kotabaru 1942-1946 : dari markas militer ke …

15
KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE PEMUKIMAN ELIT PRIBUMI Achmad Sofyan Sarjana Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak Kotabaru adalah sebuah kawasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana sebuah kota yang sengaja dibangun untuk masyarakat Eropa ini berubah fungsi menjadi markas militer tentara Jepang di Yogyakarta dan kemudian berubah menjadi pemukiman elit pribumi di Yogyakarta. Perubahan fungsi tersebut diikuti pula dengan dampak yang signifikan antara penguni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya. Melalui metode penelitian sejarah (Heuristik-Kritik-Intrepetasi-Historiografi) kajian ini akan membahas perubahan fungsi tersebut. Kotabaru dibangun sebagai sebuah pemukiman khusus orang Eropa di Yogyakarta. Kedatangan bala tentara militer Jepang ke Yogyakarta menjadikan Kotabaru sebagai markas militer, gudang amunisi dan penjara interniran. Pada masa Revolusi Indonesia Kotabaru berubah fungsi menjadi pemukiman elit pribumi yang mampu membayar hak sewa atas tanah kraton Yogyakarta. Perubahan tersebut membawa dampak hubungan antara penghuni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya berubah. Selain hal tersebut kriminalitas dan kejahatan banyak terjadi di Kotabaru akibat dari perubahan tersebut. KOTABARU 1942-1946 : From Japanese Army Military To Elite Residental Indigenous Abstract Kotabaru is an interesting area to be studied. How does a town that was purposely built for the European society is changing functions to be military bases japanese army in Yogyakarta and then changed into the native elite settlement in Yogyakarta. The function changes in the follow also with a significant impact between the occupant Kotabaru surrounding villagers. Through the method of writing history (Heuristics - Criticism - Interpretation - Historiography) This study will discuss the changes in the function. Kotabaru built as a special settlement of Europeans in Yogyakarta. The arrival of the Japanese military troops to Yogyakarta makes Kotabaru as military bases, prisons and internment. During the Indonesian revolution, Kotabaru changed into residential indigenous elite who can afford the rent on land rights Kraton Yogyakarta. The changes take effect the relationship between the occupants Kotabaru surrounding villagers changed. Besides it is a lot of crime and crime occurs in Kotabaru result of the changes. Keywords : Kotabaru, Changes, Effect, Settlement, Military 1. Pendahuluan Ketika sebuah kota mulai padat baik itu kota industri maupun kota metropolitan. Maka kebutuhan akan sebuah kawasan baru yang akan digunakan untuk aktivitas masyarakat Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

KOTABARU 1942-1946 :

DARI MARKAS MILITER KE PEMUKIMAN ELIT PRIBUMI

Achmad Sofyan

Sarjana Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstrak

Kotabaru adalah sebuah kawasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana sebuah kota yang sengaja dibangun

untuk masyarakat Eropa ini berubah fungsi menjadi markas militer tentara Jepang di Yogyakarta dan kemudian

berubah menjadi pemukiman elit pribumi di Yogyakarta. Perubahan fungsi tersebut diikuti pula dengan dampak

yang signifikan antara penguni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya. Melalui metode penelitian

sejarah (Heuristik-Kritik-Intrepetasi-Historiografi) kajian ini akan membahas perubahan fungsi tersebut.

Kotabaru dibangun sebagai sebuah pemukiman khusus orang Eropa di Yogyakarta. Kedatangan bala tentara

militer Jepang ke Yogyakarta menjadikan Kotabaru sebagai markas militer, gudang amunisi dan penjara

interniran. Pada masa Revolusi Indonesia Kotabaru berubah fungsi menjadi pemukiman elit pribumi yang

mampu membayar hak sewa atas tanah kraton Yogyakarta. Perubahan tersebut membawa dampak hubungan

antara penghuni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya berubah. Selain hal tersebut kriminalitas dan

kejahatan banyak terjadi di Kotabaru akibat dari perubahan tersebut.

KOTABARU 1942-1946 :

From Japanese Army Military To Elite Residental Indigenous

Abstract

Kotabaru is an interesting area to be studied. How does a town that was purposely built for the European society

is changing functions to be military bases japanese army in Yogyakarta and then changed into the native elite

settlement in Yogyakarta. The function changes in the follow also with a significant impact between the

occupant Kotabaru surrounding villagers. Through the method of writing history (Heuristics - Criticism -

Interpretation - Historiography) This study will discuss the changes in the function. Kotabaru built as a special

settlement of Europeans in Yogyakarta. The arrival of the Japanese military troops to Yogyakarta makes

Kotabaru as military bases, prisons and internment. During the Indonesian revolution, Kotabaru changed into

residential indigenous elite who can afford the rent on land rights Kraton Yogyakarta. The changes take effect

the relationship between the occupants Kotabaru surrounding villagers changed. Besides it is a lot of crime and

crime occurs in Kotabaru result of the changes.

Keywords : Kotabaru, Changes, Effect, Settlement, Military

1. Pendahuluan

Ketika sebuah kota mulai padat baik itu kota

industri maupun kota metropolitan. Maka

kebutuhan akan sebuah kawasan baru yang

akan digunakan untuk aktivitas masyarakat

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 2: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

kota. Hal ini terkait dengan kebutuhan untuk

mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi

kepadatan penduduk atau kebutuhan akan

sebuah pemukiman yang baru (Hariyono , 2010

: 126). Permasalahan tersbut juga terjadi di

masa kolonialisme Belanda di Indonesia.

Kotabaru (Nieuwe Wijk) adalah sebuah kawasan

yang sengaja dibangun untuk menanggapi

masalah pemukiman masyarakat Eropa di

Yogyakarta. Pada tahun 1917 perluasan kota ke

Utara kota Yogyakarta semakin luas. Termasuk

kawasan Kotabaru. Kotabaru adalah sebuah

kawasan yang dibangun oleh pemerintah

kolonial Belanda yang menganut politik segresi

dalam hal pemukiman. Dalam hal ini

pemerintah kolonial Belanda membuat wilayah

atau kawasan tersendiri untuk warganya serta

terpisah dengan penduduk pribumi dan etnis

lainnya (Nurhajarini, 2012 : 52). Kota

Yogyakarta dibangun dengan beberapa kawasan

tertentu untuk etnis tertentu. Didaerah Kauman

terdapat etnis Arab yang ada di Yogyakarta.

Etnis Cina berada di wilayah perekonomian

didaerah Malioboro. Sedangkan untuk pribumi

tersebar di beberapa penjuru kota Yogyakarta.

Kotabaru dibangun secara khusus untuk

pemukiman orang Eropa. Setelah adanya RUU

Agraria yang memperbolehkan pihak swasta

menanamkan modalnya di Indonesia. Sebelum

Kotabaru dikembangkan, penduduk Belanda

yang ada di Yogyakarta berjumlah 400 orang

dan bermukim di sekitar Kraton dan benteng

Vradeburg. Selain kedua tempat tersebut ada

juga yang bermukim di sebelah Timur benteng

yang dikenal sebagai Loji Kecil (Surjomihardjo,

2008 : 21). Selanjutnya pemukiman untuk orang

Eropa bergerak ke arah Utara Kraton. Kawasan

Bintaran dijadikan sebagai pemukiman orang

Eropa di Yogyakarta. Ketika Bintaran semakin

sesak dengan kehadiran orang Eropa. Residen

Belanda yang ada di Yogyakarta Cornelis

Canne meminta ijin kepada Sultan untuk

mengijinkan menggunakan lahan yang ada di

sebelah Timur Sungai Code.

Permohonan ijin tersebut diatur dalam

Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 12

tahun 1917. Peraturan ini membahas tentang

pemberian lahan dan wewenang membuat

bangunan, jalan, taman, dan perawatannya.

Sedangkan untuk penggunaan tanah tersebut

diatur oleh Commisie van Sultanaat Werken.

Pembangunan Kotabaru diketuai oleh Ir. L. VR.

Bijleveld (Hudiyanto ,1997 : 71). Pembangunan

Kotabaru dilakukan dari tahun 1917 sampai

dengan 1924 dan menghabiskan biaya yang

cukup besar untuk menambah fasilitas

penunjang yang ada seperti bangunan, jalan,

drainase, taman kota dan lainnya.

Perluasan kota (Bowplan) di Indonesia sudah

dilakukan sejak dua dekade awal abad 20. Salah

satu alasan perluasan kota tersebut adalah

membangun pemukiman khusus yang dihuni

oleh penduduk Eropa. Selain Kotabaru

setidaknya terdapat dua kota yang dibangun

sebagai usaha untuk pemukiman elit tersebut

yakni Malang yang dibangun didaerah Tjelaket

dan Rampai pada tahun 1917 dan Menteng

Jakarta yang dibangun tahun 1919. Daerah

Malang dipergunakan sebagai pemukiman

pemilik perkebunan yang banyak terdapat di

Malang. Menteng dijadikan sebagai pemukiman

para pejabat Belanda yang menjalankan

pemerintahannya di Batavia. Sedangkan

Kotabaru dibuat dalam kedua hal tersebut.

Hunian untuk pelaku bisnis perkebunan serta

hunian bagi pejabat yang menjalankan

pemerintahan Hindia Belanda di Yogyakarta.

Kotabaru berkembang tidak hanya sebagai

kawasan pemukiman, tetapi merupakan sebuah

perkotaan baru yang memiliki sarana penunjang

yang lengkap seperti sekolah, tempat ibadah,

sarana olahraga, fasilitas keamanan, sarana

kebersihan lingkungan dan kenyamanan lainnya

(Hudiyanto, 1997 : 79). Kotabaru atau yang

sering disebut dengan Nieuwe Wijk merupakan

sebuah produk dari perencanaan kota yang

matang. Mulai dari kawasan dengan pola radial

yang sangat rapi. Ditambah dengan jalan

boulevard yang besar dan ditumbuhi oleh

pepohonan yang rindang sepanjang jalan.

Hingga infrastruktur yang terbaik di kota

Yogyakarta.

Nieuwe Wijk berkembang sebagai sebuah

pemukiman yang dapat berdiri sendiri tanpa

perlu adanya hubungan dengan bagian kota

Yogyakarta lama (Kartodirdjo, 1978 :

CCLXVI). Pembangunan Kotabaru mengikuti

konsep garden city nya Howard. Konsep ini

dibuat sebagai imbas dari berbagai masalah

yang ditimbulkan oleh revolusi Industri di

Inggris pada akhir abad 19 (Marsitawati, 2007 :

45). Di Indonesia sendiri konsep garden city

(kota taman) mulai berkembang sejak tahun

1870. Pada tahun inilah titik awal

perkembangan kota-kota besar di Jawa. Thomas

Karsten, Maclaine Pont, Tillema dan lainnya

adalah beberapa nama yang mengenalkan

konsep tersebut di Indonesia.

Pembangunan Kotabaru yang cukup pesat pada

masa kolonial Belanda terhenti ketika bala

tentara militer Jepang menduduki Yogyakarta.

Pada tahun 1942 Jepang menguasai Hindia

Belanda. Kotabaru yang memiliki bangunan

besar dijadikan sebagai markas militer tentara

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 3: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Jepang, penjara interniran Belanda dan gudang

amunisi tentara Jepang di Kotabaru. Salah satu

tempat yang dijadikan sebagai gudang amunisi

dan penjara interniran Belanda adalah Gereja

San Antonius yang tidak lagi berfungsi sebagai

gereja. Pada masa pendudukan bala tentara

militer Jepang Kotabaru terjadi pertempuran

antara Tentara Keamanan Republik dan bala

tentara Jepang di stadion Kridosono Kotabaru.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia

Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan

fungsi. Kotabaru berubah menjadi pemukiman

elit pribumi yang mampu membayar sewa atas

hak tanah Kraton. Penduduk pribumi mulai

masuk ke daerah Kotabaru untuk melihat-lihat

rumah yang kosong dan memilik yang cocok

untuk ditinggali keluarganya (Fakih, 2008 : 1).

Selain menjadi pemukiman elit, Kotabaru juga

digunakan sebagai tempat tinggal pejabat

pemerintahan dan kantor pemerintahan

Republik Indonesia ketika Ibu kota Republik

Indonesia berpindah ke Yogyakarta.

Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Kotabaru

merupakan sebuah wilayah yang mengalami

tiga masa. Masa kolonialisme Belanda, masa

pendudukan bala tentara militer Jepang dan

masa kemerdekaan Indonesia. Kotabaru juga

mengalami perubahan yang signifikan dalam

tiga masa tersebut. Tentu saja perubahan-

perubahan fungsi yang terjadi membuat dampak

yang tidak kecil terhadap kampung sekitarnya.

Kotabaru yang pada awalnya sebuah daerah

tertutup dan memiliki penjagaan yang ketat.

Berubah menjadi sebuah pemukiman yang

terbuka dan memiliki tingkat keamanan yang

tidak ketat.

Karena itu saya ingin menjelaskan bagaimana

perubahan fungsi tersebut terjadi dan apa

dampak dari perubahan fungsi Kotabaru

tersebut. Selain hal tersebut saya juga akan

menjelaskan bagaimana Kotabaru pada masa

pendudukan bala tentara Jepang di Yogyakarta

dan bagaimana pemanfaatan Kotabaru oleh bala

tentara militer Jepang.

2. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah perlu didukung

oleh suatu metode penelitian. Fungsi dari

metode penelitian tersebut sangatlah penting

karena merupakan faktor penentu dari proses

pengumpulan informasi dan berperan penting

dalam berhasil tidaknya suatu penelitian.

Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah

adalah kumpulan-kumpulan prinsip-prinsip atau

aturan yang sistematis, dimaksudkan untuk

memberikan bantuan secara efektif didalam

usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi

sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian

menyajikan suatu sistem dari pada hasil-

hasilnya dalam bentuk tertulis (Notosusanto,

1978 : 11)

Proses pertama adalah Heuristik, atau proses

pencarian dan menemukan sumber-sumber atau

data-data. Koleksi buku Perpustakaan Pusat UI,

Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata

Dharma, Jogjakarta Library Center,

Perpustakaan Kolese Santo Ignatius, Arsip

Nasional, dan koleksi pribadi. Pada tahap ini

peneliti mengumpulkan bahan atau sumber-

sumber yang menurut peneliti terkait dengan

topik penelitian. Sumber tersebut bisa

didapatkan baik secara primer ataupun sekunder

yang berhubungan dengan sejarah Yogyakarta,

kota kolonial dan Kotabaru Yogyakarta periode

1920-1950.

Setelah beberapa sumber didapatkan kemudian

penulis melakukan kritik. tahapan ini bertujuan

untuk mencari otentitas atau keaslian data-data

yang diperoleh. Dalam tahap ini penulis

melakukan pemilihan sumber-sumber yang

layak atau tidak untuk dijadikan sumber

referensi penelitian.

Proses selanjutnya adalah Interpretasi, yaitu

pembeberan dan permaknaan dari semua data-

data yang telah teruji itu. Pada bagian ini

penulis berusaha untuk menganalisa masalah

yang menjadi fokus penelitian. Pendekatan

yang dilakukan penulis dalam menganalisa atau

mengintrepetasikan sebuah fakta dalam

penelitian ini adalah pendekatan ilmu Sejarah

dan ilmu Sosiologi. Pada tahapan ini penulis

akan melakukan analisis, yaitu mengurai

beberapa fakta dari sumber-sumber yang ada.

Dalam hal ini penulis menempatkan buku-buku

dan Arsip Perpustakaan Museum Sono Budoyo

Yogyakarta sebagai sumber analisis. Penulis

melakukan analisis Arsip tersebut karena Arsip

Perpustakaan Museum Sono Budoyo

menggambarkan laporan yang dilakukan oleh

pemerintah residen Belanda kepada pemerintah

pusat Belanda.

Selanjutnya yang terakhir adalah Historiografi,

Pada tahapan ini penulis merangkai fakta-fakta

yang telah diinterpretasi, dari berbagai sumber

baik sumber primer maupun sumber sekunder

menjadi sebuah tulisan. Sistem penulisan yang

penulis pakai dalam penelitian ini adalah

sinstem penulisan deskriptif-analisis yang

mencoba menggambarkan dan menganalisis

setiap rangakaian peristiwa-peristiwa dalam

hubungannya terhadap topik penelitian penulis

(Gottschalk, 1975 : 14).

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 4: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Objek Penelitian dikumpulkan dari sumber-

sumber otentik yaitu buku-buku yang

membahas tentang Kota Yogyakarta periode

1942-1950 untuk menggambarkan bagaimana

keadaan Kota Yogyakarta pada periode

tersebut. Analisis terhadap Arsip Rijksblaad van

Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917 dan

1918 dilakukan untuk menambah

penggambaran perkembangan Kotabaru sebagai

pemukiman awal yang secara sengaja dibangun

untuk kepentingan penduduk Eropa di Yogyakarta.

3. Isi dan Pembahasan

Perkembangan perkebunan yang terjadi di

Yogyakarta setelah berlakunya UU Agraria

membuat pengusaha swasta yang berasal dari

golongan liberal Belanda berdatangan ke

Yogyakarta untuk mengembangkan usaha

mereka dibidang perkebunan.

Tabel 1. Penduduk Yogyakarta tahun 1845

Penduduk Jumlah Penduduk

Eropa 664

Cina 1.063

Arab / Melayu 55

Pribumi 43.385

Vincent Houben : 1994 : 321

Dari tabel 1 bisa dilihat bahwa penduduk Eropa

hanya berjumlah 664 orang dan mereka pada

awalnya hanya menetap di dalam benteng

Kraton dan Vredeburg. Sedangkan penduduk

lainnya tinggal dan menetap di luar benteng

Kraton dan Vredeburg.

Tabel 2. Penduduk Yogyakarta tahun 1920 dan

tahun 1930

N

o

Pendud

uk

Tahun Kenaik

an 1920 1930

1 Pribum

i

94.254 121.893 27.639

2 Eropa 3.730 5.603 1.873

3 Cina 5.643 8.894 3.251

Freek Colombijn : 2005 : 37

Dalam tabel 2 pertumbuhan penduduk Eropa

dalam kurun waktu 10 tahun (1920-1930) naik

hingga lebih dari 1873 orang. Kenaikan

penduduk Eropa dikarenakan perkembangan

perkebunan di Yogyakarta yang mengakibatkan

banyaknya perusahaan swasta asal Belanda di

Yogyakarta.

Kemunculan pabrik gula dibuka dengan cara

menyewa tanah negara atau dengan menyewa

tanah penduduk selama 75 tahun. Tanah

penduduk yang disewa oleh pengusaha

perkebunan pada umumnya berupa lahan

pesawahan. Hal ini dikarenakan tebu

membutuhkan sistem pengairan dan kesuburan

tanah yang hampir sama dengan padi (Sulistyo,

1995 : 16). Setidaknya ada 30 pabrik gula yang

berkembang di Yogyakarta.

Tabel 3. Pabrik Gula di Yogyakarta

Daerah Perkebunan Keterangan

Bantul

Bantul Tebu

Gesikan Tebu

Pundung Tebu

Mengkang Rejo Nila dan Tebu

Sleman

Ngemplak Tebu

Klaci Tebu

Padokan Tebu

Cebongan Tebu

Ganjuran Tebu

Tegal Weru Tebu

Rewulo Tebu

Sonosewu Nila

Demak Ijo Nila

Kebon Agung Nila

Mlati Nila dan Tebu

Pendulan Nila

Duku Nila

Pisangan Nila

Mringin Nila

Kenayan Nila

Ngoto Nila

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 5: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Kalasan

Salakan

Petorono

Nila

Salakan Lor Nila

Wanujoyo Nila

Muja-Muju Nila

Barongan Tebu

Plered Tebu

Tanjung Tirto Tebu

Rejo Sari Tembakau

Siluk Lanteng Tembakau

Majalah Prisma : 1983 : 78

Berkembangnya perkebunan-perkebunan di

Yogyakarta membutuhkan transportasi untuk

mendistribusikan hasil-hasil perkebunan. Pada 2

Maret 1872 Nederlandsch Indische

Spoorwegmaatshapijj (NIS) mengajukan

permohonan untuk membuka jalur kereta api.

Realisasi dari permohonan tersebut adalah

dibukanya stasiun Lempuyangan (Gunawan,

1993 : 26)

Kenaikan penduduk karena perkembangan

perkebunan tersebut memaksa residen Cornelis

Canne di Yogyakarta untuk membuat sebuah

pemukiman yang sanggup menampung

penduduk Eropa di Yogyakarta. Kotabaru

Yogyakarta dibangun dengan suasana yang

hampir mirip dengan kota di Belanda. Nieuwe

Wijk yang semula adalah lahan kosong milik

Sultan yang disewa oleh pemerintah kolonial

Belanda. Lahan yang disewa ini memiliki

topografi permukaan tanah yang bergelombang

dan penuh dengan semak belukar (Yose, 2011 :

32).

Pemilihan lahan tersebut dinilai sangat strategis

karena berada di sebelah Timur Sungai Code

(Trisatya, 2011 : 1). Sebelah Selatan nya

terdapat stasiun kereta api lempuyangan yang

sering digunakan untuk transportasi darat

menuju Semarang atau Solo. Kedua hal tersebut

memenuhi kebutuhan air dan transportasi

(Hudiyanto, 1997 : 71).

Gambar 1. Peta Kotabaru Yogyakarta tahun

1925 (Reza Hudiyanto : 1997 : 135)

Dari gambar tersebut Kotabaru memiliki letak

yang strategis dan memiliki fasilitas

didalamnya. Batas Kotabaru (Niuewe Wijk)

sebelah Utara berbatasan dengan daerah

Terban, sebelah Barat berbatasan langsung

dengan Sungai Code, sebelah Timur berbatasan

dengan Klitren dan sebelah Selatan berbatasan

dengan Stasiun Lempuyangan.

Kedatangan bala tentara militer Jepang ke

Indonesia dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan minyak yang akan digunakan

sebagai bahan bakar dalam perang melawan

Cina (Colombijn, 2010 : 36). Kebutuhan akan

minyak bumi tersebut membuat negara-negara

yang berperang melakukan ekspansinya ke

negara-negara penghasil minyak bumi. Bala

tentara militer Jepang dalam tahap ekspansinya

melakukan propaganda awal terlebih dahulu.

Toko-toko didaerah Ketandan, Malioboro dan

Kranggan dibuka dengan harga yang sangat

murah dan memiliki pelayanan yang sangat

ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh

orang Belanda dimana harga yang dipatok

sangat mahal dan memiliki pelayanan yang

tidak baik (Lienau, 1976 : 9).

Propaganda yang dilakukan oleh Jepang ini

bermaksud untuk mencari simpati masyarakat

Yogyakarta. Setelah dirasa cukup menarik

simpati masyarakat Yogyakarta. Perlahan-lahan

pengusaha toko Jepang yang ada di Yogyakarta

menghilang dari pandangan masyarakat. Sejak

tanggal 28 Februari sampai dengan tanggal 1

Maret 1942 pasukan tentara ke XVI Angkatan

Darat Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau

Jawa yaitu di Banten, Eretan Wetan, dan

Kragan (Mudaryanti, 1979 : 33). Jepang mulai

masuk dan bergerak cepat ke seluruh kota-kota

besar yang ada di Pulau Jawa. Rembang,

Semarang, Magelang, Surakarta dan

Yogyakarta berhasil dikuasai dengan cepat.

Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang masuk ke

Yogyakarta melalui Surakarta dengan tidak

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 6: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

mendapay perlawanan dari pihak Belanda

(Lienau, 1979 : 21).

Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai sejak

8 Maret 1942 dengan penyerahan tak bersyarat

Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda

Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen

Hitoshi Imamura di Kalijati (Setyawati, 1993 ;

20). Penyerahan tersebut diikuti pula dengan

penyerahan daerah-daerah lainnya dari pejabat

Hindia Belanda. Di Yogyakarta penyerahan

dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang

tamu kediaman Gubernur L. Adam yang pada

saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia

Belanda di Yogyakarta (Lienau, 1976 : 22).

Sejak penyerahan tersebut penduduk

Yogyakarta menyaksikan tentara KNIL

(Koninklijk Nederlands Indisch Leger) keluar

dari kota Yogyakarta. Tentara KNIL tersebut

membawa segala macam peralatan perangnya

dan bergerak ke arah Barat keluar Kota

Yogyakarta (Lienau, 1976 : 23).

Ketika penduduk Hindia Belanda meninggalkan

rumahnya di Kotabaru serta kedatangan Jepang

ke Indonesia perumahan Kotabaru diambil alih

oleh pemerintahan Yogyakarta dan disewakan

kepada penduduk pribumi yang bersedia

membayar sewa (Fakih, 2008 : 1). Sejak Jepang

memerintah di Yogyakarta segala sesuatu yang

menyangkut dengan Belanda dihapuskan.

Balatentara Jepang menyuruh penduduk

kampung untuk mencuri isi rumah Belanda

yang telah ditinggalkan (Tashadi, 1991 : 12).

Hal ini menimbulkan kekacauan karena

penduduk kampung memasuki dan mengambil

seluruh isi rumah dan gedung yang telah

ditinggalkan penghuninya. Situasi ini kemudian

dimanfaatkan balatentara militer Jepang untuk

mengeluarkan Undang-undang yang melarang

perampasan. Mereka bahkan memerintahkan

agar semua barang rampasan dikembalikan dan

dikumpulkan di suatu tempat yang ditentukan

oleh balatentara Jepang (Tashadi, 1991 : 13 ).

Bangunan-bangunan yang ditinggalkan oleh

pemerintahan kolonial Belanda mengalami

perubahan fungsi ketika pemerintahan Jepang

memerintah di Indonesia, termasuk kawasan

Nieuwe Wijk (kotabaru) Yogyakarta. Kotabaru

yang pada masa kolonial Belanda dijadikan

sebagai pemukiman khusus orang Eropa di

Yogyakarta, berubah fungsi menjadi salah satu

markas kekuatan militer di Yogyakarta selain

benteng Vredeburg. Hal ini bisa di maklumi

karena pada saat kolonialisme Belanda Niuwe

Wijk adalah salah satu kawasan yang lengkap

karena terdapat rumah sakit Petronella dan

Gereja Santo Antonius. Selain itu Kotabaru

memiliki wilayah strategis di Yogyakarta.

Selain dipergunakan sebagai salah satu markas

militer Jepang di Yogyakarta, kawasan

Kotabaru juga digunakan untuk kepentingan

perkantoran, perumahan, tangsi, dan gudang.

Bangunan-bangunan di kawasan Kotabaru yang

besar dan luas seperti bangunan Gereja Santo

Antonius dipergunakan oleh tentara Jepang

sebagai gudang senjata dan amunisi tentara

Jepang lainnya. Sebagai contoh markas militer

Jepang, Kidobutai (markas tentara inti Jepang)

terletak di sebelah Timur stadion Kridosono.

Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru

(Nieuwe Wijk Katholieke Kerk) yang terletak di

antara Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan I Dewa

Nyoman Oka. Gereja tersebut dibangun oleh

Romo F. Strater pada tahun 1922 sampai 1926.

Gereja ini dibuat untuk melayani ibadah Jemaah

katolik di Kotabaru. pada masa pendudukan

Jepang gereja ini berubah fungsi menjadi

tempat penampungan suster-suster dan wanita-

wanita interniran Belanda. Salah satu bangunan

yang masih masuk dalam Gereja Santo

Antonius yakni Seminari Tinggi dijadikan

sebagai kantor tentara Jepang. Beberapa

bangunan lainnya dijadikan sebagai gudang

untuk menyimpan peluru serta amunisi lainnya

(Trisatya, 2011 : 66). Setelah Jepang

mengalami kekalahan dalam Perang Dunia

tahun 1945 Gereja ini berfungsi kembali

sebagai gereja seperti semula.

Gereja lainnya yang ada di Kotabaru adalah

Gereja Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk

Djogja) yang terletak di Jalan I Dewa Nyoman

Oka 1 Kotabaru ini dibangun oleh masyarakat

Protestan berkebangsaan Belanda yang tidak

bisa mengikuti ibadah di Gereja Kristen Jawa

Gondokusuman yang menggunakan bahasa

Jawa sebagai bahasa pengantar. Gereja ini pada

masa pendudukan bala tentara militer Jepang

digunakan sebagai penjara bagi para wanita

interniran Belanda (Trisatya, 2011 : 68).

Setelah bom atom yang dijatuhkan Sekutu di

Hiroshima dan Nagasaki Jepang menyerah

kepada Sekutu dan berjanji akan memberikan

kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya.

Setelah melewati beberapa persiapan yang

dilakukan oleh PPKI yang diketuai oleh

Soekarno maka pada tanggal 17 Agustus 1945

dibawah tekanan balatentara militer Jepang,

Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya

(Darto, 1990 : 7). Atas nama bangsa Indonesia

teks proklamasi dibacakan dengan lantang oleh

Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Moh.

Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita

terkait dengan proklamasi tersebut cepat

menyebar di Jakarta dan sekitarnya.

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 7: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Berbeda dengan di Jakarta, para pemuda yang

ada di daerah tidak bisa mengetahui berita

proklamasi tersebut secara tepat dikarenakan

kantor Radio Hosonkyuku dijaga dengan ketat

oleh pasukan Jepang. Kemerdekaan yang telah

di proklamirkan dilarang disebarluaskan oleh

Gunseikan Bu. Pemerintah Jepang berusaha

merahasiakan kemerdekaan Indonesia

(Nurhajarini, 2012 : 58). Namun tidak lama

kemudian datanglah sekelompok pemuda dan

mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 yang

dipelopori oleh Chairul Saleh dengan tujuan

merebut gedung siaran tersebut. setelah berhasil

melucuti penjaga gedung tersebut dengan tanpa

persetujuan dan sepengetahuan pemerintah

Jepang berita proklamasi itu segera disiarkan ke

penjuru tanah air (Darto, 1990 : 7).

Bagi masyarakat daerah Yogyakarta pada

umumnya berita mengenai proklamasi tersebut

baru bisa diketahui sekitar jam 12.00 siang.

Kantor berita Domei cabang Yogyakarta baru

mendapat kabar dari kantor Domei pusat. Berita

proklamasi akhirnya bisa sampai ke desa-desa

walaupun dilakukan hanya dari mulut ke mulut.

Proklamasi yang dibacakan pada hari Jumat pun

sangat mungkin disampaikan oleh para pemuka

agama setelah melakukan sembahyang Jumat,

melaui Masjid Kauman dan Masjid Pakualaman

mereka menyebarkan berita ini. Bahkan Ki

Hadjar Dewantara bersama masyarakat lainnya

menggunakan sepeda untuk berkeliling ke desa-

desa untuk menyebarkan berita tersebut agar

bisa diketahui oleh semua lapisan masyarakat

yang ada di Yogyakarta (Nurhajarini , 2012 :

59). Pada tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan

Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram

dan ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta

atas berdirinya Republik Indonesia dan

terpilihnya kedua tokoh itu sebagai presiden

dan wakil presiden. Pada tanggal 5 September

1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri

Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan

pernyataan yang menyebutkan bahwa negeri

Ngayogyakarta Hadiningrat dan negeri

Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah

daaerah istimewa dari negara Republik

Indonesia (Nurhajarini, 2012 : 61). Antara

kedua daerah tersebut dengan pusat negara

Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua

penguasanya bertanggungjawab secara

langsung kepada presiden Republik Indonesia.

Dukungan yang diberikan oleh kedua pemimpin

Yogyakarta tersebut menyulut semangat yang

besar bagi masyarakat Yogyakarta. Semangat

kemerdekaan digambarkan dengan berkibarnya

bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh

wilayah Yogyakarta. Pengibaran bendera di

gedung Cokan Kantai pada tanggal 21

September 1945 mendapat perlawanan dari bala

tentara militer Jepang. Namun rakyat yang

sudah terbakar emosinya melakukan

perlawanan. Gerakan ini dibantu oleh satu

kompi Polisi Istimewa dengan senjata yang

lengkap (90 karabijn, 2 teki danto, 5 leuwis

machine gun, 1 water mantel, dan 3 buah truk)

(Nurhajarini, 2012 :65).

Dua hari berselang setelah peristiwa Cokan

Kantai Polisi Istimewa yang bermarkas di

Gayam dilucuti senjatanya. Pihak Jepang

menganggap bahwa Polisi Istimewa berbahaya

karena memiliki senjata yang lengkap.

Perundingan antara Komandan Polisi Istimewa

R,P Soedarsono dan Komandan tentara Jepang

tidak menghasilkan kesepakatan antara

keduanya. Sekitar pukul 21.00 WIB massa

bergerak mengepung markas Jepang di Gayam

dan merebut kembali senjata yang dilucuti bala

tentara militer Jepang.

Setelah beberapa bentrokan fisik yang terjadi

antara TKR, Masyarakat, Polisi Istimewa

dengan bala tentara militer Jepang.

Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Kotabaru

pun dilakukan. Gerakan yang dimulai dengan

pengambilalihan gedung Kooti Zimu Kyoku di

Kotabaru (bekas gedung Seminari Tinggi) yang

merupakan kantor pusat pemerintahan Jepang di

Yogyakarta (Suwarno, 1994 : 177).

Pengambilalihan ini pun berlangsung dengan

baik tanpa menimbulkan korban jiwa.

Pengambilalihan kekuasaan ini berakhir sekitar

pukul 20.00 WIB. Mereka berhasil merebut

beberapa pabrik dan kantor yang sudah menjadi

milik Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang

telah direbut antara lain adalah pusat Nanyo

Kohatsu, Jawatan Kehutanan, Daiken Sangyo,

Pabrik-pabrik gula di wilayah Bantul seperti

Padokan, Gesikan, Pundong, Gondanglipuro,

Pleret. Pabrik gula yang berhasil direbut di

wilayah Sleman adalah pabrik gula Tanjung

Tirto, Salakan, Beran, Cebongan, Rewulu, dan

Medari. Serta satu pabrik gula yang berada di

Kulon Progo yang berhasil dikuasai yakni

pabrik gula Sewugalur (Darto, 1990 : 17).

Usaha-usaha pelucutan senjata dan perebutan

kembali senjata serta perkantoran yang dimiliki

oleh tentara Jepang di Yogyakarta telah berhasil

dilakukan, tetapi di Yogyakarta masih terdapat

satu pusat markas tentara inti Jepang yaitu Mase

Butai yang berada di Kotabaru (Darto, 1990 :

44). Markas Jepang di Kotabaru ini mendapat

pengawalan yang ekstra ketat dari tentara

Jepang mengingat pentingnya markas ini

karena menjadi pusat kekuatan tentara Jepang

di Yogyakarta. Dipihak BKR di Yogyakarta,

markas Mase butai ini harus segera dikuasai

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 8: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

dan dilucuti semua persenjataan yang ada di

dalamnya.

Perundingan antara utusan tentara Indonesia

yang terdiri dari Moh. Saleh, R.P Soedarsono,

Bardosono, dan Sunjoto semuanya bertemu

dengan pimpinan tentara Jepang di Kotabaru

yang terdiri dari Budanco (Komandan Regu)

Mayor Otsuka, Kem Pei Taico (Komandan

Kempetai) Sasaki, yang bertempat di rumah

Budanco Mayor Otsuka di Kotabaru. Dalam

perundingan tersebut R.P Soedarsono meminta

agar Mayor Otsuka menyerahkan senjata

pasukannya kepihak Indonesia, namun

perundingan tersebut berakhir dengan jalan

buntu sehingga pimpinan BKR memutuskan

bahwa pelucutan senjata tentara Jepang harus

dilakukan melalui kekerasan (Marsudi, 1985 :

53).

Terhentinya perundingan ini ditandai pula

dengan penghinaan yang dilakukan Jepang

terhadap tentara Indonesia. Jepang

memerintahkan satu regu Polisi Istimewa untuk

masuk ke dalam gudang senjata Jepang dengan

membawa truk yang digunakan sebagai

pengangkut penyerahan senjata Jepang. Ketika

satu regu Polisi Istimewa tersebut memasuki

markas Kido Butai mereka hanya diberikan 5

pucuk senjata jenis karaben dan Mayor Otsuka

ketika itu tidak dapat menerima tuntutan untuk

menyerahkan senjata Jepang pada saat itu. Akan

tetapi ia berjanji akan menyanggupi penyerahan

senjata tentara Jepang pada keesokan harinya

pada pukul 10.00 setelah mendapat ijin dari

Jenderal Nakamura di Magelang (Marsudi,

1985 : 54).

Perundingan yang menemui jalan buntu dan

penghinaan yang dilakukan tentara Jepang

kepada tentara Indonesia mendapat tanggapan

dari semua tentara dan rakyat yang sudah siap

siaga disekitar markas tersebut. Polisi Istimewa,

BKR, dan rakyat sudah siap bertempur di

bawah pimpinan Umar Slamet yang menjabat

sebagai ketua BKR. Kekuatan tentara Jepang

yang ada di Kotabaru berjumlah sekitar 360

orang yang terlatih serta dibekali dengan senjata

yang lengkap. Sekitar pukul 04.00 terdengar

letusan granat yang menandai bahwa aliran

listrik pagar berduri yang berada di sekeliling

markas Jepang sudah dipadamkan. Semua

lapisan rakyat dan tentara yang sudah siap siaga

sejak sore bergerak menuju markas Jepang.

Mereka mendapat perlawanan yang sengit dari

tentara Jepang. Pasukan rakyat yang memiliki

semangat pantang menyerah terus masuk

kedalam markas yang menyebabkan terjadinya

pertempuran jarak dekat dengan tentara Jepang

dan berlangsung sampai siang hari (Suwarno,

1994 : 181).

Budanco tentara Jepang yang bermarkas di

Pingit datang ke Kotabaru dan menyerahkan

senjatanya kepada tentara Jepang dengan syarat

anak buahnya tidak diganggu. Selanjutnya

tentara Indonesia meminta agar Budanco Pingit

menasehati Mayor Otsuka agar mengikuti

jejaknya menyerahkan senjata. Mayor Otsuka

tetap bersikukuh untuk tidak menyerahkan

senjata-senjata tersebut. R.P Soedarsono dan

Moh. Saleh kemudian memasuki markas Jepang

dan menanyakan kepada Mayor Otsuka akan

penyerahan senjata. Akhirnya Mayor Otsuka

menyerahkan senjata tersebut kepada

Yogyakarta Koo. Sekitar pukul 11.00 siang

pasukan Jepang menyerah dan menghentikan

pertempuran (Suwarno, 1994 : 181).

Setelah pertempuran berakhir, tentara dan

rakyat bergerak masuk ke markas Jepang dan

mengambil semua senjata yang ada di dalam

markas tersebut. Satu truk sudah siaga

menunggu serta memberikan pengumuman agar

senjata api diserahkan dan dimasukkan kedalam

truk untuk dikumpulkan oleh BKR. Akan tetapi

ada saja yang tidak mengindahkan

pengumuman tersebut dan membawa pulang

senjata yang berhasil mereka rampas (Suwarno,

1994 : 182).

Pertempuran di Kotabaru membawa korban di

pihak Jepang 9 orang gugur dan kurang lebih

dua puluh orang luka-luka. Sedangkan di pihak

Indonesia korban jiwa akibat pertempuran

Kotabaru ini berjumlah 21 orang gugur dan 32

orang luka-luka. Mereka yang gugur

disemayamkan di Gedung Nasional (bekas

Cokan Kantai) dan pada pukul 16.00 17 orang

dimakamkan di Semaki (Taman Makam

Pahlawan Yogyakarta), 3 orang di makamkan di

Kauman, dan satu lagi di makamkan di makam

keluarga Glagah Yogyakarta (Suwarno, 1994 :

182).

Semua tawanan tentara Jepang dikumpulkan di

lapangan tangsi Kotabaru tanpa senjata.

Kemudian tentara Jepang dibariskan dan

berjalan melalui Malioboro menuju penjara

Wirogunan. Sebanyak 1300 tentara Jepang

ditawan oleh Polisi Istimewa di penjara

Wirogunan (Nurhajarini, 2012 : 68).

Berakhirnya pertempuran di Kotabaru berarti

berakhirnya kekuasaan Jepang di Yogyakarta.

Pemerintah Jepang menjadi tidak berdaya

menghadapi semangat dan tekad rakyat yang

telah menyerbu markas militer mereka.

Sebaliknya dipihak rakyat Yogyakarta akhir

pertempuran ini menegaskan kalau mereka

mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga

dan mempertahankan kemerdekaan yang

mereka raih dari ancaman-ancaman musuh.

Mereka juga mengkonsolidasikan diri dan

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 9: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

mempergiat penjagaan masing-masing

(Suratmin, 1983 : 231).

Pertempuran Kotabaru membuat Jepang tidak

lagi memiliki kuasa di Yogyakarta. Pada

tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang

membawa pasukan Belanda yang terdiri dari

KNIL ( Koninklijk Nederlands Indisch Leger)

dan NICA (Nederlands Indies Civiel

Administration) mendarat di Jakarta.

Kedatangan pasukan Belanda yang masuk

kedalam tentara Sekutu tersebut didasarkan

karena keinginan Belanda untuk kembali

menguasai Indonesia. Keinginan tersebut

tercermin dalam Perdana Menteri Belanda

Willem Schermerhorn sebagai berikut :

“Kalau tali yang mengikat Belanda dengan

Indonesia diputuskan akan ada pengurangan

secara permanen dalam penghasilan nasional

negeri Belanda, yang akan mengakibatkan

bahwa negeri Belanda akan jatuh miskin” (Reid, 1999 : 69).

Keinginan untuk menguasai Indonesia segera

dilakukan. Kedatangan tentara KNIL di Jakarta

menimbulkan kekacauan bahkan mengancam

pemimpin-pemimpin Indonesia di Jakarta.

Dengan mengendarai Jeep dan trucknya tentara

KNIL menembaki mobil pemimpin-pemimpin

Indonesia pada saat berpapasan di jalan

(Pramoedya Ananta Toer : 1999 : 69). Salah

satu contoh ancaman pasukan KNIL adalah

pada tanggal 19 Desember 1945 pukul 12.30.

Satu truk KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch

Leger) yang berisi 5 serdadu Belanda

menembaki mobil Perdana Menteri Sutan

Syahrir yang sedang melaju di daerah Menteng.

Dalam insiden ini Perdana Menteri Sutan

Syahrir berhasil menyelamatkan diri. Insiden

berikutnya terjadi ketika mobil Menteri

Penerangan dan Keamanan Amir Sjarifudin

yang berniat mengunjungi Presiden Soekarno di

Pegangsaan Timur No. 17 (Nasution, 1993 :

180).

Berita mengenai insiden yang dilakukan

terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan

Menteri Penerangan dan Keamanan Amir

Sjarifudin sampai juga ke Yogyakarta. Sultan

Hamengku Buwono IX sangat prihatin akan

insiden tersebut dan Sultan mengirimkan

ucapan selamat dan ikut senang dengan

lolosnya kedua pemimpin negara tersebut dari

maut sebagai berikut.

“Paduka Perdana Menteri Sutan Syahrir Jakarta.

Berhubung dengan terhindarnya Paduka Tuan

dari bahaya yang mengancam, kami

menghaturkan turut bersenang dan mendoakan

Paduka Tuan selamat sejahtera seterusnya.”

(Nasution, 1993 : 103).

Insiden-insiden yang terjadi di Jakarta

menyebabkan satu pemikiran Ibukota harus

segera di pindahkan ke Yogyakarta. Hal

tersebut dibahas dalam rapat antara Presiden

dan Menteri di Jakarta. Yogyakarta dipilih

menjadi Ibukota RI sementara karena beberapa

pertimbangan-pertimbangan yang telah

dipikirkan. Paling tidak ada tujuh alasan yang

menjadi pertimbangan tersebut, antara lain

adalah :

1. Tawaran dari Sri Sultan Hamengku

Buwono IX yang diketahui memiliki

wibawa yang besar dan kesetiaan yang

tinggi terhadap RI.

2. Yogyakarta merupakan daerah yang

secara organisasi dan proses demokratisasi

pemerintahan paling maju dibandingkan

dengan daerah-daerah lain di seluruh

wilayah RI.

3. Stabilitas sosialnya dan letaknya yang

berada di tengah-tengah Pulau Jawa.

4. Yogyakarta terletak di Jawa Tengah

bagian Selatan yang jauh dari jangkauan

musuh.

5. Letaknya sangat strategis, sehingga

hubungan Yogyakarta ke segala penjuru

cukup mudah, baik lewat transportasi

darat maupun udara. Disamping itu juga

sarana komunikasi memadai (radio dan

telegram).

6. Keberadaan markas besar Tentara

Keamanan Rakyat dengan Jenderal

Soedirman sebagai panglimanya dan

Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai

Kepala Staff Umum TKR. Selain kedua

hal tersebut di Yogyakarta juga terdapat

markas berbagai kesatuan bersenjata.

Diantaranya Laskar Rakyat Mataram

pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono

IX.

7. Suasana Yogyakarta yang revolusioner

dan Republiken (Wijayanto, 2011 : 44).

Setelah semua dirasa siap untuk memindahkan

Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta

proses keberangkatan dimulai ketika sederetan

gerbong kereta yang kosong perlahan-lahan

bergerak tanpa menimbulkan perhartian dari

patroli pasukan Belanda. Kereta tersebut

ditarik oleh lokomotif dari stasiun Manggarai

menuju rel Pegangsaaan Timur. Sebuah

gerbong dipisah secara sengaja untuk membuat

pengalihan. Gerbong tersebut ditempati oleh

Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarga

selain itu pemimpin-pemimpin pemerintah

yang ada di Jakarta pun ikut di dalam

rombongan (Wijayanto, 2011 : 46).

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 10: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Pada tanggal 4 Juni 1946 sekitar pukul 19.00

rombongan yang terdiri dari Soekarno, Hatta,

Mr. Amir Sjarifuddin (Menteri Penerangan dan

Kemanan Rakyat), I Wangsa Widjaja

(Sekertaris Wakil Presiden), Gaffar

Pringgodigdo SH (Sekertaris Negara). Dikawal

tiga belas orang polisi pilihan yang terdiri dari

Sukasah, Winarso, Supandi, Mangil, Rasmad,

Didi Kardi, Ramelan, Oding Suhendar,

Suhardjo, Sukanda, Sudio, Karnadi, dan

Muhammad Toha berangkat menuju

Yogyakarta dengan menggunakan kereta KLB

(Kereta Luar Biasa). Sekitar pukul 10.00 pagi

rombongan sampai stasiun Tugu dengan

selamat dan sudah ditunggu oleh Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam

VII.

Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia

untuk pertama kalinya disampaikan oleh

Presiden Soekarno di Yogyakarta pada

tanggal 6 Januari 1946 yang dimuat dalam

harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta sebagai

berikut.

“Saudara-saudara pendengar sekalian lebih

dulu saya menyampaikan kepada saudara-

saudara sekalian di seluruh Indonesia – dari

ujung Utara Aceh sampai ke ujung Timur

kepulauan kita. Salam nasional yang keluar

dari hati yang cinta merdeka. Saudara-saudara

sejak kemarin saya dan saudara Hatta berada

di Kota Yogyakarta, sebabnya saudara telah

mengetahui dari saudara Mr. Ali

Sastroamidjoyo dari Kementrian Penerangan

telah memberitahukan hal itu kepada saudara”

(Kedaulatan Rakyat, 6/6/1946)

Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke

Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946

membawa permasalahan tempat tinggal bagi

para pemimpin dan keluarganya. Perpindahan

tersebut diikuti sekitar 50.000 orang ke

Yogyakarta. Berbagai golongan penduduk

datang dan menetap di Yogyakarta. Pusat kota

Republik di Yogyakarta membuat Sultan

memaksimalkan gedung-gedung yang ada

untuk dijadikan kantor-kantor pemerintahan

RI dan rumah pejabat pemerintah. Untuk

memaksimalkan jalannya pemerintahan

Republik Indonesia di Yogyakarta. Sultan

menjadikan Kotabaru dan bangunan-

bangunan sepanjang Jalan Malioboro sebagai

kantor pemerintahan dan pemukiman.

Beberapa gedung di Kotabaru yang dijadikan

tempat tinggal dan kantor pemerintahan

adalah gedung kantor Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota yang berada di Jalan Suroto

11 dimanfaatkan sebagai tempat tinggal

Letjen Urip Sumoharjo. Kemudian bangunan

SMA 3 di Jalan Yos Sudarso No.7

dimanfaatkan sebagai tempat berkumpulnya

atau markas para pelajar pejuang yang

tergabung dalam Tentara Pelajar (TP).

Selanjutnya bangunan SMA BOPKRI I di

Jalan Wardani No.2 yang dimanfaatkan

sebagai tempat mendidik para kadet Militer

Akademi yang pertama. Bangunan SMP

Negeri 5 di Jalan Wardani 1 sebagai asrama

Militer Akademi.

Gedung Arsip dan Perpustakaan Daerah

Propinsi DIY di Jalan Faridan M Noto 21

dimanfaatkan sebagai Kantor Kementrian

Luar Negeri (Trisatya, 2011 : 130). Selain itu

ada juga gedung Jiwasraya di Jalan Faridan M

Noto dipergunakan sebagai tempat

perundingan antara para petinggi tentara

Jepang dengan pimpinan pejuang Indonesia

sebelum pecahnya Pertempuran Kotabaru.

Bangunan Seminari Tinggi di Jalan Achmad

Jazuli dan bangunan Kolese Santo Ignatius di

Jalan Abu Bakar Ali No.1 dimanfaatkan

sebagai kantor Kementrian Pertahanan

(Trisatya, 2011 : 131).

Dalam hal pemukiman Kotabaru berubah

menjadi perumahan yang berbeda. Kehadiran

pejabat-pejabat pemerintahan Republik,

petinggi-petinggi TNI, mantan Bupati, dokter-

dokter yang pindah dari luar Yogyakarta dan

guru-guru menjadikan Kotabaru sebagai

sebuah perumahan elit baru. Kotabaru

mengalami perubahan yang sangat signifikan.

Dari sebuah tempat tinggal yang dikhususkan

untuk penduduk Eropa di Yogyakarta menjadi

sebuah perumahan elit pribumi di Yogyakarta.

Dengan beberapa kali perubahan fungsi

Kotabaru memberikan dampak yang

signifikan terhadap penduduk kampung

sekitarnya. Kotabaru awalnya adalah sebuah

permukiman penduduk Eropa yang pada masa

kini biasa disebut dengan Gated Communities,

sebuah hunian yang mampu berdiri sendiri

tanpa perlu hubungan dengan bagian kota

lainnya. Kotabaru dibangun sebagai

pemisahan diri warga kulit putih dengan

penduduk pribumi. Pemisahan diri tersebut

terjadi setelah van Gorkom dan Tielma

menyuarakan tentang bahaya penyakit tropis

yang disebabkan oleh penduduk pribumi

terhadap kesehatan warga kulit putih. Untuk

itu Kotabaru merupakan kota yang ekslusif.

Permukiman Kotabaru yang ditempati oleh

pejabat pemerintahan Belanda dan pemilik

perkebunan secara tidak langsung dijaga oleh

polisi dan serdadu militer untuk

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 11: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

keamanannya. Sebagai sebuah huniah ekslusif

kulit putih yang dilengkapi fasilitas sangat

baik dan lengkap wajar saja Kotabaru menjadi

sebuah kota yang terpisah dan tidak

membutuhkan bantuan dari wilayah lain

diluar Kotabaru. Ketergantungan dengan

kampung sekitar Kotabaru hanya sebatas

kebutuhan akan buruh rumah tangga, jongos,

babu, supir dan tukang kebun. Hal itu pun

sangat dibatasi dan diseleksi mengingat

mereka menganggap pribumi yang berada

diluar kawasan Kotabaru membawa penyakit

karena pemukiman mereka yang tidak steril.

Disekitar Kotabaru Yogyakarta terdapat

beberapa kampung yang berkembang

mengikuti perkembangan Kotabaru itu

sendiri. Kampung-kampung yang ada

disekitar Kotabaru diakibatkan oleh

pertambahan penduduk alamiah Yogyakarta.

Selain itu kehadiran Kotabaru itu sendiri dapat

dilihat juga sebagai hadirnya kampung-

kampung yang ada disekitarnya (Faqih :2008 :

15). Ada dua kampung yang berdekatan

dengan Kotabaru. Kampung ini berada

disebelah Barat Kotabaru yang bersebrangan

langsung dengan kali Code.

Gondolayu dan kampung Code adalah dua

kampung yang secara langsung berbatasan

dengan Kotabaru di Sebelah baratnya.

Berbeda dengan Gondolayu yang merupakan

kampung sejak jaman kolonial. Kampung

Code baru muncul setelah pasca kolonial. Di

seberang kampung Gondolayu terdapat

kampung Terban yang sudah ada sejak jaman

kolonial. Di bagian Selatan pemukiman

Kotabaru terdapat kampung Krasak

disekitarnya (Faqih, 2008 : 15).

Tertutupnya kawasan Kotabaru dari kawasan

sekitarnya membuat penduduk kampung di

sekitar Kotabaru takut untuk memasuki

kawasan ini. Penduduk kampung takut karena

kawasan Kotabaru hampir semua ditempati

oleh orang Belanda dengan peliharaan anjing-

anjingnya yang galak (Faqih, 2008 : 16).

Hanya beberapa penduduk saja yang berani

masuk ke dalam Kotabaru. Mereka biasanya

sengaja dipanggil oleh penduduk Belanda di

Kotabaru untuk menjadi pembantu, tukang

kebun, supir dan lainnya. Selain itu beberapa

penduduk kampung yang biasa disebut

dengan opas. Tugas dari opas tersebut adalah

mengantarkan barang-barang pesanan dari

luar Kotabaru. Barang-barang yang diantarkan

biasanya untuk keperluan sehari-hari seperti

roti, sayur mayur dan kebutuhan lainnya

(Faqih, 2008 : 17).

Keterikatan hubungan yang terjadi antara

penduduk kampung dengan penghuni

Kotabaru pada masa kolonialisme Belanda

tersebut hanya sebatas hubungan kebutuhan

akan jasa bagi keberlangsungan hidup

penghuni Kotabaru sebagai daerah mandiri

yang terpisah dengan kampung sekitarnya.

Banyak keluarga di Kotabaru mengirim

pakaian suami mereka untuk dicuci oleh

penduduk kampung. Mendapatkan jasa

pembantu dan kebun dari kampung

sekitarnya. Menggunakan supir-supir dari

orang kampung dan mendapatkan kebutuhan

sehari-hari mereka dari opas-opas yang

berasal dari kampung sekitarnya (Faqih, 2008

: 21).

Pada tahun 1942 ketika Belanda

meninggalkan Kotabaru. Penduduk disekitar

wilayah Kotabaru banyak yang masuk ke

dalam Kotabaru. Mereka melihat-lihat rumah-

rumah yang ditinggalkan oleh penghuni

Belanda. Perubahan komposisi penghuni

Kotabaru pun berubah. Tidak ada lagi

penghuni kulit putih yang mendominasi

Kotabaru. Tentara Militer Jepang dan

penduduk sekitar Kotabaru yang mampu

membayar sewa kepada kesultanan menjadi

penghuni baru Kotabaru menggantikan orang

Belanda.

Perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke

Yogyakarta pada tahun 1946 membuat

Kotabaru menjadi perumahan elit pribumi.

Kotabaru dihuni oleh pejabat penting

pemerintahan, petinggi-petinggi TNI, mantan

Bupati, dokter-dokter dan guru-guru

menempati rumah-rumah di Kotabaru.

Kotabaru mengalami perubahan yang besar.

Perubahan dari sebuah tempat tinggal yang

mayoritas “kulit putih” ciptaan kolonial

Belanda menjadi perumahan yang dihuni oleh

masyarakat Indonesia.

Perpindahan orang-orang Belanda dari

Kotabaru secara tidak langsung

mengakibatkan terjadinya perubahan

hubungan-hubungan yang selama ini

dibangun antara penghuni Belanda dengan

penduduk kampung. Banyak penduduk

kampung yang berpindah pekerjaan dari

penyedia jasa untuk penghuni Kotabaru

menjadi pekerjaan di bidang informal.

Pekerjaan yang tersedia adalah pedagang dan

tentara. Kebutuhan akan tentara didasarkan

terjadinya peralihan dari proklamasi ke agresi

militer Belanda. Memburuknya perekonomian

Indonesia karena negara yang belum stabil

dalam membangun sebuah perekonomian.

Menjadi penyebab utama berpindahnya

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 12: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

pekerjaan penduduk kampung (Faqih, 2008 :

33).

Masyarakat Yogyakarta yang menjadi

penghuni Kotabaru pada umumnya berasal

dari golongan menengah ke atas. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya kehadiran pejabat

pemerintahan dan orang-orang yang

mempunyai keahlian dalam bidang tertentu

sengaja memilih Kotabaru untuk dijadikan

tempat tinggalnya. Dalam kehidupan sehari-

hari, mereka juga membutuhkan penduduk

kampung untuk membantu mereka dalam

pekerjaan rumah. Tidak sedikit juga penduduk

kampung sekitar Kotabaru yang menjadi

pembantu dan tinggal di rumah majikannya.

Hubungan antara penduduk kampung dan

penghuni Kotabaru mengalami perubahan

yang sangat signifikan. Hubungan antara

penduduk kampung dan penghuni Belanda di

Kotabaru merupakan sebuah hubungan yang

formal. Sedangkan hubungan yang terjadi

antara penduduk kampung dengan penguni

pribumi bersifat tradisional (Faqih, 2008 : 34).

Hubungan formal yang terjadi disini adalah

penempatan penduduk kampung dalam

pekerjaan dibidang jasa. Selain bekerja

penduduk kampung tidak terlibat komunikasi

ataupun hubungan lainnya. Sedangkan

hubungan yang terjadi antara penduduk

kampung dengan penduduk pribumi di

Kotabaru bergeser menjadi hubungan

tradisional. Mereka tidak hanya berbaur

sebagai sebuah majikan dan pembantu. Tetapi

berbaur dan memiliki hubungan sosial

masyarakat seperti halnya masyarakat lainnya

di Indonesia.

Pekerjaan yang tersedia untuk penduduk

kampung tidak hanya sebagai tukang kebun,

pembantu, supir dan pemasok kebutuhan

sehari-hari. Pekerjaan mereka adalah

pekerjaan yang susah dilakukan oleh

penghuni pribumi yang merupakan kelas

menengah ke atas. Seperti guru ngaji, dan

pekerjaan tradisional lainnya seperti ronda

dan gotong royong.

Kesibukan penduduk pribumi kelas menengah

Kotabaru menyebabkan adanya kesulitan

dalam menemukan orang-orang yang dapat

memenuhi fungsi tradisional tersebut.

Penduduk kampung di sekitar Kotabaru lah

yang dapat memenuhi peran tradisional

tersebut. Sehingga hubungan yang terjadi

antara penduduk kampung dan penghuni

Kotabaru tetap terjaga dengan baik.

Selain dampak hubungan yang berubah antara

penghuni Kotabaru dengan penduduk

kampung sekitarnya tindak kriminalitas sering

terjadi di wilayah Kotabaru. Perpindahan

penduduk yang terjadi di Yogyakarta berasal

dari stratifikasi sosial yang bermacam-macam.

Statifikasi sosial yang terdiri dari pejabat,

pegawai pemerintah, orang kaya, rakyat.

Selain itu Yogyakarta kedatangan orang-orang

yang tidak mampu seperti gelandangan,

pengemis dan lainnya yang berasal dari

penduduk setempat dan pendatang (Dito

Wijayanto : 2011 : 86).

Semakin banyaknya pendatang dari daerah

lain ke Yogyakarta, dan ditambah lagi dengan

keadaan negara yang tidak stabil dalam

perekonomian menjadikan kriminalitas

berkembang di Yogyakarta. Harapan untuk

mendapatkan hidup yang lebih baik ternyata

semakin sulit yang menyebabkan mereka

mengambil jalan pintas untuk bisa

mempertahankan hidupnya.

Kriminalitas berkembang di Yogyakarta. Aksi

pencopetan, pencurian, perampokan dan

kriminalitas lainnya semakin sering terjadi di

Yogyakarta. Contohnya adalah aksi

pencopetan yang berisi uang dan surat-surat

penting lainnya. Pencopetan pada tanggal 17

Februari 1946 ini terjadi di sekitar daerah

stasiun Lempuyangan.

Kriminalitas pun tejadi di wilayah Kotabaru.

Praktek prostitusi, pencopetan, perampokan

dan lainnya banyak terjadi di Kotabaru.

Prostitusi banyak berkembang di sekitar Jalan

Code dekat Kotabaru. Jalan-jalan sekitar

Kotabaru yang gelap menjadikannya tempat

yang rawan kejahatan. Pada tanggal 17

Februari 1946 telah terjadi pencurian sepeda

perempuan dengan merek Raleigh yang

memiliki nomor seri AC 68654. Sebuah

sepeda yang lengkap dengan verseneling

tersebut hilang di Gereja Katholik Kotabaru.

Kriminalitas yang terjadi di sekitar wilayah

Kotabaru ini disebabkan tidak adanya

pengamanan yang ketat. Pengamanan yang

sering dilakukan oleh penjaga-penjaga rumah

yang dihuni oleh penduduk Belanda di

Kotabaru. Penjaga-penjaga yang setiap malam

berputar mengelilingi setiap sudut wilayah

Kotabaru. Anjing-anjing milik penduduk

Belanda yang biasanya ikut menjaga

keamanan di Kotabaru sudah tidak ada yang

berakibat semakin merajalelanya kriminalitas

di Kotabaru.

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 13: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

4. Kesimpulan

Kotabaru adalah sebuah pemukiman yang

dibangun berdasarkan politik segregasi

kolonial Belanda. Thomas Karsten arsitektur

asal Belanda menjadikan kawasan kotabaru

terbebas dari pengaruh luar. Hal ini bisa

dipahami mengingat ketakutan akan penduduk

Eropa akan bahaya penyakit tropis yang

banyak diderita oleh penduduk pribumi.

Kedatangan Jepang sedikit banyak

memberikan pengaruh terhadap keadaan

Kotabaru Yogyakarta. Jepang menjadikan

Kotabaru sebagai sebuah kawasan yang

memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni markas

militer, pemukiman penduduk pribumi dan

sebagai tempat tinggal pejabat militer Jepang.

Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke

Yogyakarta pada tahun 1946 membawa

pengaruh yang cukup besar. Kotabaru dan

beberapa tempat disekitar jalan Malioboro

dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan

pemukiman pejabat pemerintahan.

Perpindahan ini diikuti dengan perpindahan

penduduk yang ada di sekitar Yogyakarta.

Mereka bergerak masuk ke Yogyakarta untuk

mencari tempat yang aman dari serangan

militer Belanda. Pada masa revolusi

Yogyakarta adalah benteng terakhir Indonesia

atas serangan militer Belanda.

Pengungsi yang datang tersebut terdiri dari

beberapa golongan yang ada. Mulai dari

golongan menengah ke atas yang terdiri dari

pejabat pemerintah, guru, dokter, petinggi TNI

dan lainnya. Pengemis, pengangguran, bekas

tahanan romusha Jepang juga hadir di

Yogyakarta.

Kedatangan berbagai macam golongan tersebut

membuat kebutuhan akan pemukiman

meningkat. Kotabaru yang masih memiliki

sisa-sisa fasilitas yang baik dan lengkap dipilih

oleh golongan menengah keatas untuk

dijadikan sebagai kawasan pemukiman

mereka.

Berbagai macam fasilitas yang ada di Kotabaru

mulai dari fasilitas keagamaan, olahraga,

kesehatan, dan pendidikan menjadi salah satu

alasan mereka untuk tinggal di Kotabaru.

Kehadiran golongan menengah ke atas dan

lengkapnya fasilitas yang ada di Kotabaru

menjadikan Kotabaru sebagai sebuah

pemukiman elit pribumi yang ada di

Yogyakarta.

Pergantian penghuni di Kotabaru dari

penduduk Eropa menjadi penduduk elit

pribumi membawa beberapa dampak terhadap

penduduk kampung disekitarnya. Dampak

yang paling terasa adalah perubahan hubungan

sosial yang terjadi antara penghuni Kotabaru

dengan penduduk sekitarnya.

Ketika penduduk Eropa tinggal di Kotabaru,

penduduk kampung tidak ada yang berani

masuk ke dalam. Hal ini dikarenakan ketatnya

penjagaan di Kotabaru. Mereka yang bisa

masuk ke dalam adalah mereka yang bekerja

sebagai pembantu di rumah orang Eropa.

Selain itu tidak ada yang berani untuk masuk

ke dalamnya. Setelah penghuni Kotabaru

berganti menjadi penduduk elit pribumi.

Penduduk kampung mulai berani untuk masuk

ke dalam Kotabaru.

Mereka melakukan pekerjaan yang bisa

mereka lakukan. Seperti pemimpin pengajian,

selamatan dan kerja sosial lainya seperti ronda.

Walaupun masih ada jarang pemisah antara

mereka karena Kotabaru adalah pemukiman

elit pribumi, tetapi interaksi yang mereka

lakukan jauh lebih sering dibandingkan ketika

penduduk Eropa masih berada di Kotabaru.

Dampak lainnya yang terjadi akibat perubahan

ini adalah masalah keamanan dan kriminalitas

di Kotabaru meningkat. Kedatangan ribuan

pengungsi yang berasal dari golongan bawah

ditambah dengan inflasi yang tinggi pada masa

revolusi membuat pengungsi yang tidak

memiliki keahlian dalam pekerjaan melakukan

tindakan kriminalitas untuk menyambung

hidup mereka. Mereka melakukan pencopetan,

perampokan, pencurian dan tindakan kriminal

lainnya. Wanita yang tidak memiliki perkejaan

tetap lebih memilih menjadi wanita penghibur

disekitaran kali Code.

Perampokan, prostitusi yang terjadi di

Yogyakarta semakin sering. Termasuk di

Kotabaru. Keamanan Kotabaru yang tidak

seketat dulu membuat kawasan ini sangat

lemah dalam hal keamanan. Beberapa kejadian

perampokan dan kriminalitas lainnya

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 14: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

berkembang mengikuti perkembangan jaman

dan tingkat kebutuhan hidup para pelakunya.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada pembimbing skripsi dan

jurnal saya Tri Wahyuning M. Irsyam.

M.Hum. Kepada kedua orangtua yang telah

membantu dan kawan-kawan seperjuangan.

Daftar Acuan

Colombijn, Freek, Kota Lama dan Kota Baru

Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum

Kemerdekaan, Yogyakarta : Ombak, 2005

Colombijn, Freek, Under Construction,

Leiden : KITLV Press, 2010

Gottschalk, Loiz, Mengerti Sejarah. Jakarta :

Universitas Indonesia Press, 1975

Gunawan, Ryadi, Sejarah Sosial Daerah-

Daerah Istimewa Yogyakarta :Mobilitas

Sosial Di Yogyakarta Periode Awal Abad

Duapuluhan, Jakarta : Depdikbud Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah

Nasional, 1993

Houben, Vincent, Kraton and Kumpeni

Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Leiden

: KITLV, 1994

Kartodirdjo, Sartono, Memori Serah Terima

Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanag

kerajaan), Yogyakarta : Arsip Nasional RI,

1978

Marsudi, Djamal, Yogyakarta Benteng

Proklamasi, Yogyakarta : Badan Musyawarah

Musea, 1985

Nasution, A.H, Sekitar Perang Kemerdekaan

Indonesia Jilid 2 (Diplomasi atau Bertempur),

Bandung : Disjarah AD dan Angkasa, 1993

Notosusanto, Nugroho, Masalah Penelitian

Sejarah : Suatu Pengalaman. Jakarta :

Yayasan Idayu, 1978

Nurhajarini, Dwi Ratna, Retna Astuti, Titi

Mumfangati, Hisbaron Muryantoro,

Yogyakarta Dari Hutan Beringin Ke Ibukota

Daerah Istimewa. Yogyakarta : Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012

Reid, Anthoni, Revolusi Nasional Indonesia,

Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996

Sedyawati, Edi, Anhar Gonggong, Sejarah

Kebudayaan Jawa, Jakarta : Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah

Nasional, 1993

Sulistyo, Bambang, Pemogokan Buruh

Sebuah Kajian Sejarah, Yogyakarta : Tiara

Wacana Yogya, 1995

Suratmin, Sejarah Perlawanan Terhadap

Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah

Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta : Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah

Nasional, 1983

Surjomihardjo, Abdurrachman, Kota

Yogyakarta Tempoe Doeloe Sejarah Sosial

1880-1930. Yogyakarta : Komunitas Bambu,

2008

Suwarno, P.J, Hamengku Buwono IX dan

Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta

1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis,

Yogyakarta : Kanisius, 1994

Tashadi, Harmoko Darto, Keterlibatan Ulama

DIY Pada Masa Perang Kemerdekaan

Periode 1945-1949, Jakarta : Proyek

Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional,

1990

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo

Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi

Indonesia , Jakarta : Kompas Gramedia, 1999

Makalah

Fakih, Farabi (2008), Benteng Kotabaru :

Antara Ada Dan Tiada Di Jaman Poskolonial,

Diseminarkan di seminar umum Universitas

Gadjah Mada

Skripsi

Hudiyanto, Reza, Perkembangan Pemukiman

Masyarakat Eropa di Kota Yogyakarta (1917-

1936). Yogyakarta : Universitas Gadjah

Mada. 1997

Lienau, Sri Setyaningsih, Yogyakarta Pada

Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Jakarta

: Universitas Indonesia. 1976

Mudaryanti, Tri Wahyuning, Priangan Shu

Pada Masa Pendudukan Jepang : 1942-1945,

Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia,

1979

Tesis

Marsitawati, Suzi, Kajian Perubahan

Lansekap Kota Taman (Studi Kasus :

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013

Page 15: KOTABARU 1942-1946 : DARI MARKAS MILITER KE …

Pemukiman Menteng Jakarta Pusat). Depok :

Universitas Indonesia. 2007

Trisatya, Wahyu Harry, Pelestarian dan

Pemanfaatan Bangunan Indies di Kawasan

Kotabaru. Yogyakarta : Universitas Gadjah

Mada. 2011

Wijayanto, Dito, Konflik Kekerasan dan

Kriminalitas di Ibu Kota Republik Indonesia

Yogyakarta Tahun 1946-1950. Yogyakarta :

Universitas Gadjah Mada. 2011

Yose, I Wayan Marie, Kajian Pengendalian

Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bersejarah

(Kasus Kotabaru Yogyakarta). Yogyakarta :

Universitas Gadjah Mada. 2011

Kotabaru 1942..., Achmad Sofyan, FIB UI, 2013