelek
ring I De Betara nyanan jelek picene.
Bondres ;Punapi mangkin titiang pak Panitia, melipetang tiang mulih!
Kreceb ;Sing dini ajak timpale olah, kemo mejalan kepewaregan ditu liu
pengayahe megarapan.
Bondres ;Ngih............! Suksema (out)
Kreceb ;Salabingkah di batan biune, gumi linggah ajak liu kenken ade
pengayahe. (wewangsalan) Nggih... Bapak sane wau tangkil, Om
Suastiastu saking dije tur sire pesengane?
Bondres ;Tiang saking Desa Enongan, adan tiange Ketut Saklar, kurenan tiang
madan Nengah Strum, pianak tiang Gede Kabel ngajak Iluh Konslet.
Kreceb ;Beh..... ene keluarga PLN ene, jagi ngaturan napi?
Bondres ;Niki titiang ngaturin buah-buahan, kaduk wenten ring kebun.
Kreceb ;Nggih.....jagi terima tiang, durus memargi.
Pangalangkara ;Ri wawu mangkane pare tingkahin bala marikanang Besakih, Durung
asat .......! dadya ane bala angwawe ikanang werta ri kedatengan
Sangkya aneng Besakih. Samangkane...!
36
Keplug ;Jro pengayah, kenken dadi sepan-sepan teka mai, ade ape?
Prajurit ;Jro Gede.... puniki tiang matur kedik, rikale tiang ngayah ri pesisi pura
ngajak pengayah tiaosan, saget wentan anak tua dekil tur memengkung
manah ipun mangde polih tangkil ring palungguh Dalem. Sami panjake
sampun nambakin sakewanten sami tan kerungu, nike mangkin ipun
ngojog meriki. Sukserah wicare puniki mangkin ring bapak penitia
nggih.
Keplug ;Ceb jalan tangkilin dane pare pengelingsir Gelgel purane, Gusti Patih,
Jero bendesa, apang je sareng sami Ide tedun jebos kejabe duaning
wenten wicare sane patut tanganin.(out)
Pangalangkara ;Riwawu mangkane panulamen ikanang ceraka, dadya........! mijil pare
pepatih, we desa samuaha ah..........!
Patih ;Ceraka..... paran matanian ikanang wicara?
Keplug ;Gusti Patih mamitang lugra titiang, puniki wenten kocap anak tua
dekil tur bengkung pacang tangkil mangkin.
Patih ; Yan mangkane alungguh rumuhun.
We Desa ;Sadera, sadera mecikaning alungguh
Kreceb ;Nggih melinggih sareng sami dumun mebaosan, nyantos tamu sane
pacang rauh. Nah...! niki anake lingsir punika, durusang meriki jero
sedeng becik sami sampun nyantos.
37
Pupuh sinom ;Singgih jero sang wus prapta, Titiang tangkas manunasin, Saking
Napi negarane, Sira parab jrone tangkil, Mangde titiyang tatas
uning,
;Sang tamu raris sumaur, Titiang saking Klingga, Budha Sangkya
pacang tangkil, Dalem Agung, Nareng singeng Gelgelpura.(Sinom
Lawe)
Kreceb ;Nah kene dewa ajak mekejang, kapertame pesan Bapa nunas agung
pangampura sawireh ulian petekan Bapa I dewa sungkan penyurian lan
sakit hati. Dewa ajak mekejang apang sumeken nawang, Bapa mawit
uli jagat Kalingga Jawa timur. Brahmana Sangkya pesengan Bapa,
tetojone ke Bali, sawireh Bapa inget menyama, mesemeton ring Ida
Dalem sesuwunan paman ajak mekejang.
Sangkya ;Mangke Bapa aptian umagil lawan Dalem
Kreceb ;Nah..! lamunang jani tiang dot pesan suba lakar tangkil ring Dalem
sasuwunan paman ajak mekejang. Yan dadi pangidih tiange kapinin
paman, ede pesan tambakine pejalan tiange.
Patih ;Jempeng kunang karna “ Yae...!ape saturante wang tua edan, kita
mewarah pinake kuluwarganing Dalem mangkana..(diludahi) out
Glebug ;We.... jelma tua buduh , cai ngorahin mesemeton ngajak Dalem ah,ah,
ah.......!(tertawa sinis)
Rewang ;Ah,..... cicing ngamah jaje, sing saje ah......!(bersorak)
38
Keplug ;Jelma tua dekil, yan sing ngelah mako ne baange pipis, mulih cucune
empu.
Sangkya :Dewa Bapa tan biperaya pamulihe yan tan ketemu lawan Dalem,
mangke enak kita umatur lawan Dalem.
Kreceb ;Nah dewa ajak mekejang, suksema Bapa kapining paenjuh belin
makone. Sakewale Bapa sing je lakar megedi uli Besakih yan tusing
kacunduk ring Ide Dalem.
We-desa ;Yah .... mapunggung kita dadi wong tua, kadyang ape mangke?
Rewang ; Gredeg, paid.....!(Sambil bersorak-sorak)
Tandak ;Ganda kasiasih, sumilir, apan baya, tunjung salah (Bendusemara)
Sangkya Ih....jero sareng sami jadma Bali, sombong, bengkung buine nista pesan
laksanan jerone ngacepin nabdab karya utama. Tan pesan manut
kapining jadma Bali ane setate nawang agama, ulian laksanan jerone
ento jani terima hasil pelaksanan jerone nah. Jaktasemat rundah gering
rug gati kunang karya Basakih ( dibarengi suara gemuruh suasana
seram)
Pupuh ginada ;Mangkin sampun sandikala, cicinge pade mengeling, ketanggun
desa menyagjag, suaran nyane ngulun-ulun, ngawe rundah sang
mirengan, make ciri, destine mengalih amah (Ginada basur/buku
basur)
Pangalangkara ;Riwawu....!mangkana pinastun Sang Brahmana, Dadya matemahaken
becek grubug muang tan hana Sanghyang Premana aneng Sarwa
39
perani. Suara asu meraung-raung, udan tan reren-reren, suara kilat
gumuruh, wang angutah bayar, bhuta-bhuti, aye-aye, regek tonggek,
desti, pasliwer, matangian mijil sira Dalem Waturenggong aneng sabe
mandala.
Bondres I ;Aduh basang tiange sakit beli.....! aji bedik san medaar
Bondres II ;Ape daar nyai de? Ngerapu nunas di pura.
Bondres I ;Sing ngerapu kale campur icang, rujak, komoh, timbungan
Bondres II ;Adah....! nyai jelma bengkung
Bondres I ;Bli, dadi dingin-dingin awak icange? To celeng ane tampah ibi hidup
celeng!
Bondres II ;Icang dadi orang celeng, lengeh nyai. Ih dane Gusti patih medal, lan
tangkil.
Bondres I ;Lan beli, gusti dados puniki kewentenan karyene gusti.
Bondres II ;Patut gusti mangkin mepikayun, punapi antuk.
Tangkas ;Nah paman jani jalan tangkil ring Ida Dalem, sedeng becik Ida
ngelebar monobratha jalan iring gelah.
Dalem Wtrg ;Paman dadi benyah karyane paman, ipian manire jelek-jelek pesan.
Ape mirib pelih manire keto masih panjake dini di Gegel paman......?
Patih ;Singgih...ratu ratu palungguh Dalem sane baktining titiang, pinih rihin
ampura titiang anggen cokoridewa kaule nambet, nenten kemanah taler
antuk titiang ratu..
40
Dalem Wtrg :Paman yan keto jalan nunas ica ring Pura Luhuring Besakih, dumadak
Ida mapica pemargi tur mapaica keranan benyah karyane paman.
Patih ;Inggih durus memargi titiang kalih panjak sami pacang sairinge.
Bondres ;Jalan mebakti kapure bli, madak apang selamet irage ajak mekejang.
Bondres ;Lan-lan luh, ne sube teked. Negak bli, Ide anak sube melinggih apang
tusing ungkul-ungkul.
kidung ;Purwakaning, angerip tarum, ning wana ukir, (kidung kawitan
wargasari)
Pangalangkara ;Riawau..........!Dalem Waturenggong muang bale samuhe angaturaken
sembah ri jeng Hyang Besakih, dadya....katon marikanang puncaking
Giri Agung sira Hyang Putrajaya.(Dewa yang beristana di pura
Besakih)
Hyang Putrajaya ;Uduh nanak Bapa sampun uruh ri pakewuhte, yateki nore ane waneh
sangkaning paretingkahing balante. Sedeng Sangkya dateng katitig
olih wadwante, jani alih ia di Narithi Desa serahang karyan idewa jeg
peragat (out)
Patih :Ratu... wau titiang ngemanahing patut pisan kadi sabda Ida Betara iriki
ring Besakih, rikala titiang sareng panjak dune nabdab kewentenan
karyene. Saget wenten rauh anak lingsir cuil mawit saking Kalingga
Jawa timur. Pesengane Brahmana Sangkya, Ide mawosang masemeton
sareng singgih Dalem. Duaning asapunike tan cumpu panjake raris ke
ered tur kegingsiran saking Besakih. Wus punike sambilang Ide
metilar, raris Ide ngewaston karye duene ratu......!
41
We desa :Patut pisan ratu kadi atur dane patih.
Dalem Wtrg ;Nah paman ne anak gegodan adane, ageng gode ageng yasa. Gede
gegodane pasti pikolihe lakar gede. Jani jalan ruruh, pendak, tur nunas
pangampura ring Ide ajak mekejang, manire lakar tedun tangkil ring
Ide Brahmana nyujur kiduling Bali.
Patih ;Singgih ratu titiang sahiringe, wih.., panjak ajak mekejang jalan iring
Ide Dalem.
Panjak ;Inggih...........! (berangkat menuju Bali selatan)
Kidung ;Pamendakan sampun antar, kedabdabang pasepan medaging geni,
asep menyan majegahu, ebek ring natar prihyangan, kukus petak
kukus harum, unem kelawan cendana, ambun nyane merik sumirit.(
Kidung pamendakan)
Pangalangkara ;Tan kacerita rilampahing Dalem aneng desa-desa, caritanan........!
sira Brahmana Sangkya aneng pesisining Bandana Negara. Sedeng
sira angelaraken kunang tapa brata semadhi.
Wedesa ;Ratu.....sugre titiang, punike Ide Brahmana sane dumun rauh ke
Besakih. Ledang aksi dumun.
Dalem Wtrg ;Ah, ah kita bala enak pade alungguhe samuhe, paman patih Tangkas
keme nunas pangampura anake buka paman.
Tangkas ;Singgih ratu sugre titiang, ratu..... Sang Brahmana sane dahat suciang
titiyang, pinih rihin aksi sembah pangubaktin titiyang Patih Tangkas
taler sami panjak Baline mangde nenten keni raja pinulah antuk
42
perebawan Singgih Brahmana. Sepetangkil titiang, taler panjak sami
wantah nunas agung sinampura, duaning purun peresangga ring linggih
Singgih Brahmana. Ring rahina sane becik puniki titiang taler panjak
Gelgel sami, banget pisan nunas mangde ledang Singgih Brahmana
ngewaliang pemastun duene mangdane mewali sekadi jati mula.
Selantur nyane singgih Brahmana pacang iring titiang mewali ke
Gelgel utamane pacang ngerajegan karya agung ring Pura Besakih,
sapunika ratu atur titiang malih pisan ledang ampureyang.
Sangkya ;Eman kita mojar, tigtig malu mare ngidih pelih luir tan aderue idep
ambekte nguni. Mare anak dekil de kaden jelme idih-idih, nyen nawang
jelma ejoh mejalan. Jelma mesaput dijalan kaden jelma dingin, nyen
nawang jelma maling siap meh kucit. Men Dalem anak dije, ampura
titiang puniki nenten meresidang nagingin kadi pengarsan Dewa. Napi
mekawinan sadurung Dalem ngangkenan titiang wantah tunggil utawi
masemeton Siwa Budha tan wedi ramya Bapa, panjak Gelgel tan
pacang mewali sekadi dumun.
Pangalangkara ;Riwawu karenge saturan Brahmana Sangkya samangkana, agelis.....!
Dalem Wtrg ;Singgih Ratu Brahmana, yan sapunika sane mangkin titiang Dalem
Waturenggong pinake pacek Gelgel taler keupesaksi sekalane panjak
Bali niskalane ring Ida Dewata sami. Rahina mangkin purun pacang
ngaryaning gaguat utawi geguet, kapertama Brahmana Sangkya wantah
semeton titiang Dalem waturenggong.
Sangkya ;Singgih......rasa gargita rituas Sangkya, Dalem lumihat akene mangke
mewangsul ayu kadi jati mula ikanang karya Besakih. Agelis....!
43
Dalem Wtrg ; Ratu suksema kadi pswecan singgih maha suci, mawit mangkin I ratu
Brahmana pesengan titiang Dewaning mrana. Kalih genah mebaosan
puniki pacang wangunin titiang Pura pemuteran Dalem Sidakarya,
benjang pungkur asing-asing anake ngewangun karya patut nunas jatu
ke Dalem Sidakarya. Dumadak panjake setate eling genah ngaci mrana
wantah pura Masceti lan pura Sakenan, Malih pisan titiang ngaturang
mawit mangkin Iratu Brahmana puspatehyang titiang
Panjak ;Dalem Sidakarya. (semua teater out)
Penari ( Tari topeng Sidakarya akhirnya menutup pagelaran ini)
Narasi ;Samangkana...! ketatwaning Dalem Sidakarya. Om ..Santih, Santih,
Santih.. Om.
4.3 Aparatus pertunjukan
4.3.1 Musik iringan
Iringan merupakan faktor yang sangat penting di dalam suatu pementasan, begitu
juga pada garapan pakeliran inovasi ini. Iringan tersebut berfungsi memberikan aksen-
aksen pada setiap adegan yang akan digunakan dalam suatu pementasan. Di dalam
garapan ini, penggarap menggunakan seperangkat gambelan semarandhana sebagai
pengiringnya. Hal tersebut di maksudkan supaya penggarap mudah membuat variasi-
variasi gending yang sifatnya kreasi maupun klasik, disamping itu iringan tersebut mampu
memberikan kesan, suasana yang di perlukan dalam pementasan.
Adapun jenis barungan yang dipakai adalah; 2 tungguh gender rambat, 4 tungguh
gangsa pemade, 4 tungguh gangsa kantil, 2 tungguh jublag, 2 tungguh jegogan, 2 gong, 1
kempur, 1 kemong, 1 kelenang, 1 cenceng, 1 tungguh terompong, 2 buah kendang
44
pelegongan, 2 kendang besar, 1 buah kajar, 1 buah rebab, 2 buah suling, 1 buah bajra.
Notasi iringan yang dipakai dalam garapan ini, dapat di lihat pada lampiran dibawah.
4.3.2 Kelir
Kelir merupakan areal penempatan bayangan dalam pertunjukan wayang kulit. Di
dalam garapan ini penggarap mengunakan sistem rotated stage, yaitu sebuah kelir yang
mempunyai empat sisi berbentuk kotak. Adapun tiap-tiap sisi berukuran sebagai berikut;
-Panjang kelir; 4,20 meter, lebar kelir 2 meter, Ide ini teraspirasi ketika penggarap melihat
wayang-wayang kecil diputar dengan dinamo listrik di Desa Petak Gianyar. Hal ini
bertujuan untuk membuat nuansa baru dalam pementasan wayang kulit Bali, di samping
tujuanya memperbesar arel bayangan wayang yang akan di tampilkan, sehingga ide dan
gagasan penggarap bisa terwujud sesuai yang di inginkan tanpa menghilangkan nilai-nilai
struktur wayang itu sendiri.
4.3.3Wayang
Wayang di Bali pada umumnya terbuat dari bahan kulit sapi yang di ukir atau ditatah,
kemudian diberi warna dan atribut sesuai karakter masing-masing. Wayang golek berasal
dari Sunda (Bandung) yang berbentuk boneka terbuat dari kayu yang diukir, kemudian
diberi warna dan dihias dengan kain juga pernak-pernik hisan hingga menyerupai manusia
(Sunaryo, 2008). Dalam garapan wayang inovasi berjudul Dalem Sidakarya ini, wayang
kulit yang di pakai kurang lebih sebanyak 56 buah. Wayang golek 3 buah, penari sebagai
teater sebanyak 4 sampai 5 orang. Adapun wayang kulit yang di pergunakan diantaranya;
2 buah pemurtian, 5 buah kayonan, 1 buah Siwa, 1 buah Brahmana Sangkya, 1 buah
Dalem Waturenggong, 1 buah Patih, 3 buah Bendesa, 4 buah prajurit, 2 buah panakawan
Gelgel, 5 buah Bondres,4 buah perempuan, 2 buah Butha buthi, 1 buah kala sungsang, 1
buah gregek, 2 buah tenkorak, 1 buah celuluk dan 10 rewang-rewang. Sedangkan tokoh
45
wayang golek diantaranya; 1 buah tokoh Brahmana Sangkya, 2 buah panakawan. Adapun
bentuk-bentuk wayang yang penggarap maksud seperti di atas dapat dilihat pada lampiran
dibawah.
4.3.4 Tata Cahaya
Penataan cahaya dalam garapan ini akan memakai pencahayaaan lampu listrik yang
di proyeksikan melalui LCD dengan menampilkan gambar-gambar (scenery) sesuai
adegan. Selain itu garapan ini juga akan memakai lampu-lampu pendukung suasana
lainya, seperti salah satunya pemakain bobok atau linting yang akan di harapkan memberi
aksen-aksen tertentu dalam garapan ini.
4.3.5 Pendukung
Dalang merupakan orang yang mempunyai peranan penting dalam pertunjukan
wayang kulit. Dalang bukan hanya sebagai pembawa cerita, tetapi juga sebagai pemikir
tentang seni budaya sekaligus melestarikan kesenian tersebut. Secara langsung dalang juga
harus mampu menggali tentang nilai-nilai kehidupan beragama, penyebar ilmu pengethuan
dan penyebar kesenian pada khususnya. Dalam garapan ini penggarap akan memakai
pendukung 10 sampai 12 orang, peran teater, pemegang wayang, pemutaran kelir (stage)
dan peran sebagai penata lampu dan laptop serta peran lain sesuai dengan tuntutan dalam
garapan ini.
4.3.6 Tata Penyajian
Garapan pakeliran Dalem Sidakarya ini, yang di pentaskan dipanggung pertunjukan
Natya Mandala ISI Denpasar, dibagi menjadi empat babak yang terdiri atas tujuh adegan.
Setiap adegan ditandai dengan perputaran kelir. Adapun teknis dan persiapan garapan
46
dilakukan sesuai dengan jadwal dan tempat yang telah disepakati, antara pendukung tari,
iringan, juga pembantu dalang tanpa mengurangi aktivitas para pendukungnya.
Konsep Dramatik
Secara dramatik, kisah Dalem Sidakarya disajikan kedalam empat babak dengan
tujuh adegan. Setiap pergantian babak ditandai dengan perputaran stage. Keempat babak
yang di maksud adalah;
Babak I; Perjalanan Brahmana Sangkya ke Bali
Babak II;Pertemuan Brahmana Sangkya dengan rakyat Bali
Babak III; Kesedihan Dalem Waturenggong
Babak IV; Panobatan Brahmana Sangkya menjadi Dalem Sidakarya
NO Ide / Konsep Dramatis
Peradegan
Metode Teatrikal, Cara Bentuk
Penyajian
Alasan / Rasional Harapan Waktu
Pemungkah
STAGE I (KELIR) Wayang kulit 1 Adegan dimulai
dengan beberapa motif kayonan menari dikelir
2 Kayonan menari sesuai dengan irama gambelan dengan dilanjutkan, kori pengalangkara, kayonan lobang dan tokoh Sangkya dengan memakai permainan lampu / laegting.
Suasana yang diciptakan adalah hening / santai
3 menit
BABAK I Tanpa kelir Wayang Golek
47
Muncul Brah-mana Sangkya dan 2 Panaka-wan
Brahmana Sangkya dan 2 abdinya Si Pangkur dan Si Dendang yang sedang membahas perjalan menuju Pulau Bali untuk bertemu Dalem Waturenggong
Suasana yang ditimbulkan lewat dialog sangat mengarukan.
3 menit
Tanpa kelir Golek 3 Adegan dialog
panakawan Gembiranya kedua panakawan Pangkur dan Dendang ketika akan tahu berangkat menuju tanah Bali
Suasana yang di timbul-kan penuh dengan riang gembira.
3 menit
BABAK II STAGE III (Kelir) Wayang Kulit 4 Adegan dilayar
dilayar dengan munculnya kayonan II yang dilanjutkan dengan pangalangkara.
2 Wayang kayonan menari, langsung menceritakan situasi Eka Dasa Ludra dan Nangkluk Mrana di pura Besakih.
Suasana hening dan penuh dengan kedamaian di saat menyambut upacara yang diadakan di Pura Besakih, didukung lampu yang warna-warni.
1 menit
5 Adegan para abdi, tokoh, dan pecalang menuju Pura Besakih
Munculnya rakayat tumpah ruah serta para patih, bendesa dalam mempersiapan upacara di Besakih.
Menciptakan suasana ya-ng hening dan penuh da-mai sejatra.
1 menit
6 Adegan dua pa- nakawan puri.
2 panakawan puri ya ng sangat setia Glebug dan Kreceb, ikut megantar persiapan upacara
Dialog yang menciptakan suasana riang gembira, penuh kedamaian.
2 menit
7 Adegan rakyat
(bondres) mangku, perempuan, dan orang yang menghaturkan hewan dan buah-buahan sebagai serana upacara.
Para abdi atau rakyat laki dan perempuan sangat gembira meng haturkan artanya. Pada akhir adegan ini eritakan seorang rakyat melaporkan ada orang aneh /gila menuju Pura.
Suasana hening, damai, pe nuh canda mendadak men jadi kisruh atau tegang
3 menit
48
8 Muncul tokoh patihTangkas, seorang tokoh pemimpin per siapan upacara Eka Dasa Ludra dan Nangkluk Mrana.
Mendengar kekisruhan para pengayah di pesisi Pura, membuat rasa penasaran patihTangkas untuk mendatangi Brahma na tersebut. Setelah berhadapan dan tahu maksud kedatangan tamu, patih Tangkas langsung beliau meninggalkan tamu tersebut. Rakyat yang jengkel ulah Brahmana langsun mengusirnya.
Suasana tegang yang di timbulkan lewat dialog, penyiksaan pada Brah mana mengakibatkan se buah kutukan
3 menit
BABAK III STAGE II (Tanpa kelir/betel) Wayang Golek 9 Adegan Brah
man Sangkya marah dan me ngutuk semua rakyat Bali.
Brahmana yang terluka lahir dan batin , berjalan tertatih tatih sempoyongan. Dengan marah beliau mengutuk semua rakyat, akibatnya semua tumbuhan, bi- natang dan manusia yang ada dipulau Bali menjadi gering /grubug
Suasana seram, hujan petir dan lolongan anjing menambah keangkeran ucapan kutukan.
2 menit
STAGE III ( Kelir) Wayang Kulit dan teater
10 Adegan seram Disudut kiri sta ge/ kelir, tokoh 2 rakyat kesakitan , patih Tangkas, dan Dalem Watu renggong yang sedang bingung memikirkan keadaan upacara yang rusak.
Rayat meronta kesa-kitan tanpa sebab, angka kematian su- ngguh banyak. Tana-man layu, binatang mati, kemarau yang panjang (tidak ada unsur kehidupan). Akhirnya Dalem, Patih,dan rakyat minta petunjuk Dewata Hyang Agung pura Besakih.
Suasana seram,mistik,magis yang menakutkan da-lam adegan ini.
4 menit
11 Adegan teater Dalem Wature enggong, Tang kas, Bendesa, dan Rakyat Menuju
Dewata Hyang Agung memberi petunjuk tentang penyebab ancurnya upacara. Tangkas dan Rayatpun
Suasana penyambutan yang sangat tegang.
3 menit
49
Pura Besakih mengakui tentang penyebab ke kisruhan upacara Besakih, maka dari itu Dalem Watureng gong memerintahkan rakyat Bali untuk menjemput Brahma na Sangkya ke Bandana negara.
BABAK IV STAGE III ( Kelir) Wayang Kulit 13 Adegan Brahma
na Sangkya dan Dalem Watu renggong.
Perjalanan ke Bandana negara akhirnya Dalem bertemu Brah mana sangkya, saat beliau melakukan perjalanaannya. DalemWaturenggong mohon maaf atas perilaku rakyatnya dan mengakui bersaudara dengan Brahmana seketika itu Sangkya mengembalikan situasi upacara Besakih seperti dahulu. Dalem juga memberi gelar Dalem Sidakarya pada Brahman Sangkya.
Suasana tegang yang ber akhir menjadi tenang dan gembira.
3 menit
STAGE IV (Langse ) Penari Topeng 14 Muncul penari
topeng Sidakarya Munculnya tari topeng sidakarya, maka berakhir pula upacara di Pura Besakih dengan sempurna
Suasana Hening, damai dan tentram
1 menit
SEKIAN
50
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Garapan pakeliran Dalem Sidakarya adalah bisa diputargarapan inovasi dengan
menggunakan layar (kelir) empat sisi yang berputar (rotated stage). Garapan ini
bertujuan mentransformasi cerita babad patopengan ke dalam pementasan pewayangan,
juga memadukan unsur tradisi dan modern, unsur wali, bebali hingga menjadi balih-
balihan menarik untuk ditonton dan dinikmati.
Babad Dalem Sidakarya merupakan sebuah cerita yang tidak asing lagi pada
masyarakat Bali, cerita pokok ini bersumber dari Lontar Babad Bebali Sidakarya yang
isinya mengisahkan tentang kedatangan Brahmana Buda ke Bali dengan maksud
menyatukan ajaran Buda dan Siwa. Tema dari cerita ini adalah kepahlawanan atau
kesatria, sedangkan amanat yan terkandung dalam Babad Dalem Sidakarya ini agar jika
menilai sesorang jangan melihat pisiknya saja. Berbuat yang senonoh dan tidak
menghargai orang lain merupakan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu pasti akan ada
pahalanya.
Struktur pertunjukan dalam garapan ini berbeda dengan pertunjukan wayang
tradisi, perbedaan tersebut terletak pada pada pemakaian kelir yang berputar (rotated
stage) dengan empat sisi. Ukuran dan bentuk motif-motif baru wayang mencapai tinggi
65 cm, pemakaian wayang golek dan manusia sebagai teater. Pemakaian sistem lampu
sebagai trk-trik pendukung garapan ini sehingga selaras dengan perkembangan jaman,
namun tetap menjaga nilai-nilai seni pewayangan itu sendiri.
51
5.2 Saran
Munculnya karya-karya yang berkualitas yang siap bersaing dengan seni
pertunjukan modern lainnya merupakan anugrah yang sangat besar. Berdasarkan hal
tersebut penggarap sangat berharap para seniman dalang-dalang terutama teman-teman
yang masih mengenyam pendidikan dikampus ISI Denpasar, semakin memperluas
pengethuan, keterampilan tentang pewayangan dengan cara;
1. Belajarlah dengan sungguh-sungguh tentang pewayangan maupun literatur-
literatur pendukung lainnya.
2. Berani membuat terobosan baru baik itu bentuk, teknik maupun gerak wayang itu
sendiri.
3. Mampu akan menyesuaikan diri pada semua lapisan masyarakat untuk menyerap
situasi maupun kondisi yang berkembang. Hal ini dimaksudkan agar bisa nantinya
digunakan sebagai bahan-bahan pementasan.
4. Berani dan harus mampu mentraspormasikan hal-hal yang baru kedalam seni
pertunjukan wayang kulit. Seperti babad petopengan, penomena alam, kasus-
kasus, dan tragedi yang di transpormasikan ke dalam pertunjukan wayang kulit.
5. Selalu siap bersaing dan berkompotisi di kancah yang lebih tinggi (Internasional).
6. Mintalah hak-hak yang semestinya harus di dapat dalam perkuliahan seperti;
serana pendukung untuk kelancaran TA saudara nanti.
7. Selalu bercermin dari kegagalan yang saudara lihat saat mendukung, menonton,
dan menilai karya-karya seni yang terdahulu.
8. Hilangkan sifat-sifat malas, egois pada diri sendiri ketika saudara mendukung
karya seni,
52
DAFTAR PUSTAKA
Amir Hasim, 1997. Nilai-nilai Etis dalam Wayang; Pustaka Sinar Harapan.
Bandem, I Made.1996. Teater Daerah Indonesia ; Kanisius
__________. 1981/1982. Wimba Wayang Kulit Ramayana: Ketut Madra, Denpasar; Proyek penggalian/ pembinana Seni Budaya Klasik/ Tradisional dan Baru.
Catra, I Nyoman. 2007. Imba Panopengan Sidakarya. Program Rutin UPTD Taman Budaya Propinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar.
Djelantik, A.A. Made. 2004. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung; Majalah Seni
Petunjukan Indonesia.
Kantun, I Nyoman dan I Ketut Yadya. 2003. Babad Bebali Sidakarya. Denpasar
berbentuk buku pupuh dan lontar (Tanpa Penerbit).
Mulyono, Sri. 1975. Asal-usul, Filsafat dan Masa depannya Wayang. Jakarta; CV Haji Masagung.
__________. 1983. Simbulisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta; PT Gunung Agung
__________. 1988. Wayang dan karakter manusia. Jakarta; CV Haji Masagung
Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta :PT
Pustaka Utama Grafiti.
Rota, Ketut. 1977/1978. ”Pewayangan Bali”. Laporan penelitian proyek peningkatan dan pengembangan ASTI Denpasar.
__________. 1990. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertujukan wayang Kulit Bali. Proyek Peningkatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, Derektorat jendral Pendidikan Tinggi Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan STSI Denpasar.
Sedana, I Nyoman. 2002. ”Pertunjukan Wayang Kulit Bali Antara Tradisi dan
Inovasi”. Jurnal Seni Budaya Mudra Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar.
53
Sedyawati danDamano, (2007; 33) Karekter Wayang yang Multifungsional. Jakarta
CV Haji Masagung.
Sumandyo Hadi, Alma M. Hawkins. 1990;1994. Mencipta Lewat Tari, Creating
Through Dance.Jakarta; PT Gunung Agung.
Sunandar Asep. 2008. Wayang Golek Sunda. Surakarta; Fa “Ti Jasa
Wicaksana, I Dewa Ketut. 2005.”Pakeliran Layar Lebar Kreativitas Wayang Berbasis
Lokal Berwawasan Global”, Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan (Volume
4 no.1) Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar.
54
DAFTAR INFORMAN
1. Nama ; I Nyoman Sukada
Tempat tanggal Lahir ; Mengwi, 12 April 1950
Jenis kelamin ; Laki
Pendidikan ; Doktor Master Agama
Status ; Kawin
Pekerjaan ; Pensiunan PNS, Ketua Parisada Badung, penulis.
Alamat ; Banjar Denkayu, Kecamatan Mengwi, Badung.
2. Nama ; I Gusti Ngurah Windia
Tempat tanggal lahir ; Petang, 7 maret 1949
Jenis kelamin ; Laki
Pendidikan ;Sekolah rakyat
Status ; Kawin
Pekerjaan ; Seniman topeng, dan dalang
Alamat ; Banjar Carangsari, Petang, Badung
Foto wayang golek tokoh Sangkya atau Sidakarya
Foto wayang golek tokoh Dendang atau Panakawan
Foto wayang golek tokoh Pangkur atau Panakawan
Foto wayang kulit motif Kayonan dengan Acintya
Foto wayang kulit motif kayonan terbaru skill Joblar
Foto wayang kulit tokoh Pemangku dan Rakyat
Foto wayang kulit tokoh pemangku mengendarai sepeda
Foto wayang kulit tokoh perempuan
Foto wayang kulit tokoh pecalang
Foto wayang kulit tokoh patih dan bendesa
Foto wayang kulit tokoh Glebung dan Kreceb
Foto wayng kulit tokoh Dalem Waturenggong dengan kedua panakawannya
Proses latihan penggarap dengan pendukung
Proses persiapan garapan
Proses pementasan tahap revisi dan finishing
Proses pementasan revisi dan finishing
Pementasan di Natya Mandala
Proses pembuatan wayang kulit oleh penggarap
Proses pembuatan wayang golek oleh penggarap